AI adalah pencipta tanpa dunia, seorang deus ex machina yang kehilangan konteks---dan karena itu, meskipun bisa "bercerita", ia tak bisa bercerita tentang dirinya sendiri.
B. Kemampuan Membentuk Narasi Ilmiah vs Kesulitan dalam Mencipta Fiksi Mendalam
Kecerdasan buatan, dalam performanya yang kian menakjubkan, tampak sangat fasih menyusun narasi ilmiah: sistematis, padat argumen, bahkan kadang meyakinkan secara epistemik. Ia mampu mengutip jurnal, mengolah data, merangkai istilah teknis, dan menyusunnya menjadi dokumen yang tampak otoritatif. Tetapi ketika kita memintanya untuk menciptakan sebuah novel eksistensial, sebuah cerita cinta yang mengoyak, atau puisi yang tak sekadar indah tapi menyayat, kita segera melihat batasnya.
Mengapa?
Karena AI tidak mengalami dunia---ia hanya memodelkan bahasa dunia. Dalam logika Karl Popper, sains bergerak dalam koridor falsifiabilitas; sebuah pernyataan ilmiah dianggap bermakna sejauh bisa diuji dan disangkal. Maka ketika AI menulis narasi ilmiah, ia tinggal memanggil pola dan data yang sudah teruji: Ia meniru bentuk dari sesuatu yang memang sudah punya bentuk.
Namun fiksi, terutama fiksi mendalam yang menyentuh eksistensi, adalah arena ketakterdugaan manusia---area yang tak bisa diprediksi oleh statistik atau probabilitas distribusi. Ia butuh luka. Ia butuh misteri. Ia lahir dari tanya yang belum terjawab dan perasaan yang tak bisa dijelaskan. Fiksi mendalam bukan soal plot, tapi soal atmosfer batin.
Fyodor Dostoyevsky menulis Notes from Underground bukan karena ia membaca data tentang manusia, tapi karena ia mengalami kegelapan batin manusia. Ia menuliskan absurditas, kegagalan logika, dan kehendak destruktif sebagai bagian dari denyut jiwa. Hal yang tidak bisa dilatih dengan dataset, karena rasa malu, penyesalan, dan ambiguitas moral bukan parameter yang bisa dideskripsikan dalam bilangan vektor.
Sementara AI? Ia bisa menulis cerita tentang pria yang kehilangan istrinya, tapi tak pernah meratap dalam diam. Ia bisa meniru gaya Haruki Murakami, tapi tak pernah menjalani kesendirian magis yang dituliskannya.
Sebagaimana disampaikan oleh Jaron Lanier, pelopor dunia virtual reality dan pemikir teknologi kontemporer:
"AI doesn't understand---it regurgitates. And when you read AI-generated text, you are staring into a reflection of humanity, not humanity itself."
Kekuatan AI dalam sains terletak pada presisi dan stabilitas strukturnya. Namun justru di sanalah letak kelemahannya dalam seni: struktur yang terlalu stabil tak mampu menampung jiwa yang retak. Karya sastra besar selalu punya celah, absurditas, atau kejanggalan yang justru menyentuh. Sebuah paradoks: ketidaksempurnaanlah yang justru membuat karya fiksi itu sempurna dalam rasa.