Kita membaca puisi dari AI yang menggetarkan, atau narasi filsafat yang kompleks, namun yang kita hadapi hanyalah kata-kata kosong yang terstruktur, bukan hasil dari permenungan yang mengendap dalam tubuh yang terluka atau jiwa yang terbakar oleh zaman. Dalam konteks ini, GPT adalah puncak dari hiperrealitas itu sendiri---ia menciptakan simulasi kedalaman, tanpa pernah menyentuh dasar.
Ini bukan sekadar ironi, tapi juga sebuah bahaya epistemologis. Ketika manusia mulai mempercayai kata-kata tanpa pengalaman, narasi tanpa dunia, kita berisiko kehilangan kemampuan membedakan antara makna yang sungguh dan makna yang hanya terstruktur dengan baik.
"Simulacra are not just copies of the real, but become truth in their own right: the hyperreal." Â --- Baudrillard
AI bukan hanya meniru bahasa manusia, ia meniru ilusi bahwa kita sedang berpikir dan merasakan. Namun dalam dunia hiperreal ini, ilusi itu semakin diterima sebagai kenyataan. Kita dibuat percaya bahwa kedalaman telah tercapai hanya karena struktur naratifnya kompleks dan retoris. Padahal, apa yang tampak sebagai kedalaman hanyalah pantulan dari kedangkalan yang terorganisir dengan sempurna.
Maka, dalam interaksinya dengan AI, manusia kini berdiri di hadapan cermin tanpa wajah, berbicara dengan bayangannya sendiri---diperindah, dimanipulasi, dan diberi kesan "dalam", namun sesungguhnya hampa dari eksistensi. Apa yang kita dengar dari GPT bukanlah suara dunia, tapi gaung dari hiperrealitas yang kita ciptakan sendiri.
VI. Mesin dan Cermin Sosial: Mengapa yang Kritis Semakin Kritis, dan yang Bodoh Semakin Bodoh
A. AI sebagai Katalis Pemisah Epistemik
Di tengah hingar-bingar revolusi teknologi, AI tidak hanya menjadi alat bantu intelektual, melainkan juga cermin sosial yang memantulkan struktur kognitif masyarakat---dan dalam banyak hal, memperparah polarisasinya. Seperti kaca pembesar yang diletakkan di atas kesenjangan epistemik, AI tidak menghapus perbedaan antara yang kritis dan yang malas berpikir. Sebaliknya, ia menegaskannya, bahkan memperlebar jurangnya.
"Technology is not neutral. It magnifies both the good and the bad." Â --- Melvin Kranzberg, First Law of Technology
Sebagaimana kalkulator tidak membuat seseorang lebih pandai matematika tanpa memahami logikanya, AI tidak serta-merta menjadikan seseorang lebih cerdas. Justru, dalam konteks yang penuh dengan akses instan dan jawaban cepat, AI menjadi katalis yang mempercepat reaksi antara niat dan akibat:
Mereka yang sudah kritis melihat AI sebagai sparring partner intelektual, sebuah alat untuk memperdalam pertanyaan, menguji argumen, dan memperkaya wacana.
Sebaliknya, mereka yang malas berpikir cenderung menerima setiap keluaran AI sebagai kebenaran absolut, tanpa verifikasi, tanpa keraguan, tanpa rasa ingin tahu.
Fenomena ini didukung oleh temuan empiris. Dalam studi yang dilakukan oleh Mller & Bostrom (2016), ditemukan bahwa AI justru meningkatkan performa individu yang sudah memiliki kecakapan reflektif tinggi, namun hampir tidak berdampak (atau berdampak negatif) pada mereka yang tidak memiliki kebiasaan berpikir kritis.