Algoritma digital di media sosial sebenarnya hanyalah langkah awal. Algoritma ini bekerja dengan aturan sederhana yang menampilkan apa yang paling sering kita klik atau komentari.
Namun, ketika kumpulan algoritma tersebut dipadukan dengan kecerdasan buatan (AI), kemampuannya meningkat berkali lipat. AI bukan hanya menghitung, tetapi juga memprediksi. Ia bisa memperkirakan kapan publik akan marah, tagar apa yang berpotensi meledak, dan bagaimana emosi dapat diarahkan.
Hal ini menimbulkan pertanyaan penting. Sejauh mana amarah rakyat masih otentik dan sejauh mana emosi itu sudah dibentuk ulang oleh kecerdasan buatan?
Refleksi
Ada momen ketika saya menyadari paradoks yang menggelikan. Kita menuntut transparansi negara, tetapi enggan menuntut transparansi dari algoritma digital yang mengatur layar kita.
Kita marah ketika pejabat memotong konteks, tetapi membiarkan platform mengiris logika akal sehat kita hingga tersisa potongan tiga puluh detik yang serba cepat.
Kita ingin demokrasi yang rasional, tetapi tanpa sadar kita justru memberi makan ekonomi perhatian yang tumbuh subur dari sensasi. Ingat, setiap tanda suka dan komentar di media sosial pada akhirnya bernilai uang.
Barangkali, inilah wajah demokrasi digital yang belum selesai kita pahami. Di jalan, massa menuntut hal-hal konkret. Di layar ponsel, massa lain menuntut sensasi yang tak pernah puas.
Keduanya bertemu di tengah. Spanduk bertemu thread. Orasi bertemu caption. Gas air mata bertemu angka trending.
Dan di sela-sela pertemuan itu, algoritma bekerja tanpa lelah, mengukur mana yang lebih efektif. Amarah yang lirih atau amarah yang meledak.
Saya tidak ingin terburu-buru menuduh siapa pun sebagai dalangnya. Sebab tuduhan yang terlalu cepat sering kali justru menjadi bahan bakar baru bagi kebingungan.
Yang ingin saya tawarkan adalah jarak pandang yang lebih luas, cukup jauh untuk mengenali pola yang terbentuk tanpa menelannya mentah-mentah, dan cukup dekat untuk tetap memahami makna yang terselip di balik setiap peristiwa.