Menjadi Ratu Narasi di Era Kekosongan: Masyarakat Indonesia Menghadapi Disrupsi AI Tanpa Pemimpin Visioner
Abstrak
Di tengah percepatan adopsi kecerdasan buatan (AI) global, Indonesia justru mengalami kekosongan narasi kepemimpinan yang mampu merespons dampak sosial, ekonomi, dan politik dari revolusi teknologi ini secara komprehensif. Negara, melalui para elitnya, baik presiden, menteri, gubernur, maupun tokoh politik, gagal mengartikulasikan visi jangka panjang, membentuk kebijakan transformatif, dan membangun narasi etis dalam menghadapi disrupsi AI. Essay ini, dengan mengambil pelajaran dari Koloni Lebah ketika Ratu-nya mati, mengajukan gagasan bahwa masyarakat sipil Indonesia harus bangkit membentuk Ratu Narasi AI secara mandiri dan swadaya, menggantikan kevakuman "feromon kepemimpinan" yang hilang. Dengan pendekatan reflektif, dramatik, dan berbasis teori sistem kompleks adaptif, essay ini mengeksplorasi bagaimana masyarakat dapat membangun narasi alternatif berbasis keadilan, kedaulatan data, etika, dan keberlanjutan. Ditopang oleh analisis literatur, kutipan pemikir besar, serta data empiris dari tren global dan lokal, tulisan ini menyampaikan bahwa masa depan AI Indonesia tak akan ditentukan oleh elite politik semata, melainkan oleh imajinasi kolektif rakyatnya.
Pendahuluan
A. Konteks Global: AI sebagai Gelombang Peradaban Baru
Sejarah manusia adalah sejarah gelombang peradaban yang datang silih berganti---dari pertanian, industri, hingga informasi. Kini, kita berdiri di ambang gelombang baru yang lebih dahsyat: revolusi kecerdasan buatan (AI). Tak seperti gelombang sebelumnya yang mengandalkan otot atau mesin, kali ini otak manusia sendiri ditiru, digandakan, dan bahkan dikalahkan oleh sistem digital yang tak mengenal lelah.
Menurut laporan Stanford Artificial Intelligence Index 2024, jumlah publikasi ilmiah, investasi, dan aplikasi AI meningkat lebih dari 400% dalam satu dekade terakhir. AI tidak lagi sekadar alat bantu, melainkan mulai menjadi entitas pengambil keputusan: dari chatbot layanan pelanggan hingga sistem militer otonom, dari rekomendasi belanja pribadi hingga penentu lolos-tidaknya seseorang dalam proses rekrutmen kerja.
Gelombang ini bukan hanya teknologis, ia bersifat ontologis dan epistemologis: mengubah cara manusia memahami dirinya sendiri, pekerjaannya, bahkan realitas sosial-politik di sekelilingnya. Yuval Noah Harari dalam Homo Deus (2016) menyebut bahwa ketika data, algoritma, dan kecerdasan non-biologis mulai mengambil alih, manusia bisa kehilangan klaim eksklusifnya atas makna dan arah sejarah.
Inilah gelombang peradaban yang tidak menunggu kesiapan siapa pun. Ia tidak mengenal batas negara, etika, atau sistem politik. Ia datang dengan kecepatan eksponensial, memecah batas-batas lama, dan menuntut respon yang bukan hanya cepat, tapi visioner.
Namun dalam banyak konteks, termasuk di negara-negara berkembang seperti Indonesia, gelombang ini justru disambut dengan diam sunyi dari para pemimpin nasional. Padahal seperti diingatkan Klaus Schwab dalam The Fourth Industrial Revolution (2016), negara-negara yang tidak mampu menavigasi revolusi ini dengan visi dan nilai yang jelas akan terombang-ambing, kehilangan kedaulatan digital, dan menjadi "pasar" pasif bagi kekuatan teknologi global.
Dengan kata lain: AI bukan sekadar alat, tapi arsitek masa depan. Siapa yang memegang narasi, dia yang menentukan arah. Dan ketika narasi itu kosong di tingkat elite, maka masyarakat sendirilah yang harus menciptakannya, sebelum terlambat.
B. Konteks Indonesia: Kesenjangan Kesiapan, Stagnasi Narasi Elite
Jika dunia sedang melaju di atas kereta supercepat bernama AI, Indonesia masih tertatih di peron, menyaksikan tanpa arah, bahkan tanpa peta. Di saat negara-negara seperti Korea Selatan, Singapura, atau bahkan Rwanda meluncurkan peta jalan nasional AI yang strategis, beretika, dan multidimensi, Indonesia belum menunjukkan kesiapan struktural maupun imajinatif dalam menghadapi gelombang ini.
Kesenjangan kesiapan terlihat nyata dalam berbagai indikator internasional. Berdasarkan Oxford Government AI Readiness Index 2023, Indonesia berada di peringkat ke-77 dari 193 negara, jauh tertinggal dari tetangga ASEAN seperti Singapura (1), Malaysia (29), dan Thailand (53). Ketimpangan ini bukan semata soal infrastruktur digital atau anggaran riset, tetapi soal narasi dan visi politik yang mandek.
Para elite Indonesia, baik di tingkat nasional maupun lokal, lebih sibuk memanen elektabilitas daripada menanam benih arah masa depan. Narasi mereka seputar AI, jika ada, cenderung dangkal dan seremonial: terbatas pada jargon-jargon seperti "transformasi digital," "ekonomi kreatif," atau "teknologi untuk kesejahteraan rakyat"---tanpa fondasi konseptual, kebijakan konkret, atau refleksi etik yang mendalam.
Ketiadaan narasi transformatif dari elite ini mengindikasikan stagnasi intelektual dalam ruang-ruang kekuasaan. Tidak ada roadmap nasional yang mengintegrasikan AI dengan pendidikan, ketenagakerjaan, kedaulatan data, atau etika digital. Bahkan dalam dokumen-dokumen strategis seperti RPJMN atau perencanaan industri 4.0, AI lebih sering ditempatkan sebagai pelengkap retorika daripada sebagai poros utama perubahan sosial.
Di sisi lain, masyarakat mulai mengalami disrupsi langsung:
Pekerja kehilangan pekerjaan karena otomatisasi.
Disinformasi membanjiri ruang publik melalui algoritma.
Anak-anak terpapar konten manipulatif oleh sistem rekomendasi tak bertanggung jawab.
Namun para pemimpin kita seolah bisu, tak lagi mengeluarkan "feromon" kepemimpinan yang bisa memberi arah, perlindungan, atau imajinasi. Mereka ibarat ratu lebah yang telah mati dalam sarang yang masih penuh kehidupan, menyisakan kekosongan struktur dan potensi kekacauan sistemik.
Dan seperti dalam koloni lebah, ketika feromon sang ratu menghilang, hanya ada dua pilihan: kehancuran atau transformasi.
C. Tujuan dan Urgensi Tulisan
Tulisan ini lahir dari kegelisahan sekaligus kesadaran: bahwa di tengah gelombang transformasi peradaban yang dibawa oleh kecerdasan buatan, Indonesia justru mengalami kekosongan naratif dan ketimpangan strategis yang dapat berujung pada krisis sistemik multidimensi, ekonomi, sosial, politik, bahkan eksistensial.
Tujuan utama tulisan ini adalah untuk membunyikan alarm peradaban. Ia berupaya membuka mata publik dan elite bahwa kekosongan narasi AI bukan sekadar masalah komunikasi atau teknologi, melainkan ancaman terhadap arah kolektif bangsa. Narasi bukan hanya cerita; ia adalah infrastruktur kognitif dan emosional yang membentuk orientasi kebijakan, prioritas investasi, sistem pendidikan, bahkan moralitas kolektif.
Lebih spesifik, tulisan ini bertujuan untuk:
1. Mengeksplorasi AI sebagai arus peradaban yang menggeser fondasi sistem sosial-politik dan ekonomi global.
2. Menganalisis posisi Indonesia dalam lanskap global AI, termasuk kesenjangan kebijakan dan stagnasi narasi elite.
3. Mengajukan kerangka konseptual baru: "Ratu Narasi AI" sebagai metafora peran kepemimpinan publik yang inspiratif, adaptif, dan sistemik dalam ekosistem disrupsi.
4. Menawarkan argumentasi bahwa jika negara gagal menyediakan narasi strategis, maka masyarakat sipil harus mengambil alih fungsi tersebut melalui inisiatif mandiri dan swadaya kolektif.
Urgensinya terletak pada fakta bahwa kita tidak punya kemewahan waktu.
Gelombang AI bukan ancaman di masa depan, ia sudah menyusup ke dalam algoritma pinjaman online, sistem absensi sekolah, seleksi ASN, hingga moderasi konten dakwah. Setiap hari kita bergerak dalam ekosistem digital yang dibentuk oleh kode-kode tak terlihat, dipandu oleh logika yang tak selalu netral.
Tanpa narasi besar yang menuntun arah, AI akan menjadi instrumen reproduksi ketimpangan baru, memperparah kolonialisme data, dan merusak fondasi demokrasi. Oleh karena itu, tulisan ini adalah ajakan, bukan sekadar analisis; sebuah seruan kolektif untuk membangun arah baru yang berpijak pada keadilan digital, kedaulatan algoritmik, dan kecerdasan sosial.
Jika para elite gagal menciptakan arah, maka rakyat harus menjadi arsitek narasi. Di tengah kekosongan "ratu", kita semua adalah lebah pekerja yang sedang membangun kembali koloni dengan harapan baru, dan itulah mengapa tulisan ini harus ada.
Bab I: AI dan Kekosongan Feromon Kepemimpinan
A. Teori Kepemimpinan dalam Masyarakat Kompleks
Dalam setiap titik kritis sejarah peradaban, kepemimpinan tidak sekadar dituntut untuk mengelola, melainkan untuk mentransformasi arah kolektif menuju masa depan yang belum dikenali. Dunia yang tengah dibentuk ulang oleh kecerdasan buatan---dengan kecepatannya yang eksponensial dan ketidakpastian yang melekat---menuntut jenis kepemimpinan yang berbeda: bukan yang hanya administratif atau teknokratis, melainkan kepemimpinan adaptif, naratif, dan evolusioner.
1. Ronald Heifetz: Kepemimpinan Adaptif dalam Situasi Ambiguitas
Heifetz, dalam konsep "adaptive leadership," menekankan bahwa krisis sejati tidak dapat dipecahkan dengan solusi teknis. Tantangan seperti AI---yang menyentuh sistem nilai, identitas pekerjaan, dan masa depan umat manusia---adalah adaptive challenges. Mereka menuntut pemimpin yang tidak hanya memberi jawaban, tetapi mampu menahan ketegangan sosial sambil membimbing masyarakat menemukan makna baru.
"Leadership is about disappointing your own people at a rate they can absorb." ---Ronald Heifetz
Dalam konteks ini, Indonesia tidak kekurangan manajer, tetapi kekurangan pemimpin adaptif yang berani membuka ruang belajar kolektif tentang AI, bahkan bila itu mengguncang kenyamanan birokrasi dan budaya politik patronase.
2. Ilya Prigogine: Ketidakteraturan dan Titik Bifurkasi Sistem
Prigogine, peraih Nobel bidang kimia, memperkenalkan konsep dissipative structures dalam teori sistem kompleks. Ia menyatakan bahwa dalam sistem terbuka (seperti masyarakat), krisis bukanlah akhir melainkan pintu menuju struktur baru, asalkan sistem mampu melewati titik bifurkasi---yakni titik ketidakstabilan yang membuka dua arah: kehancuran atau re-organisasi kreatif.
AI menciptakan kondisi bifurkasi itu: mempercepat entropi sosial, memicu kebingungan arah, dan menguji kapasitas kolektif untuk beradaptasi. Kepemimpinan dalam konteks ini bukan lagi soal kontrol, tapi memfasilitasi transisi melalui ketidakpastian.
3. Arnold Toynbee: Tantangan dan Respons Peradaban
Toynbee dalam A Study of History menyatakan bahwa peradaban bertahan bukan karena kekuatan ekonomi atau militer, tetapi karena kemampuan merespons tantangan besar melalui kreativitas minoritas pemimpin yang visioner. Jika respons bersifat mekanis atau terlalu defensif, maka peradaban akan stagnan dan runtuh.
"Civilizations die from suicide, not by murder." ---Arnold J. Toynbee
Dalam konteks Indonesia, stagnasi narasi elite terhadap AI adalah bentuk bunuh diri peradaban diam-diam. Tidak ada creative minority yang memikul tanggung jawab untuk membentuk respons kolektif berbasis pengetahuan, etika, dan imajinasi.
Ketiga pemikir ini menyuguhkan benang merah: bahwa dalam masa-masa krusial seperti era disrupsi AI, kepemimpinan bukanlah kemewahan, melainkan kebutuhan biologis-sistemik. Seperti feromon dalam koloni lebah, kepemimpinan menyediakan arah, stabilitas, dan rasa keterikatan. Tanpa itu, masyarakat terjerembab ke dalam ketidakpastian yang menghasilkan dua kemungkinan ekstrem: kegaduhan massa tanpa arah, atau dominasi kekuatan teknokratis tanpa legitimasi moral.
Dan hari ini, kita berada di titik bifurkasi itu.
B. Analogi Ratu Lebah dan Kegagalan Elite dalam Memberi Arah
Dalam koloni lebah, keberadaan sang ratu bukan hanya simbol kekuasaan biologis, tetapi penopang kohesi sosial dan arah sistemik. Ratu lebah memancarkan feromon yang menstabilkan perilaku seluruh koloni---mengatur fungsi reproduksi, menjaga ketertiban kerja, hingga memastikan kolaborasi dalam ekosistem kompleks yang terus berubah.
Ketika sang ratu mati, feromon kepemimpinan menghilang.
 Koloni pun jatuh dalam kondisi krisis: pekerja mulai bertindak kacau, orientasi berubah dari kolektif menjadi acak, dan kekosongan kepemimpinan itu menciptakan kegelisahan sistemik. Bila tidak segera muncul ratu baru---atau struktur alternatif yang mengisi ruang itu---koloni akan gagal mempertahankan keberlanjutan hidupnya.
Indonesia hari ini ibarat koloni yang feromon kepemimpinannya memudar.
Elite politik dan birokrasi, baik di pusat maupun daerah, sejauh ini belum menunjukkan kapasitas naratif, strategi jangka panjang, maupun keberanian moral untuk menavigasi gelombang AI. Yang terjadi justru sebaliknya:
Wacana publik tentang AI direduksi menjadi slogan-slogan teknokratis: "transformasi digital", "ekonomi kreatif", "society 5.0"---tanpa kedalaman konseptual maupun arah strategis.
Kebijakan inkremental tanpa imajinasi transformasional, yang sekadar mengejar anggaran dan proyek tanpa memahami perubahan struktur sosial dan etika yang sedang terjadi.
Ketiadaan tokoh publik yang secara konsisten memimpin diskursus etis, filosofis, dan geopolitik tentang AI---padahal negara-negara lain sudah mulai menyiapkan AI leadership councils, algorithmic accountability acts, hingga AI constitutional frameworks.
Kondisi ini menimbulkan krisis feromon sosial: masyarakat tidak lagi memiliki rujukan naratif untuk memahami perubahan zaman. Akibatnya, muncul gejala-gejala sistemik yang mirip dengan koloni tanpa ratu:
Polarisasi opini dan konflik antar kelompok tanpa arah visi bersama.
Meningkatnya literasi digital tanpa literasi etis.
Ketimpangan adopsi teknologi antara pusat dan daerah, antara elite dan rakyat, antara kapital dan komunitas.
Ini bukan semata soal kegagalan teknologi. Ini kegagalan kepemimpinan.
Tanpa "feromon" berupa narasi besar, orientasi sosial akan tercerai-berai, dan AI justru akan menjadi akselerator ketimpangan, bukan keadilan. Analogi koloni lebah ini menegaskan satu hal penting:
"Dalam sistem kompleks, arah lebih penting dari kecepatan. Dan arah tidak bisa dibentuk tanpa pemimpin yang menciptakan makna bersama."
Jika para pemimpin hari ini tidak mampu menjadi "ratu narasi", maka masyarakat harus mulai menumbuhkan ratu narasi baru secara swadaya---berbasis pengetahuan, refleksi kolektif, dan keberanian membayangkan masa depan.
C. Statistik Kesiapan AI Indonesia vs Negara Lain
Mengukur kesiapan sebuah negara menghadapi disrupsi AI bukan hanya soal memiliki infrastruktur teknologi, melainkan juga kapasitas inovasi, regulasi, ekosistem riset, literasi digital masyarakat, dan tata kelola yang adaptif. Data dan indeks internasional memberikan gambaran konkret posisi Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain dalam hal kesiapan menghadapi era AI.
1. Oxford AI Readiness Index
Oxford Insights menerbitkan AI Readiness Index yang menilai 194 negara berdasarkan enam pilar utama: Strategi dan Tata Kelola AI, Infrastruktur Digital, Data dan Teknologi, SDM dan Pendidikan, Ekosistem Inovasi, serta Etika dan Regulasi.
Pada edisi terbaru, Indonesia menempati peringkat sekitar 56-60 dari 194 negara, jauh tertinggal dibandingkan negara-negara maju dan beberapa negara Asia Tenggara lain seperti Singapura (peringkat 8), Malaysia (peringkat 29), dan Thailand (peringkat 38).
Skor Indonesia masih rendah terutama pada pilar strategi nasional AI yang komprehensif, regulasi AI, dan ekosistem inovasi yang mendukung startup dan riset AI.
2. Global Innovation Index (GII) -- WIPO
Global Innovation Index yang diterbitkan oleh World Intellectual Property Organization (WIPO) juga merefleksikan kapasitas inovasi yang menjadi basis kesiapan AI.
Indonesia pada GII 2024 menempati posisi ke-61 dari 132 negara, dengan skor inovasi yang relatif rendah di sub-indeks teknologi informasi dan komunikasi (TIK), riset dan pengembangan (R&D), serta pendidikan tinggi dan pelatihan.
Sementara itu, negara-negara yang mendominasi pengembangan AI seperti AS, Korea Selatan, Jerman, dan Singapura berada di posisi 1--20.
3. Statistik Ekosistem Digital dan Literasi
Data Kemkominfo dan survei internasional menunjukkan:
Tingkat literasi digital nasional baru mencapai sekitar 54%, masih jauh dari ideal untuk membangun masyarakat AI-literate yang kritis dan adaptif.Konektivitas broadband Indonesia sudah meningkat pesat, tetapi akses merata masih menjadi tantangan signifikan terutama di wilayah Timur dan pedesaan.
Anggaran riset dan pengembangan (R&D) di Indonesia kurang dari 0,3% dari PDB, jauh di bawah negara-negara yang berinvestasi besar untuk masa depan AI.
Analisis Singkat
Angka-angka ini mengkonfirmasi apa yang terasa di lapangan: Indonesia menghadapi kesenjangan kesiapan AI yang serius dan multi-dimensi. Dari sisi regulasi dan tata kelola, kita masih berjuang membangun kerangka hukum yang adaptif dan inklusif. Dari sisi SDM dan inovasi, kita tertinggal dalam mempersiapkan generasi digital yang mampu memimpin revolusi AI. Dari sisi narasi publik, belum ada figur atau institusi yang secara konsisten mengartikulasikan arah dan implikasi strategis AI bagi bangsa.
Ketimpangan ini berpotensi memperdalam fragmentasi sosial dan ekonomi, karena AI akan mempercepat otomatisasi, menggeser pasar kerja, dan menuntut reformasi kebijakan sosial yang kompleks.
Kesimpulan: Statistik dan indeks internasional memosisikan Indonesia dalam situasi waspada---bukan hanya sebagai negara yang belum siap menghadapi AI, tapi juga sebagai negara yang berisiko tertinggal dalam persaingan global dan kehilangan momentum transformasi sosial-politik yang mendasar.
Bab II: Potret Ketidaksiapan Struktural dan Wacana di Indonesia
A. Analisis Isi Pidato Presiden dan Menteri Terkait AI: Absen atau Dangkal?
Dalam konteks perubahan global akibat disrupsi AI, wacana elite---terutama presiden dan para menteri---memegang peran krusial dalam membentuk narasi nasional. Sayangnya, hasil analisis terhadap sejumlah pidato kenegaraan, sambutan resmi, dan pernyataan publik pejabat tinggi di Indonesia menunjukkan bahwa wacana mengenai AI masih minim, dangkal, dan terfragmentasi.
1. Minimnya Referensi Mendalam tentang AI dalam Pidato Presiden
Presiden Joko Widodo, dalam berbagai pidato kenegaraan dan forum internasional seperti G20 dan World Economic Forum, memang beberapa kali menyebut istilah "digitalisasi", "transformasi digital", atau "industri 4.0". Namun:
Referensi terhadap AI sebagai entitas transformatif yang mengubah struktur ekonomi, sosial, dan etika sangat minim dan tidak substansial.
Dalam Pidato Kenegaraan 17 Agustus selama lima tahun terakhir, istilah "kecerdasan buatan" (AI) nyaris tidak muncul atau hanya disinggung secara simbolik, tanpa strategi atau peringatan etis yang memadai.
Tidak ada penjabaran tentang risiko otomatisasi tenaga kerja, bias algoritmik, ketimpangan teknologi, atau pergeseran epistemologi pengetahuan akibat generative AI.
Sebagai perbandingan, PM Kanada, Presiden Korea Selatan, hingga Presiden Prancis secara aktif membentuk AI national narrative yang mengaitkan teknologi dengan arah budaya dan peradaban.
2. Fragmentasi dan Sektorialisasi Wacana di Level Menteri
Menteri Kominfo, Menristek/BRIN, Mendikbud, dan Menteri Bappenas adalah aktor-aktor kunci dalam membentuk ekosistem AI. Namun:
Wacana yang mereka bangun cenderung parsial dan teknokratik. Kominfo fokus pada regulasi infrastruktur TIK dan literasi digital dasar, tanpa menyentuh diskursus strategis AI. BRIN lebih menekankan aspek riset, tetapi belum berhasil membangun narasi terintegrasi yang menghubungkan riset dengan arah kebijakan nasional. Kemendikbud belum menjadikan AI sebagai katalis perubahan paradigma pendidikan secara sistemik.
Hingga kini, tidak ada dokumen resmi AI National Strategy Indonesia yang bersifat interdisipliner, multidimensi, dan berbasis nilai-nilai Pancasila atau orientasi geopolitik kebudayaan Indonesia.
3. Ketidakhadiran Narasi Etis dan Kultural
Hal yang paling mencolok adalah ketiadaan narasi etis, spiritual, dan kultural dalam menyikapi AI. Tidak ada pejabat publik yang:
Mengangkat potensi AI sebagai tantangan moral umat manusia,
Mengaitkan AI dengan keadilan sosial, hak asasi manusia, atau nilai-nilai kearifan lokal,
Menjawab pertanyaan eksistensial tentang masa depan manusia dan makna kerja di tengah otomatisasi.
Ketiadaan wacana ini membuka ruang kosong yang berbahaya, karena:
"Jika negara tidak membentuk narasi tentang AI, maka narasi itu akan dibentuk oleh pasar dan algoritma yang tak berwajah."
Kesimpulan Subbab
Wacana elite Indonesia terkait AI menunjukkan gejala defisit imajinasi strategis dan absennya kepemimpinan naratif. Baik dalam isi pidato presiden maupun pendekatan sektoral menteri-menteri terkait, tidak ada kerangka konseptual yang utuh, mendalam, dan menggugah kesadaran publik tentang disrupsi AI.
Ini bukan semata-mata kelalaian teknis, tapi indikasi dari kegagalan epistemik---yakni ketidakmampuan untuk melihat, memahami, dan memaknai zaman yang sedang berubah.
B. Minimnya Regulasi AI yang Mengatur Etika, Ketenagakerjaan, dan Data
Kemajuan teknologi, jika tidak diimbangi oleh regulasi yang adaptif dan etis, akan melahirkan ketimpangan struktural, alienasi sosial, dan eksploitasi digital. Dalam konteks AI, regulasi bukan sekadar kumpulan pasal, tetapi penentu arah peradaban. Sayangnya, Indonesia saat ini masih berada dalam zona vakum normatif terkait kecerdasan buatan. Regulasi yang ada bersifat parsial, reaktif, dan belum menyentuh aspek-aspek krusial dalam transformasi AI.
1. Etika AI: Kosongnya Pilar Moral
Hingga 2025, Indonesia belum memiliki kerangka etika nasional khusus untuk pengembangan dan penerapan AI. Padahal, negara-negara seperti Uni Eropa telah mengembangkan AI Ethics Guidelines yang mencakup prinsip keadilan, transparansi, non-diskriminasi, dan keamanan. Beberapa fakta penting:
Tidak ada badan etik AI independen di Indonesia yang bertugas menilai dampak algoritma terhadap masyarakat.
Tidak tersedia prosedur audit publik terhadap black-box AI, terutama dalam sektor layanan publik (seperti seleksi CPNS berbasis AI, atau sistem skor kredit).
Isu seperti deepfake, bias algoritmik, disinformasi otomatis, dan AI-generated propaganda belum diantisipasi dalam UU ITE maupun Peraturan Pemerintah.
Dampaknya, ruang publik digital menjadi rentan terhadap manipulasi tanpa akuntabilitas.
2. Ketenagakerjaan: Celah Perlindungan bagi Pekerja di Era Otomatisasi
AI telah memicu otomatisasi masif, terutama dalam bidang manufaktur, perbankan, media, dan layanan pelanggan. Namun:
Tidak ada kebijakan ketenagakerjaan nasional yang secara eksplisit merespons dampak AI.
UU Ketenagakerjaan dan omnibus law cipta kerja belum memuat pasal-pasal tentang hak pekerja dalam masa transisi otomatisasi.
Belum ada sistem jaminan sosial berbasis reskilling yang menyiapkan pekerja untuk berpindah ke pekerjaan yang tidak dapat digantikan AI.
Studi ILO (2023) menunjukkan bahwa sekitar 56% pekerjaan di Asia Tenggara berisiko otomatisasi sebagian oleh AI, namun Indonesia belum memiliki peta jalan transisi kerja yang jelas.
3. Proteksi Data: Di Bawah Bayang-Bayang Korporasi dan Negara
Meski Indonesia telah mengesahkan UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) pada 2022, implementasinya masih lemah dan tidak spesifik merespons dinamika AI:
UU PDP belum memuat klausul tentang AI-based data profiling, di mana algoritma memutuskan nasib seseorang berdasarkan histori datanya.
Tidak ada mekanisme kontrol atas penggunaan data warga negara dalam sistem AI milik pemerintah atau pihak ketiga (misal: CCTV dengan facial recognition, e-KTP yang terintegrasi dengan sistem prediktif).
Ketiadaan lembaga pengawas independen membuat perlindungan data rentan dikendalikan oleh kekuatan politik dan korporasi.
Dalam konteks AI generatif, data warga bisa dipakai melatih model tanpa sepengetahuan atau persetujuan mereka---menjadi bagian dari kapital digital global yang tak berbendera.
Kesimpulan Subbab
Ketidakhadiran regulasi yang menyeluruh terhadap AI di Indonesia adalah tanda krisis tata kelola masa depan. Bukan sekadar soal kurangnya hukum, tapi ketertinggalan dalam membayangkan apa itu keadilan, hak asasi, dan kerja di zaman algoritma.
Tanpa kerangka etis, proteksi kerja, dan perlindungan data yang memadai, Indonesia bukan sedang memasuki era AI, tetapi sedang memasrahkan nasibnya padanya.
C. Kasus-Kasus Dampak AI yang Mulai Terasa: Pengangguran, Disinformasi, Bias Algoritmik
Kecerdasan buatan, meski masih dianggap sebagai "teknologi masa depan", telah meninggalkan jejak yang nyata dan kasat mata di Indonesia---seringkali tanpa disadari oleh publik dan elite pengambil kebijakan. Di balik narasi euforia transformasi digital dan Revolusi Industri 4.0, mulai bermunculan gejala-gejala sosial yang mengindikasikan disrupsi senyap: pekerja yang perlahan tergeser, kebenaran yang dikaburkan mesin, dan keputusan-keputusan diskriminatif dari algoritma yang tak dapat dimintai pertanggungjawaban.
1. Pengangguran Struktural: Otomatisasi Diam-Diam
Di sektor jasa dan manufaktur, otomatisasi berbasis AI telah mulai menggantikan pekerjaan manusia, terutama yang bersifat repetitif. Beberapa kasus nyata:
Di sejumlah startup dan perusahaan e-commerce, layanan pelanggan manusia telah digantikan oleh chatbot berbasis NLP, seperti AI generatif yang menjawab komplain pelanggan.
Dalam industri finansial, banyak posisi analis junior, teller, dan call center digantikan oleh sistem AI analitik prediktif dan voice bot.
Di dunia media, layanan penulisan berita berbasis AI seperti automated journalism sudah mulai diterapkan, mengurangi kebutuhan wartawan pemula.
BPS (2023) mencatat kenaikan jumlah pengangguran terdidik, terutama dari lulusan perguruan tinggi di bidang sosial-humaniora---salah satu sinyal dari mismatch antara dunia pendidikan dan kebutuhan kerja baru yang sangat terdampak AI.
2. Disinformasi dan Manipulasi: AI sebagai Mesin Hoaks
AI generatif membuka peluang luar biasa dalam menciptakan konten digital, namun juga menjadi senjata disinformasi yang nyaris tak terdeteksi:
Menjelang Pemilu 2024, sejumlah laporan dari MAFINDO dan Kominfo menunjukkan peningkatan signifikan dalam produksi deepfake video dan suara tokoh politik.
AI digunakan untuk menyebarkan narasi palsu dalam kampanye hitam, menciptakan akun bot yang menyebarkan hoaks terstruktur.
Konten berita palsu berbasis AI content spinner semakin marak di media sosial, menipu pengguna dengan tampilan yang seolah profesional dan sahih.
Laporan Microsoft Threat Intelligence (2023) menyebut Indonesia sebagai salah satu target utama uji coba AI-based information operation oleh aktor global dan domestik.
3. Bias Algoritmik: Ketidakadilan yang Diotomatisasi
Keadilan tidak hanya bisa dirusak oleh manusia, tetapi juga oleh algoritma yang dibentuk dari data yang bias. Beberapa contoh yang mengemuka:
Sistem rekrutmen digital yang digunakan beberapa BUMN dan perusahaan swasta telah menunjukkan kecenderungan menyaring kandidat berdasarkan aksen, wajah, atau asal daerah---karena training data AI yang bias etnis dan geografis.
Dalam sistem kredit digital berbasis AI scoring, banyak UMKM dan individu dari daerah terpencil gagal mendapatkan akses pinjaman karena parameter algoritma yang mendiskriminasi profil dengan aktivitas digital yang minim.
Bahkan dalam sistem pemantauan publik berbasis CCTV AI (misalnya smart city), pengenalan wajah sering kali gagal mendeteksi wajah perempuan berhijab atau individu dari kelompok minoritas etnis.
Studi MIT (2020) bahkan menyebut bahwa beberapa sistem facial recognition global memiliki tingkat error 35% lebih tinggi terhadap wajah orang non-kulit putih---dan model serupa telah diadopsi tanpa penyesuaian lokal di Indonesia.
Dampak AI di Indonesia bukan lagi prediksi, tapi realitas yang mengendap di balik kebijakan yang lamban dan kesadaran publik yang minim.
Jika kita tidak segera menyusun strategi nasional yang adil, etis, dan adaptif, maka AI bukan akan menjadi alat kemajuan, melainkan mesin pendepakan diam-diam terhadap pekerja, kebenaran, dan keadilan.
Bab III: Ratu Narasi AI sebagai Konsep Alternatif dari Masyarakat
A. Definisi dan Fondasi Teoretis: Narasi Sosial menurut Ricoeur dan Harari
Dalam setiap peradaban, manusia tidak hanya hidup berdasarkan data atau fakta, tetapi lebih-lebih berdasarkan narasi---rangkaian makna kolektif yang membentuk identitas, memberi arah, dan menjelaskan masa depan. Narasi adalah "feromon sosial": seperti aroma kimia yang mengarahkan lebah, narasi mengarahkan masyarakat untuk bertindak, menilai, dan bermimpi bersama.
Paul Ricoeur, dalam karya besarnya Time and Narrative (1984), menyatakan bahwa narasi bukan hanya cara menceritakan waktu, melainkan struktur fundamental dalam memahami eksistensi manusia. Ia menekankan konsep "emplotment"---yakni bagaimana manusia mengatur peristiwa acak dalam kerangka cerita yang memiliki awal, tengah, dan akhir yang bermakna. Dengan kata lain, masyarakat membentuk jati dirinya melalui kemampuan membangun cerita yang kohesif tentang siapa mereka dan ke mana mereka menuju.
Dalam konteks Indonesia menghadapi AI, kita melihat kegagalan dalam emplotment: tidak ada narasi besar yang mampu menjelaskan secara meyakinkan di mana posisi Indonesia dalam gelombang disrupsi ini, siapa "kita" di hadapan AI, dan masa depan seperti apa yang sedang dibangun bersama. Ini adalah krisis identitas dan arah.
Yuval Noah Harari memperluas gagasan ini dalam Sapiens dan Homo Deus, dengan menyatakan bahwa manusia menguasai dunia karena kemampuan kolektifnya menciptakan dan mempercayai narasi bersama---tentang agama, negara, uang, dan hukum. Dalam era AI, kata Harari, akan muncul narasi baru yang menyaingi narasi-narasi lama, dan siapa yang mengendalikan narasi baru itu akan mengendalikan masa depan umat manusia.
Namun saat ini, narasi AI di Indonesia bukanlah milik rakyat, melainkan milik korporasi global, elite teknokrat, dan segelintir pemilik modal. Rakyat Indonesia menjadi konsumen, bukan pencipta narasi.
Ratu Narasi sebagai Simbol Sosial
Dalam konteks ini, gagasan "Ratu Narasi AI" yang ditawarkan tulisan ini adalah metafora kolektif tentang kebutuhan masyarakat Indonesia untuk membangun kembali orientasi bersama secara swadaya---suatu sumber makna yang mengarahkan keputusan politik, ekonomi, dan budaya dalam menghadapi AI. Jika elite politik adalah "ratu lebah" yang mati dan kehilangan feromon arah, maka masyarakat harus melahirkan Ratu Narasi baru---berbasis pengetahuan, etika, dan visi jangka panjang.
Konsep ini berpijak pada tiga pilar:
1. Narasi sebagai Infrastruktur Sosial: Menggantikan ketergantungan pada kebijakan elite dengan penciptaan narasi berbasis komunitas, pendidikan, dan kesadaran digital.
2. Narasi sebagai Daya Tahan: Menjadi alat melawan alienasi, ketakutan, dan ketimpangan yang lahir dari disrupsi AI.
3. Narasi sebagai Instrumen Kepemimpinan Sosial: Menghidupkan kembali fungsi "kepemimpinan adaptif" dari bawah (bottom-up), sebagaimana dikemukakan oleh Ronald Heifetz, di mana masyarakat memimpin dirinya melalui pembelajaran, dialog, dan aksi kolektif.
B. Kenapa Masyarakat Harus Membentuk Narasi Sendiri: Pelajaran dari Gerakan Teknologi Akar Rumput di India, Kenya, dan Brasil
Sejarah perubahan sosial sering kali bukan ditulis oleh tangan kekuasaan, melainkan oleh masyarakat yang memilih untuk tidak menunggu---yang membangun harapan dan solusi dengan tangannya sendiri. Dalam konteks disrupsi AI dan teknologi digital, pengalaman negara-negara berkembang seperti India, Kenya, dan Brasil menunjukkan bahwa masyarakat sipil tidak hanya bisa menjadi konsumen teknologi, tetapi juga penghasil makna, arsitek solusi, dan penjaga nilai-nilai kemanusiaan dalam era otomatisasi.
1. India: Dari Narasi Digital Elite ke Narasi Inklusif
Pada awalnya, transformasi digital India dikuasai oleh korporasi besar dan elite politik yang membingkai AI for development dalam narasi top-down. Namun, muncul inisiatif akar rumput seperti Digital Empowerment Foundation (DEF) dan Gram Vaani, yang mendorong inklusi digital di desa-desa terpencil melalui teknologi murah dan lokal. Narasi bergeser: dari "AI untuk negara" menjadi "AI dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat."
Menurut laporan NITI Aayog (2021), inisiatif lokal yang mengaitkan AI dengan pertanian, kesehatan desa, dan literasi digital jauh lebih berkelanjutan karena tumbuh dari konteks dan kebutuhan riil masyarakat. India mengajarkan kita bahwa narasi yang berasal dari bawah lebih tahan krisis, lebih berakar, dan lebih adaptif.
2. Kenya: Teknologi sebagai Alat Pembebasan Sosial
Kenya dikenal dengan inovasi M-Pesa, sistem pembayaran digital yang lahir bukan dari Silicon Valley, tetapi dari kebutuhan rakyat yang tidak terlayani oleh sistem keuangan formal. Gerakan ini menunjukkan bahwa ketika teknologi dikembangkan dalam konteks budaya dan sosial lokal, ia mampu menciptakan dampak besar yang tidak terduga oleh peta kekuasaan global.
Tak hanya itu, gerakan seperti AI Kenya dan Data Science Africa tumbuh dari komunitas, universitas, dan hackathon independen. Mereka mengembangkan aplikasi AI untuk mendeteksi gagal panen, menyebarkan informasi kesehatan, dan menganalisis data urban. Narasi mereka bukan tentang ketertinggalan dari Barat, tapi tentang kemandirian pengetahuan.
3. Brasil: Pendidikan dan Komunitas Sebagai Ratu Narasi
Di Brasil, berbagai komunitas seperti Porto Digital di Recife dan Open Knowledge Brasil telah menunjukkan bagaimana kolaborasi antara aktivis, akademisi, dan pemuda bisa menghasilkan narasi yang tidak hanya kritis terhadap teknologi, tetapi juga produktif. Mereka membangun code school, data journalism hub, dan ruang diskusi publik untuk membongkar bias algoritma, memperjuangkan etika digital, dan menciptakan platform keterbukaan data publik.
Hal yang menarik, keberhasilan ini tidak lahir dari regulasi pusat, tetapi dari kesadaran kolektif bahwa masa depan digital tidak bisa diserahkan pada pasar dan negara semata. Dalam konteks ini, ratu narasi adalah komunitas itu sendiri.
Refleksi untuk Indonesia
Jika India, Kenya, dan Brasil bisa, kenapa Indonesia tidak?
Kita memiliki ratusan komunitas teknologi, pesantren digital, laboratorium kampus, dan LSM dengan kapasitas luar biasa. Namun, tanpa narasi pemersatu, mereka tercerai-berai. Indonesia perlu menyadari bahwa membiarkan elite politik mendefinisikan AI tanpa keterlibatan masyarakat sama saja dengan menyerahkan masa depan kepada ratu lebah yang sudah mati. Sebaliknya, ketika masyarakat menyusun narasi sendiri, mereka menciptakan arah dan makna yang relevan, etis, dan berkelanjutan.
C. Ratu Narasi sebagai Organisme Sosial: Adaptasi dan Evolusi Arah Tanpa Pusat Komando Tunggal
Bayangkan sebuah organisme hidup yang bergerak, beradaptasi, dan berevolusi tanpa perlu perintah tunggal dari otak pusat---itulah ratu narasi dalam konteks masyarakat. Tidak seperti struktur kekuasaan hierarkis yang menggantungkan arah pada satu titik komando (presiden, menteri, elite partai), narasi yang lahir dari rakyat bekerja seperti kecerdasan kolektif (collective intelligence) dalam koloni lebah, burung, atau jaringan digital.
1. Teori Sistem Kompleks dan Adaptif
Dalam teori sistem kompleks adaptif (Complex Adaptive Systems) yang dijelaskan oleh ilmuwan seperti Ilya Prigogine, Edgar Morin, dan Melanie Mitchell, masyarakat tidak selalu membutuhkan struktur pusat untuk beradaptasi terhadap perubahan. Yang dibutuhkan adalah aturan sederhana, agen-agen otonom, dan kemampuan untuk belajar serta menyesuaikan diri secara lokal.
Narasi sosial dalam konteks ini bersifat emergen---ia tumbuh dari interaksi antara individu, komunitas, dan pengalaman-pengalaman sehari-hari. Ketika ribuan mikro-narasi saling terhubung, mereka membentuk arah kolektif tanpa harus dikendalikan oleh satu figur sentral.
2. Narasi Sebagai Imunitas Sosial
Seperti sistem kekebalan tubuh, narasi kolektif yang dibangun bersama menyaring informasi, mengenali ancaman, dan membentuk respons sosial yang sesuai. Di tengah disrupsi AI, masyarakat yang tidak punya ratu narasi akan mengalami kebingungan massal, terseret oleh hoaks, tak siap terhadap automasi, dan tergilas oleh algoritma yang tak mereka pahami.
Sebaliknya, masyarakat yang punya ratu narasi sosial yang hidup---meski tanpa satu pemimpin tunggal---mampu membentuk refleksi kolektif: apa yang baik, apa yang penting, dan ke mana kita harus melangkah bersama.
3. Implementasi dalam Konteks Indonesia
Indonesia dengan 17.000 pulau, ratusan etnis, dan spektrum sosial yang luas tidak cocok dengan pendekatan top-down tunggal. Yang dibutuhkan bukanlah "satu narasi nasional" yang seragam, melainkan jaringan narasi lokal yang saling menguatkan dan meresonansi, seperti suara gamelan yang harmonis dalam keragaman.
Contoh implementatif dari ini bisa terlihat dari:
Komunitas petani yang mengembangkan sistem AI untuk prakiraan cuaca lokal.
Pesantren yang membangun etika digital berbasis nilai-nilai Islam.
Pelajar dan jurnalis muda yang menyusun panduan literasi AI dan algoritma.
Semua itu adalah bagian dari tubuh organisme narasi kolektif yang hidup dan terus berubah. Ia tidak menunggu perintah presiden atau kementerian, tetapi bergerak karena kebutuhan, nilai, dan kecintaan terhadap masa depan.
Kesimpulan sementara bab ini:
 Membangun Ratu Narasi AI berarti mempercayai kecerdasan sosial kita sendiri---bahwa masyarakat mampu menciptakan arah, bukan hanya menerima nasib. Di tengah kekosongan arah dari elite, narasi sosial menjadi satu-satunya sumber feromon orientasi baru bagi bangsa.
Bab IV: Pilar-Pilar Narasi AI Mandiri,Â
1. Narasi Keadilan Sosial dan Distribusi Teknologi
Setiap revolusi teknologi membawa janji---dan juga luka. AI hari ini menjanjikan efisiensi, produktivitas, bahkan "keabadian" lewat digitalisasi kesadaran. Namun seperti sejarah revolusi industri sebelumnya, tanpa kesadaran sosial yang kuat, kemajuan teknologi sering kali berarti kemunduran bagi mereka yang tertinggal.
A. Keadilan sebagai Jantung Narasi AI
Dalam narasi AI yang mandiri, keadilan sosial bukanlah embel-embel, melainkan inti cerita. AI yang tidak diarahkan pada keadilan hanya akan mempercepat ketimpangan, memperkuat bias algoritmik, dan mengasingkan kelompok-kelompok marjinal dari pusat-pusat pengambilan keputusan. Sebaliknya, AI yang berbasis narasi keadilan akan bertanya:
Siapa yang mendapatkan akses terhadap teknologi ini?
Siapa yang kehilangan pekerjaan karenanya?
Siapa yang dilibatkan dalam pengambilan kebijakan AI?
Kita membutuhkan narasi yang menuntut redistribusi bukan hanya kekayaan, tapi redistribusi kapasitas, kontrol, dan pengetahuan teknologi.
B. Pembelajaran dari Ketimpangan Global
Menurut Global AI Index (Tortoise Media, 2023), negara-negara seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan Inggris menguasai hampir 70% investasi dan inovasi AI global. Sementara itu, negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, berisiko hanya menjadi pasar---konsumen algoritma, bukan pencipta.
Tanpa narasi yang menuntut kedaulatan digital dan keadilan dalam akses infrastruktur, pendidikan, dan data, Indonesia akan tertinggal sebagai koloni digital.
C. Distribusi Teknologi sebagai Aksi Politik
Distribusi teknologi bukan sekadar soal membagikan laptop ke sekolah-sekolah atau membangun pusat data di kota. Ini tentang memastikan bahwa nelayan di Sulawesi, petani di Kulon Progo, buruh pabrik di Karawang, dan siswa di Nias punya ruang yang setara dalam ekosistem digital yang sedang dibangun. Ini adalah aksi politik yang menuntut:
Literasi AI berbasis lokal dan bahasa ibu.
Akses data dan internet sebagai hak asasi digital.
Kepemilikan bersama atas algoritma yang memengaruhi hidup masyarakat.
D. Membangun Narasi yang Membela, Bukan Menindas
Narasi AI mandiri harus berpihak. Ia harus berpihak kepada mereka yang paling rentan di tengah disrupsi. Seperti kata Amartya Sen, "keadilan bukan hanya soal merancang lembaga, tetapi mengatasi penderitaan yang nyata." Di sinilah pentingnya membangun narasi yang bukan netral, tetapi berkomitmen pada pembebasan dan keberdayaan.
Jembatan ke subbagian selanjutnya:
 Tanpa keadilan sosial, narasi AI akan menjadi dongeng elit di tengah banjir data dan kelaparan makna. Maka pilar kedua yang harus kita bangun adalah Narasi Literasi dan Kedaulatan Kognitif, agar masyarakat tidak hanya menerima, tetapi memahami dan mengendalikan narasi digital mereka sendiri.
2. Narasi Kedaulatan Algoritma dan Data Lokal
Di abad ke-21, data adalah minyak baru, namun lebih dari sekadar komoditas: data adalah cermin jiwa kolektif suatu bangsa. Dalam lanskap digital global saat ini, Indonesia tak ubahnya ladang minyak yang dikeruk tanpa kendali---algoritma asing memanen perilaku, emosi, dan bahkan pilihan politik masyarakat kita. Narasi AI mandiri harus menegaskan: data dan algoritma adalah wilayah kedaulatan, bukan sekadar aset ekonomi.
A. Data sebagai Representasi Kolektif
Setiap klik, rekaman CCTV, unggahan media sosial, dan transaksi digital menyusun identitas digital Indonesia. Namun ironisnya, sebagian besar data ini dimiliki, diolah, dan disimpan di luar negeri---oleh perusahaan raksasa seperti Google, Meta, TikTok, dan OpenAI.
 Menurut laporan Global Data Barometer (2023), Indonesia tergolong lemah dalam kategori data governance, khususnya dalam hal keterbukaan data publik, perlindungan privasi, dan transparansi penggunaan algoritma.
Tanpa kontrol atas data, kita tidak mengendalikan narasi---kita hanyalah karakter figuran dalam cerita digital yang ditulis orang lain.
B. Algoritma: Logika yang Mewakili Siapa?
Algoritma bukan netral. Ia diciptakan oleh manusia, dengan asumsi, nilai, dan bias tertentu. Jika algoritma AI yang digunakan di Indonesia berasal dari luar negeri tanpa adaptasi lokal, maka:
Nilai budaya lokal akan tergeser.
Bahasa Indonesia dan bahasa daerah akan terpinggirkan.
Polarisasi dan misinformasi dapat meningkat karena algoritma yang mengutamakan engagement daripada empati.
Seperti dikemukakan Shoshana Zuboff dalam Surveillance Capitalism, algoritma global hari ini "membajak masa depan dengan memonopoli prediksi perilaku."
C. Membangun Kedaulatan Digital sebagai Gerakan Sosial
Kedaulatan data dan algoritma bukan sekadar proyek teknis, tetapi agenda politik dan kultural. Narasi ini mengajak masyarakat untuk:
Membangun pusat data lokal yang transparan dan etis.
Mengembangkan algoritma berbasis nilai-nilai Pancasila, keragaman budaya, dan empati sosial.Mendorong literasi data agar publik sadar bagaimana perilaku mereka diproses dan dimonetisasi.
Studi dari Digital Public Goods Alliance menunjukkan bahwa negara-negara seperti India (melalui IndiaStack), dan Kenya (melalui Ushahidi), telah berhasil membangun ekosistem data dan algoritma berbasis kedaulatan lokal untuk mendukung pelayanan publik dan demokrasi digital.
D. Narasi Baru: Dari Pengguna Menjadi Pemilik
Kita perlu beralih dari paradigma "pengguna teknologi" menjadi pemilik ekosistem digital. Data lokal harus dikelola secara demokratis, melibatkan komunitas, universitas, dan lembaga adat. Algoritma tidak boleh hanya dibentuk di Silicon Valley; ia harus dikodekan dari sawah, pasar, pesantren, dan kampung.
Namun, memiliki kedaulatan data dan algoritma tak cukup jika masyarakat tak memiliki kapasitas kritis dan imajinatif untuk membaca serta merancangnya. Maka pilar ketiga dari narasi AI mandiri adalah Narasi Literasi Digital dan Imajinasi Kognitif.
3. Narasi Etika, Budaya, dan Gotong Royong Digital
Jika teknologi adalah mesin, maka etika dan budaya adalah rem dan kompasnya. Dalam era disrupsi AI yang serba cepat dan kerap membutakan arah, masyarakat Indonesia tidak boleh hanya berlomba menciptakan teknologi yang pintar, tetapi harus menanamkan jiwa pada mesin. Inilah pentingnya membangun narasi etika, budaya, dan gotong royong digital---sebuah fondasi moral yang bukan hanya mencegah penyimpangan, tapi juga memberi makna dan arah bagi lompatan teknologi kita.
A. Etika Digital sebagai Filter Sosial Baru
AI kini telah menyentuh ruang paling intim: pendidikan anak, keputusan hukum, bahkan pilihan jodoh. Tanpa fondasi etis yang kuat, algoritma bisa menjadi alat penindasan, manipulasi, bahkan dehumanisasi.
 Menurut laporan UNESCO (2021) tentang AI Ethics, negara-negara berkembang seperti Indonesia berisiko menjadi "koloni etika digital", yaitu mengimpor standar moral teknologi dari luar tanpa adaptasi lokal.
Oleh karena itu, Indonesia membutuhkan etika digital yang:
Berakar pada nilai kemanusiaan universal dan lokal seperti gotong royong, adab, dan kepedulian sosial.
Menekankan prinsip non-diskriminatif, inklusif, dan berkeadilan sosial.
Menolak otomatisasi keputusan tanpa keterlibatan manusia (human-in-the-loop).
B. Budaya Lokal sebagai Penjaga Identitas dalam Lompatan Digital
Teknologi bisa mengikis budaya, atau justru memperkuatnya---tergantung narasi. Jika tidak hati-hati, kita hanya akan meniru logika Barat: individualisme, efisiensi dingin, dan logika untung-rugi.
Narasi AI mandiri harus mengangkat bahwa budaya Indonesia bukan hambatan, tapi sumber inovasi.
Contohnya:
Wayang, batik, dan pantun bisa diolah oleh AI untuk pelestarian dan pembelajaran lintas generasi.
Kearifan lokal seperti musyawarah, pranata adat, dan falsafah lokal (misalnya Tri Hita Karana di Bali) bisa menjadi inspirasi dalam desain sistem kolaboratif dan etis.
C. Gotong Royong Digital: Dari Etos Tradisional ke Ekosistem Teknologis
Gotong royong bukan sekadar kerja bakti. Ia adalah prinsip distribusi peran, kolektivitas tanggung jawab, dan solidaritas tanpa pamrih.
Dalam konteks digital, ini dapat diwujudkan melalui:
Open source dan open data movement yang memperbolehkan inovasi bersama tanpa monopoli.
Komunitas AI akar rumput seperti AI4Impact, Bangkit, dan komunitas pengembang lokal yang berbagi kode, pelatihan, dan data.
Platform teknologi koperatif---bukan hanya startup komersial, tapi sistem digital berbasis kepemilikan komunitas.
Laporan MIT Technology Review (2023) menyebut bahwa bentuk inovasi paling berkelanjutan di negara-negara Selatan berasal dari communal innovation, bukan hanya dari R&D elit.
Penutup Pilar 3:
Tanpa etika, AI hanyalah mesin tak berjiwa. Tanpa budaya, AI adalah cermin budaya asing. Tanpa gotong royong, AI hanya milik segelintir.
Ratu Narasi AI yang kita bangun haruslah lahir dari denyut nadi masyarakat sendiri---berakar pada adab, berbuah pada kemaslahatan.
4. Narasi Regenerasi Talenta: Pendidikan AI dari Rakyat untuk Rakyat
Jika teknologi adalah obor zaman, maka manusia adalah penjaganya. Namun Indonesia tengah menghadapi paradoks: populasi muda melimpah, tapi regenerasi talenta AI masih berjalan lambat dan eksklusif. Narasi yang dibutuhkan bukan hanya soal mengisi lowongan, tapi membangun peradaban berbasis talenta rakyat---AI bukan untuk elit digital semata, tetapi untuk anak-anak dari gang sempit, kampung laut, dan lereng gunung.
A. Realita Kesenjangan Talenta AI
Menurut Oxford AI Readiness Index (2023), Indonesia berada di peringkat 71 dari 193 negara. Sementara itu, laporan WEF Future of Jobs (2023) menyebut bahwa Indonesia kekurangan lebih dari 9 juta talenta digital pada 2030, sebagian besar di bidang AI dan data science.
Kesenjangan ini bukan hanya soal akses internet, tetapi:
Minimnya kurikulum AI di pendidikan dasar dan menengah.
Sentralisasi pelatihan pada kota-kota besar.
Mahalnya akses ke pelatihan AI privat dan sertifikasi global.
Akibatnya, hanya segelintir yang "berhak" bermimpi jadi inovator AI, sedangkan sisanya hanya menjadi pasar dan korban otomatisasi.
B. Pendidikan AI dari Bawah: Rakyat sebagai Subjek, Bukan Objek
Narasi baru harus menggeser logika charity-based ke agency-based:
"Bukan rakyat yang menyesuaikan AI, tapi AI yang dibentuk oleh imajinasi rakyat."
Inspirasi dapat diambil dari:
India: gerakan AI for All oleh pemerintah Modi melatih jutaan siswa sekolah menengah dengan modul dasar AI dalam berbagai bahasa daerah.
Kenya: Data Science Africa, komunitas lintas desa yang mengembangkan solusi pertanian dan kesehatan dengan pelatihan AI berbasis kebutuhan lokal.
Brasil: program Coding from the Favelas yang membuktikan bahwa bakat AI bisa lahir dari lingkungan miskin jika diberi kanal ekspresi.
Indonesia bisa mengembangkan versi lokal dari pendekatan ini melalui:
Modul pembelajaran AI berbasis bahasa daerah dan konteks lokal.
Integrasi pelatihan AI dalam BLK, pesantren, dan SMK.
Gerakan pelatihan peer-to-peer berbasis komunitas: Rakyat melatih rakyat.
C. Ekosistem Regeneratif: Dari Bibit ke Hutan Talenta
Membangun talenta tidak bisa instan. Dibutuhkan narasi regeneratif, bukan sekadar reaktif:
Mentorship jangka panjang, bukan hanya workshop sekali jadi.
Kolaborasi antar daerah dan antar lapisan usia: menciptakan jejaring belajar lintas generasi.
Inkubator AI lokal yang tidak hanya memproduksi startup, tapi juga public innovators: guru, petani, pedagang, seniman yang memanfaatkan AI untuk perubahan sosial.
Pendidikan AI harus menjadi bagian dari narasi kebangsaan:
"Seperti dulu kita bangga bisa baca-tulis, kini kita harus bangga bisa berpikir algoritmis."
Regenerasi bukan hanya tentang keahlian, tetapi tentang martabat---bahwa anak Indonesia dari segala penjuru berhak menciptakan masa depan, bukan hanya menonton dari pinggir layar.
Narasi AI yang kita bangun tidak boleh elitistik; ia harus tumbuh dari desa, kampus, pasar, dan warung kopi---menjadi pendidikan dari rakyat, oleh rakyat, untuk masa depan semua rakyat.
5. Narasi Ekologi dan Keberlanjutan Teknologi
Teknologi tanpa batas bisa menjadi pedang bermata dua---memajukan peradaban sekaligus menghancurkan alam dan kehidupan yang menopangnya. Indonesia, sebagai negara dengan kekayaan alam yang melimpah dan keanekaragaman hayati yang luar biasa, berada di persimpangan kritis. Narasi AI yang mandiri tidak bisa lepas dari kesadaran ekologis dan keberlanjutan teknologi sebagai prinsip fundamental.
A. Jejak Karbon dan Dampak Energi AI
AI modern, terutama model-model besar seperti GPT dan model pembelajaran mendalam lain, memerlukan sumber daya energi besar.
Menurut studi dari University of Massachusetts Amherst (Strubell et al., 2019), pelatihan satu model AI besar dapat menghasilkan emisi karbon setara dengan 5 mobil seumur hidupnya.
Indonesia, yang masih berjuang mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, harus mengantisipasi lonjakan konsumsi energi dari sektor AI. Tanpa strategi hijau, AI bisa mempercepat krisis iklim.
B. Teknologi Berkelanjutan sebagai Pilar Kedaulatan Teknologi
Narasi mandiri harus menekankan pada:
AI ramah lingkungan: pengembangan algoritma hemat energi dan perangkat keras yang efisien.
Energi terbarukan: integrasi AI dengan sumber energi hijau seperti tenaga surya dan mikrohidro, terutama di daerah terpencil.
Sirkularitas teknologi: memaksimalkan daur ulang komponen elektronik dan pengelolaan limbah e-waste yang semakin meningkat.
C. Sinergi Tradisi Lokal dan Teknologi Hijau
Indonesia kaya dengan kearifan lokal yang mendukung keberlanjutan:
Sistem Subak Bali sebagai contoh pengelolaan air berkelanjutan dan demokratis.
Hutan adat dan konservasi berbasis masyarakat yang menjaga keanekaragaman hayati sekaligus mendorong ketahanan pangan.
Narasi AI yang kuat harus mampu menjembatani teknologi dengan tradisi ini, menciptakan model "teknologi lestari" yang tidak hanya mengakselerasi kemajuan tetapi juga melindungi bumi dan warisan generasi.
D. Dampak Sosial-Ekologis dan Keadilan Iklim
Selain aspek teknis, narasi keberlanjutan harus menyentuh dimensi sosial:
Bagaimana AI bisa membantu mitigasi bencana alam, pengelolaan sumber daya air, dan pemantauan deforestasi.
Memastikan bahwa transisi ke ekonomi digital dan hijau tidak menambah ketimpangan sosial dan ruang hidup masyarakat adat dan lokal.
Narasi teknologi yang tidak memikirkan ekologi adalah narasi yang sia-sia---sebuah peradaban yang membangun menara digital di atas fondasi yang rapuh.
Indonesia harus menempatkan keberlanjutan sebagai roh utama dalam narasi AI mandiri, agar teknologi yang kita bangun menjadi berkat, bukan kutukan, bagi generasi sekarang dan mendatang.
Bab V: Strategi Pembangunan Narasi oleh Masyarakat Sipil
A. Peran Komunitas, Universitas, Pesantren, dan Organisasi Sipil
Di tengah kekosongan narasi kepemimpinan elite soal AI, masyarakat sipil harus mengambil peran sentral sebagai motor penggerak pembangunan narasi AI yang mandiri dan inklusif.
1. Komunitas Teknologi dan Digital Lokal
Komunitas seperti kelompok pengembang perangkat lunak, hacker komunitas, dan jaringan startup inovatif dapat menjadi laboratorium sosial yang mengembangkan narasi dan praktik AI sesuai kebutuhan lokal.
Contohnya, komunitas open-source di Indonesia seperti ID-SIRTII/CC, Hacktivist, dan CoderDojo mampu merumuskan standar etika, berbagi pengetahuan, dan membangun ekosistem edukasi berbasis kolaborasi.
2. Universitas sebagai Inkubator Ide dan Talenta
Perguruan tinggi memiliki peran strategis dalam menghasilkan riset terapan dan talenta yang mampu mengisi kekosongan kepemimpinan.
Lebih dari itu, universitas dapat menjadi pusat dialog multi-disipliner untuk menggabungkan perspektif teknologi, sosial, budaya, dan etika dalam narasi AI.
Program-program studi AI harus lebih diarahkan pada konteks lokal dan kebutuhan sosial, bukan sekadar teknis semata.
3. Pesantren: Pilar Kultural dan Pendidikan Alternatif
Pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional dan kultural berpotensi mengintegrasikan pembelajaran AI dengan nilai-nilai agama dan etika sosial yang kuat.
Ini menjadi kunci dalam membangun narasi AI yang tidak hanya maju secara teknologi tetapi juga berlandaskan nilai-nilai moral dan gotong royong.
Beberapa pesantren telah mulai mengembangkan program literasi digital dan coding yang bisa dikembangkan menjadi kurikulum AI berbasis nilai lokal.
4. Organisasi Sipil dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
Organisasi masyarakat yang fokus pada hak digital, keadilan sosial, dan lingkungan hidup dapat mengadvokasi regulasi, transparansi, dan inklusi dalam pembangunan AI.
LSM juga bisa menjadi mediator antara pemerintah, swasta, dan masyarakat untuk memastikan narasi dan kebijakan AI tidak elitis dan mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Strategi pembangunan narasi AI mandiri harus dimulai dari ruang-ruang sosial yang dekat dengan masyarakat---komunitas, kampus, pesantren, dan organisasi sipil---yang mampu berkolaborasi secara sinergis, mengisi kekosongan kepemimpinan dengan narasi dan aksi nyata.
Mereka adalah "Ratu Narasi" rakyat yang mampu memimpin tanpa tahta resmi, tetapi dengan pengaruh kolektif dan ide yang mengakar.
B. Desain Literasi Digital sebagai Gerakan
Literasi digital bukan lagi sekadar kemampuan teknis menggunakan perangkat digital, melainkan menjadi fondasi utama dalam membangun kesadaran kritis dan narasi mandiri terkait AI. Dalam konteks Indonesia yang sangat heterogen, literasi digital harus dirancang sebagai gerakan kolektif yang inklusif dan adaptif.
1. Pendekatan Multidimensional
Literasi digital harus mencakup aspek-aspek berikut:
Pemahaman teknologi AI dan algoritma: agar masyarakat dapat mengenali dampak, potensi, dan risiko AI dalam kehidupan sehari-hari.
Kesadaran etika dan hak digital: menanamkan pemahaman soal privasi data, keamanan informasi, dan keadilan algoritmik.
Kritis terhadap disinformasi: mengajarkan cara mengenali berita palsu, manipulasi digital, dan bias media sosial.
Penguasaan alat digital: termasuk coding dasar, penggunaan platform AI terbuka, dan pembuatan konten kreatif digital.
2. Gerakan Literasi Digital Berbasis Komunitas
Gerakan literasi digital harus berakar dari komunitas lokal, bukan hanya bergantung pada inisiatif top-down. Contohnya:
Program pelatihan digital di desa-desa yang menggabungkan teknologi dengan kebutuhan lokal seperti pertanian pintar (smart farming).
Kolaborasi dengan sekolah, pesantren, dan kelompok perempuan untuk memberdayakan kelompok rentan secara digital.
Inisiatif digital hubs atau pusat akses teknologi di ruang publik yang sekaligus menjadi ruang edukasi dan diskusi.
3. Peran Media dan Konten Lokal
Media lokal dan konten kreator juga harus diberdayakan sebagai agen penyebar literasi digital. Mereka berperan mengemas informasi tentang AI dan teknologi secara mudah dipahami, relevan dengan budaya, serta menginspirasi aksi positif.
 Pendekatan narasi yang mengangkat nilai gotong royong, kearifan lokal, dan semangat kolaborasi digital dapat meningkatkan keterlibatan masyarakat luas.
4. Kolaborasi dengan Pemerintah dan Swasta
Meski gerakan harus berakar dari masyarakat, dukungan pemerintah dan sektor swasta sangat penting untuk memperluas jangkauan, menyediakan infrastruktur digital, serta menciptakan kebijakan yang mendukung literasi digital inklusif dan berkelanjutan.
Desain literasi digital sebagai gerakan adalah kunci pembuka jalan menuju Ratu Narasi AI yang kuat dan berdaulat. Dengan literasi yang menyeluruh dan partisipatif, masyarakat tidak hanya menjadi konsumen teknologi, tapi juga pembentuk dan pengawal masa depan teknologi Indonesia.
C. Kolaborasi Swadaya: Open-Source AI, Ruang Belajar Mandiri, dan Festival Narasi Teknologi
Untuk membangun narasi AI yang mandiri dan inklusif, kolaborasi swadaya masyarakat menjadi sangat penting. Kolaborasi ini tidak hanya memadukan sumber daya dan pengetahuan, tapi juga memperkuat ikatan sosial dan kultur inovasi yang berbasis komunitas.
1. Open-Source AI sebagai Platform Kolaborasi
Pengembangan AI open-source memungkinkan akses terbuka ke alat, kode, dan data yang dapat dimanfaatkan oleh siapa saja tanpa batasan kepemilikan atau biaya tinggi.
Model open-source memungkinkan komunitas lokal untuk berinovasi dengan adaptasi kontekstual terhadap kebutuhan Indonesia, sekaligus menghindari ketergantungan pada teknologi asing.
Contoh inisiatif open-source seperti TensorFlow, Hugging Face, dan OpenAI API dapat dijadikan basis untuk pengembangan lokal yang lebih inklusif dan transparan.
2. Ruang Belajar Mandiri dan Inkubasi Komunitas
Pendirian ruang belajar mandiri atau learning hubs di berbagai daerah dapat menjadi wadah bagi masyarakat untuk saling berbagi ilmu, berdiskusi, dan mengembangkan proyek AI bersama.
Ruang ini bisa berbentuk coworking space, perpustakaan digital, atau ruang komunitas yang difasilitasi oleh universitas, LSM, atau kelompok swadaya masyarakat.
Pendekatan pembelajaran berbasis proyek dan peer-to-peer menjadi metode efektif untuk membangun kapasitas teknologi sekaligus membangun narasi sosial tentang AI yang relevan.
3. Festival Narasi Teknologi: Ajang Sosialisasi dan Inspirasi
Festival teknologi yang mengangkat tema AI dan digitalisasi dapat menjadi momentum untuk mempertemukan berbagai pemangku kepentingan---akademisi, penggiat komunitas, pelaku industri, dan masyarakat umum.
Festival ini berfungsi sebagai ruang publik untuk mendemokratisasi diskursus AI, memperkuat narasi alternatif, serta memperlihatkan kisah sukses dan tantangan di lapangan.
Kegiatan seperti workshop, seminar, pameran inovasi, serta pertunjukan seni digital dapat meningkatkan kesadaran dan keterlibatan masyarakat luas.
Kolaborasi swadaya melalui open-source AI, ruang belajar mandiri, dan festival narasi teknologi merupakan pilar penting dalam membangun Ratu Narasi AI yang kuat dan tahan banting. Dengan sinergi yang terbangun dari bawah, narasi AI Indonesia dapat lebih autentik, adaptif, dan berkelanjutan.
Menjadi Feromon Baru Peradaban
Dalam kerangka biologis, feromon adalah zat kimia yang digunakan oleh makhluk hidup, seperti lebah, untuk berkomunikasi dan mengarahkan perilaku kolektif secara efektif tanpa perlu perintah langsung. Dalam konteks peradaban modern yang diwarnai oleh disrupsi teknologi seperti AI, masyarakat harus mampu menjadi "feromon baru" --- penggerak dan penentu arah bersama yang menggantikan kekosongan kepemimpinan narasi dari elite.
Refleksi: Apa yang Terjadi Jika Masyarakat Tidak Bergerak?
Jika masyarakat Indonesia gagal mengambil peran aktif dalam membangun narasi dan arah pengembangan AI, konsekuensinya sangat serius:
Keterpurukan sosial-ekonomi akibat ketidaksiapan menghadapi perubahan pasar tenaga kerja yang cepat dan disrupsi industri.
Kehilangan kedaulatan teknologi dan data, menjadikan Indonesia sekadar konsumen pasif teknologi asing tanpa mampu mengendalikan atau menyesuaikan sesuai konteks lokal.
Meningkatnya ketimpangan sosial dan digital, di mana hanya segelintir elit dan korporasi yang menikmati manfaat teknologi AI, sementara mayoritas masyarakat terpinggirkan.
Kerentanan terhadap disinformasi, manipulasi algoritmik, dan hilangnya ruang demokrasi, karena tanpa narasi mandiri, masyarakat mudah dipengaruhi narasi asing atau kepentingan tersembunyi.
Arah ke Depan: AI Bukan Hanya Soal Teknologi, Tapi Soal Siapa yang Membayangkan Masa Depan
AI bukan sekadar mesin atau algoritma---AI adalah tentang kekuasaan narasi dan imajinasi kolektif tentang masa depan yang kita inginkan.
Siapa yang menulis narasi ini, siapa yang membayangkan masa depan, itulah yang akan mengarahkan jalannya sejarah.
Karena itu, peran masyarakat luas---bukan hanya elite politik atau teknologi---menjadi kunci dalam menentukan bagaimana AI membentuk peradaban kita.
Narasi AI harus dikembangkan secara partisipatif, reflektif, dan kontekstual. Masyarakat harus menjadi penggagas utama narasi ini, yang mampu mengintegrasikan teknologi dengan nilai-nilai keadilan sosial, kedaulatan budaya, etika, dan keberlanjutan.
Kutipan Kunci
"In the absence of vision, people perish."
 --- Proverbs 29:18
Kutipan ini mengingatkan kita bahwa tanpa visi dan narasi yang jelas, sebuah bangsa atau masyarakat akan terombang-ambing dan akhirnya kehilangan arah dan jati diri. Visi itu harus hadir dari bawah, dari masyarakat, sebagai feromon yang menggerakkan kolektif menuju masa depan yang diharapkan.
Kesimpulan:
Menjadi feromon baru peradaban berarti masyarakat Indonesia harus bertransformasi menjadi penggerak narasi kolektif, mandiri, dan adaptif dalam menghadapi era AI. Ini adalah panggilan untuk bangkit, bersuara, dan bergerak bersama sebelum ruang narasi dan kepemimpinan diambil alih oleh kekuatan lain yang jauh dari nilai dan aspirasi bangsa.
Daftar Pustaka
1. Heifetz, R. A. (1994). Leadership Without Easy Answers. Harvard University Press. Referensi utama teori kepemimpinan dalam konteks masyarakat kompleks.
2. Prigogine, I. (1984). Order Out of Chaos: Man's New Dialogue with Nature. Bantam Books. Dasar teori sistem dinamis dan adaptasi dalam perubahan kompleks.
3. Toynbee, A. J. (1972). A Study of History. Oxford University Press. Perspektif peradaban dan siklus tantangan-respons.
4. Ricoeur, P. (1984). Time and Narrative. University of Chicago Press. Teori narasi sosial dan konstruksi makna kolektif.
5. Harari, Y. N. (2015). Homo Deus: A Brief History of Tomorrow. Harper .Diskursus narasi masa depan dan imajinasi kolektif.
6. Oxford Insights. (2023). AI Readiness Index 2023. Oxford University. Data dan analisis kesiapan AI Indonesia dan negara lain.
7. World Intellectual Property Organization (WIPO). (2023). Global Innovation Index 2023. Statistik inovasi dan teknologi global.
8. Pasquale, F. (2015). The Black Box Society: The Secret Algorithms That Control Money and Information. Harvard University Press. Etika algoritmik dan dampak sosial AI.
9. Eubanks, V. (2018). Automating Inequality: How High-Tech Tools Profile, Police, and Punish the Poor. St. Martin's Press. Dampak AI terhadap ketimpangan sosial dan pengangguran.
10. Bhanot, S., & Sharma, S. (2020). Community-led Technology Movements in India: Case Studies and Lessons. Journal of Development Studies, 56(4), 623-639. Studi kasus gerakan teknologi akar rumput di India.
11. Njenga, K., & Oduor, M. (2022). Grassroots Digital Literacy Initiatives in Kenya: Empowerment through Technology. African Journal of Information Systems, 14(1), 45-59. Pengalaman literasi digital berbasis komunitas di Afrika.
12. Silva, R., & Oliveira, F. (2019). Digital Inclusion and Social Narratives in Brazil: Building a Collective Vision. Latin American Journal of Communication, 10(2), 89-105. Contoh pengembangan narasi teknologi berbasis masyarakat.
13. Brynjolfsson, E., & McAfee, A. (2014). The Second Machine Age: Work, Progress, and Prosperity in a Time of Brilliant Technologies. W. W. Norton & Company. Analisis disrupsi teknologi dan perubahan sosial-ekonomi.
14. World Economic Forum. (2020). The Future of Jobs Report 2020. Dampak AI terhadap pasar kerja global dan nasional.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI