Manusia Tidak Dirancang untuk Masuk Neraka: Menyingkap Fitrah, Pilihan Bebas, dan Bukti Sejarah sebagai Antitesis terhadap Determinisme Ateis
Abstrak
Pernyataan ateis seperti "Jika Tuhan Maha Tahu bahwa banyak manusia akan masuk neraka, mengapa Tuhan tetap menciptakan manusia?" merupakan argumen deterministik yang menyamakan omniscience (kemahatahuan) dengan omnideterminisme (kehendak total atas hasil). Artikel ini menawarkan antitesis berbasis kombinasi pendekatan teologis, psikologis, historis, dan teoritis, termasuk konsep Nash Equilibrium dalam konteks moral dan eksistensial, untuk membuktikan bahwa manusia diciptakan dengan preferensi kodrati menuju kebaikan (surga), bukan kebinasaan (neraka). Dengan mengurai variabel internal dan eksternal pendorong ke neraka maupun penarik ke surga, serta bukti empiris dari sejarah peradaban dan perilaku manusia, artikel ini menekankan bahwa keberadaan neraka adalah konsekuensi logis dari kebebasan moral, bukan indikasi sadisme Tuhan. Penulis berargumen bahwa justru dalam kebebasan memilih itu, martabat manusia terletak. Maka, keberadaan neraka tidak menafikan keadilan dan kasih Tuhan, tetapi menegaskan tanggung jawab eksistensial manusia atas pilihannya sendiri.
I. Pendahuluan
Pernyataan Masalah: Kritik Ateis terhadap Eksistensi Neraka
Salah satu kritik paling populer dari kalangan ateis atau agnostik terhadap teologi ketuhanan, khususnya yang bersumber dari agama-agama Abrahamik, berkisar pada pertanyaan moral dan logis mengenai keberadaan neraka. Kritik ini seringkali dirumuskan dalam bentuk pertanyaan provokatif: "Jika Tuhan Maha Mengetahui bahwa banyak manusia akan masuk neraka, mengapa Tuhan tetap menciptakan mereka?" Dalam nalar mereka, keberadaan neraka tidak hanya menimbulkan problem teodise (keadilan Tuhan), tetapi juga memperlihatkan kontradiksi antara sifat Maha Pengasih Tuhan dan keberadaan hukuman kekal. Lebih jauh, mereka menilai bahwa penciptaan manusia yang pada akhirnya "gagal" dan masuk ke dalam penderitaan abadi merupakan indikasi dari desain cacat atau bahkan sifat Tuhan yang kejam.
Signifikansi Pembahasan dalam Konteks Zaman Modern
Di tengah era modern yang ditandai oleh berkembangnya kesadaran hak asasi manusia, rasionalisme sekuler, dan meningkatnya krisis makna dalam kehidupan urban-kapitalistik, pertanyaan-pertanyaan semacam ini tidak lagi sekadar spekulatif. Mereka menjadi refleksi dari kegelisahan eksistensial manusia terhadap nilai, keadilan, dan tujuan hidup. Apalagi dengan maraknya akses terhadap informasi, pemikiran ateistik dan skeptisisme spiritual tersebar dengan cepat melalui media sosial, kanal diskusi digital, dan platform intelektual publik.
Kritik terhadap eksistensi neraka bukan hanya menyerang doktrin agama secara teologis, tetapi juga menggoyahkan struktur moralitas objektif dan tanggung jawab pribadi yang menjadi fondasi etika dalam banyak masyarakat. Jika penderitaan abadi dianggap sebagai bentuk ketidakadilan, maka pertanyaan lanjutannya adalah: apakah manusia sepenuhnya bebas dan sadar atas pilihannya? Atau hanya korban dari sistem yang lebih besar? Apakah penderitaan adalah bagian yang tak terhindarkan dari kebebasan itu sendiri?
Tujuan Penulisan dan Pendekatan yang Digunakan
Tulisan ini berupaya menyusun jawaban antitesis terhadap kritik tersebut dengan pendekatan multi-paradigma, yang melibatkan: