Psikolog eksistensial Viktor Frankl, dalam karya monumentalnya Man's Search for Meaning, menyatakan bahwa kebutuhan manusia yang paling mendalam bukanlah kenikmatan (Freud) atau kekuasaan (Adler), tetapi makna. Menurut Frankl, penderitaan terbesar manusia bukan berasal dari rasa sakit, tetapi dari ketidakbermaknaan. Bahkan dalam situasi paling ekstrem, seperti kamp konsentrasi Nazi, manusia tetap bisa bertahan selama ia mampu menemukan makna di balik penderitaannya.
Pendekatan Frankl ini secara tidak langsung mengafirmasi konsep fitrah dalam agama. Manusia bukan makhluk bebas nilai yang netral; ia haus akan makna, arah, dan pengabdian kepada sesuatu yang lebih besar dari dirinya. Dan dalam sejarah panjang umat manusia, kebutuhan akan Tuhan, dalam berbagai bentuk spiritualitas, selalu menjadi jalan utama untuk memenuhi kekosongan tersebut.
3. Neurosains Spiritualitas: Otak yang Cenderung Beriman
Penelitian mutakhir dalam bidang neurosains spiritualitas juga menunjukkan bahwa otak manusia secara biologis terstruktur untuk menerima pengalaman religius dan moral. Dr. Andrew Newberg, dalam studinya tentang otak dan pengalaman keagamaan (How God Changes Your Brain, 2009), menunjukkan bahwa praktik-praktik spiritual seperti doa, meditasi, dan ibadah meningkatkan aktivitas di bagian otak yang terkait dengan empati, kasih sayang, dan kontrol diri.
Newberg menemukan bahwa pengalaman keagamaan bukan sekadar ilusi, melainkan bagian integral dari fungsi neurologis manusia. Aktivitas spiritual meningkatkan dopamin dan serotonin, yang berperan dalam kebahagiaan dan stabilitas emosi, serta memperkuat kemampuan manusia untuk menghadapi stres dan penderitaan. Temuan ini mendukung tesis bahwa iman dan kecenderungan kepada kebaikan merupakan bagian dari konfigurasi otak manusia yang sejalan dengan konsep fitrah.
Baik dari teks wahyu maupun data saintifik kontemporer, manusia terbukti memiliki struktur eksistensial yang condong kepada nilai luhur, ketundukan kepada Yang Maha, dan pencarian makna. Maka, ide bahwa manusia "dirancang untuk masuk neraka" bukan hanya keliru secara teologis, tapi juga dangkal dalam memahami kompleksitas psikologis dan biologis manusia.
III. Neraka sebagai Konsekuensi Logis, Bukan Desain Awal
Dalam diskursus ateistik modern, keberatan terhadap eksistensi neraka sering dibingkai dalam bentuk pertanyaan moral: Jika Tuhan Maha Tahu bahwa banyak manusia akan masuk neraka, mengapa Ia tetap menciptakan mereka? Pertanyaan ini mengandung asumsi bahwa neraka adalah desain awal, bukan hasil dari proses kebebasan manusia. Di sinilah pentingnya membedakan antara pengetahuan Tuhan dan kehendak Tuhan, serta memahami peran ikhtiar, tanggung jawab moral, dan logika pilihan manusia dalam kerangka besar keadilan kosmis.
1. Pengetahuan Tuhan vs. Kehendak Tuhan: Distingsi Epistemik dan Teologis
Dalam teologi Islam klasik, khususnya dalam mazhab Ahlussunnah, pengetahuan Tuhan tentang masa depan tidak berarti Tuhan menghendaki kehancuran manusia. Ilmu Tuhan bersifat ta'alluq qadiim, Â tidak menyebabkan, tetapi mengetahui secara menyeluruh. Artinya, pengetahuan Tuhan itu pasif dalam dimensi kronologis, namun aktif dalam dimensi ontologis: Tuhan mengetahui semua kemungkinan, tetapi tidak memaksa manusia untuk memilih satu jalan.
Penting diingat bahwa jika Tuhan tidak tahu siapa yang akan masuk neraka, maka itu mengurangi ke-Maha-Tahuan-Nya; tetapi jika Tuhan memaksa manusia untuk masuk neraka, maka itu meniadakan keadilan-Nya. Maka, satu-satunya jawaban koheren adalah: Tuhan Maha Tahu, namun memberi ruang bagi manusia untuk memilih secara bebas.