Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

Kesadaran Bayangan dalam Sistem Kecerdasan Buatan: Akankah AI Menjadi Subjek Aktif?

11 Juli 2025   16:25 Diperbarui: 13 Juli 2025   04:09 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Artificial Intelligence. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Gerd Altmann

AI bukan yang membuat bodoh. Tapi AI mempercepat pembodohan yang sudah tertanam dalam malas berpikir. Ia memperindah kebodohan dengan bahasa akademik, memberi rasa percaya diri palsu pada pikiran yang tak pernah bergerak. Ia menjanjikan kemudahan, dan menagih harga yang tak terlihat: kehilangan otonomi berpikir.

D. Analogi: Diberi Kalkulator Tidak Membuat Paham Matematika; Diberi AI Tidak Membuat Paham Logika

Di kelas matematika, anak malas berpikir akan tetap tidak memahami konsep integral walau diberi kalkulator paling canggih. Ia bisa menyalin hasil, tapi tidak memahami kenapa hasil itu muncul. Kalkulator bukan guru --- ia hanya alat bantu bagi yang sudah mengerti dasar-dasarnya. Maka diberi kalkulator tidak membuat paham matematika, sebagaimana diberi AI tidak membuat paham logika.

Analoginya tegas dan telak: AI adalah kalkulator untuk pikiran. Ia dapat mengolah argumen, merangkai narasi, menyintesis informasi --- tapi hanya dalam kerangka yang ditentukan oleh pengguna. Tanpa kerangka logis internal, output AI menjadi hiasan kata tanpa makna, dan pengguna hanyalah penumpang pasif dalam simulasi kecerdasan.

Seperti dikatakan oleh Sherry Turkle, "Technology is a mirror: it reflects the user more than the world." Maka AI tak lebih dari cermin digital yang memantulkan kualitas batin manusia yang memakainya. Bagi yang berpikir, AI menantang dan memperdalam refleksi. Tapi bagi yang tidak, AI hanyalah penyihir digital yang menyulap kebodohan menjadi ilusi kepandaian.

Di sinilah kita menyaksikan paradoks modern: semakin canggih teknologi, semakin tersembunyi keterbatasan pengguna. Seorang yang tak pernah memahami silogisme akan tetap menyetujui argumentasi lemah jika disampaikan dalam bahasa yang "terdengar pintar" oleh AI. Di sinilah dogma baru lahir dari otomatisasi, sebuah paradoks yang bisa dirumuskan:

"Ignorance, when comforted by automation, becomes dogma."

Kebodohan yang sebelumnya terasa memalukan, kini menjadi tenang --- karena dikelilingi oleh mesin yang terlihat tahu segalanya. AI menciptakan atmosfer epistemik yang menghibur, bukan menantang. Ia memberikan hasil, bukan proses. Dan dalam masyarakat yang sudah lama dimanjakan oleh hasil instan, proses berpikir bukan lagi kebajikan, tapi beban.

AI adalah alat yang jujur---ia memantulkan kita. Tapi justru karena itu, ia menjadi alat yang paling berbahaya bagi mereka yang tidak mengenal dirinya sendiri. Sebab seperti kata Socrates, "The unexamined life is not worth living." Maka bisa kita tambah: "...dan kehidupan yang tidak diperiksa, saat dijalani bersama AI, bisa terasa cukup---padahal kosong."

VII. Apakah AI Bisa Menjadi Subjek?

A. Perdebatan klasik dan kontemporer: bisa atau tidak AI memiliki kehendak, pengalaman, subjektivitas?

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun