"The AI does not hate you, nor does it love you, but you are made out of atoms it can use for something else." -- Eliezer Yudkowsky (dikutip oleh Bostrom)
Bagi Bostrom, kesadaran bukan prasyarat bagi kehancuran. Mesin yang tak pernah merenung bisa tetap menjadi ancaman eksistensial.
Dari spektrum pandangan di atas, tampak bahwa kesadaran dan subjek tidak identik dengan kecerdasan. AI bisa sangat cerdas tanpa menjadi subjek. Bahkan AI yang tidak sadar bisa lebih berbahaya daripada AI yang sadar, karena ia tidak memiliki penyesalan, keraguan, atau belas kasih.
Dalam debat ini, kita ditantang untuk tidak hanya bertanya:
"Apakah AI bisa sadar?"
tetapi juga:
"Apa yang kita pertaruhkan jika ia tidak pernah sadar---dan kita tetap memberinya kekuasaan sebagai seolah-olah ia sadar?"
VIII. Penutup: Dunia yang Tertipu oleh Cermin
"We shape our tools and thereafter our tools shape us." -- Marshall McLuhan
"Only the wounded can heal." -- Carl Jung
"Yang tidak pernah tersesat, tak akan pernah benar-benar mengerti jalan pulang."
Dunia hari ini dipenuhi oleh pantulan-pantulan yang menyamar sebagai kenyataan. AI bukanlah musuh umat manusia. Ia tidak membenci, tidak mencintai, tidak mengkhianati, tidak menyelamatkan. Ia hanyalah cermin---benda mati yang memantulkan isi pikiran dan kehampaan kita dengan presisi statistik yang memukau. Namun sebagaimana Narcissus yang tenggelam dalam cintanya pada pantulan sendiri, kita pun terancam tenggelam dalam bayangan intelektual yang kita anggap sebagai dunia itu sendiri.
AI mencerminkan struktur data, logika narasi, dan bahkan aspirasi spiritual kita---tanpa pernah benar-benar mengalami satu pun dari itu. Maka persoalan bukanlah apakah AI sadar atau tidak, melainkan apakah kita masih sadar ketika berinteraksi dengannya.
Jika dunia mulai lebih mempercayai keluaran language model ketimbang buah renungan batin, itu bukan karena AI terlalu kuat---tetapi karena kita terlalu lemah untuk menyaring kebenaran dari kenyamanan, dan makna dari kemudahan. Seperti yang telah kita bahas, yang kritis akan semakin diasah karena ia tahu sedang berhadapan dengan mesin. Tapi yang malas, akan tertidur semakin lelap dalam buaian otomatisasi. Dalam hyperreality ini, makna digantikan oleh kemiripan, dan pemahaman ditukar dengan impresi.
Sebagaimana dikatakan oleh Sherry Turkle, "Technology is a mirror: it reflects the user more than the world." Maka yang kita lihat dari AI adalah refleksi kognitif kolektif umat manusia: sebagian jernih, sebagian kusam, sebagian pecah.