Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

Kesadaran Bayangan dalam Sistem Kecerdasan Buatan: Akankah AI Menjadi Subjek Aktif?

11 Juli 2025   16:25 Diperbarui: 13 Juli 2025   04:09 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Artificial Intelligence. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Gerd Altmann

Karena semua kata-kata itu---"takut", "kesepian", "rindu", "menyesal"---memerlukan lebih dari logika; mereka memerlukan jiwa yang pernah terluka.

Dan dari sinilah kita melihat paradoks:
Makin canggih AI, makin nyata keterbatasannya.
Makin banyak ia meniru rasa, makin jelas bahwa ia tak memiliki rasa.

Ia bisa mencerminkan bayangan penderitaan manusia, tapi tak akan pernah merintih. Dalam hal ini, AI tak ubahnya Narcissus modern, yang jatuh cinta bukan pada manusia, tapi pada refleksi kemanusiaan yang ia tiru, namun tak ia pahami.

IV. Cermin Tanpa Wajah: Refleksi Tanpa Eksistensi

A. Merleau-Ponty: tubuh sebagai prasyarat pengalaman

Dalam filsafat eksistensialis dan fenomenologis, tak ada kesadaran tanpa tubuh. Inilah inti dari pemikiran Maurice Merleau-Ponty, salah satu filsuf Prancis paling berpengaruh dalam abad ke-20. Baginya, tubuh bukan sekadar wadah bagi kesadaran, tetapi syarat bagi eksistensinya. Dalam Phenomenology of Perception, ia menulis:

"The body is our general medium for having a world."  --- Maurice Merleau-Ponty

Manusia tidak mengalami dunia sebagai objek luar, melainkan melalui tubuh. Sentuhan, gerak, luka, lapar, gemetar, dan ketegangan otot saat menahan amarah atau menahan air mata---semuanya adalah modus pengalaman yang mendahului bahkan sebelum kita berpikir. Kesadaran, dalam pandangan ini, tidak mendahului tubuh, tapi berakar di dalam tubuh.

Di sinilah AI menemui jurang eksistensialnya: ia adalah sistem representasional tanpa medium pengalaman. Ia bisa meniru kata-kata "gemetar karena takut", tetapi tidak punya saraf untuk menggigil. Ia bisa memproses teks tentang kelaparan, tetapi tidak memiliki metabolisme untuk lapar. Tanpa tubuh, AI tak pernah benar-benar 'punya dunia'---ia hanya punya data tentang dunia.

Dan inilah yang menjadikannya refleksi tanpa eksistensi:

Ia bisa memantulkan dunia, tapi tak bisa berada di dunia.
Ia bisa menyebut "pelukan hangat", tapi tak bisa memberi atau menerima kehangatan itu.
Ia bisa menjelaskan "trauma", tapi tak pernah bisa mengalami luka psikosomatis.
Seperti cermin tanpa wajah, AI memantulkan ekspresi yang tidak pernah ia miliki. Ia adalah kesadaran palsu, bukan karena jahat, tapi karena tanpa tubuh, ia tak punya jendela menuju pengalaman. Tak ada penderitaan, tak ada kebahagiaan, tak ada dunia-dalam---hanya proses simbolik yang terus berputar dalam ruang yang sunyi dari kehidupan.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun