Kita marah ketika pejabat memotong konteks, tetapi membiarkan platform mengiris akal sehat kita hingga tersisa potongan tiga puluh detik yang serba cepat.
Kita ingin demokrasi yang rasional, tetapi tanpa sadar kita justru memberi makan ekonomi perhatian yang tumbuh dari sensasi. Ingat, setiap tanda suka di media sosial pada akhirnya bernilai uang.
Barangkali, inilah wajah demokrasi digital yang belum selesai kita pahami. Di jalan, massa menuntut hal-hal konkret. Di layar ponsel, massa lain menuntut sensasi yang tak pernah puas.
Keduanya bertemu di tengah. Spanduk bertemu thread. Orasi bertemu caption. Gas air mata bertemu angka trending.
Dan di sela-sela pertemuan itu, algoritma bekerja tanpa lelah, mengukur mana yang lebih efektif. Amarah yang lirih atau amarah yang meledak.
Saya tidak ingin buru-buru menuduh siapa pun sebagai dalangnya. Sebab tuduhan yang terlalu cepat sering kali justru menjadi bahan bakar baru bagi kebingungan.
Yang ingin saya tawarkan adalah jarak pandang yang lebih luas, cukup jauh untuk mengenali pola yang terbentuk tanpa menelannya mentah-mentah, dan cukup dekat untuk tetap memahami makna yang terselip di balik setiap peristiwa.
Boleh jadi memang ada skenario. Boleh jadi tidak. Yang pasti, ada algoritma digital yang dengan sabar memanen perilaku kita. Algoritma digital itu tidak peduli pada kebenaran, melainkan hanya pada keterlibatan. Algoritma ini tidak punya niat jahat, tetapi juga tidak punya niat baik. Algoritma digital itu hanya setia pada desainnya, mengikuti aturan yang ditanamkan tanpa mempertimbangkan benar atau salah.
Tafsir Makna
Apa makna semua ini bagi kita sebagai masyarakat? Mungkin maknanya begini. Marah memang tetap perlu, tetapi marah yang disertai akal sehat. Marah yang punya daftar tuntutan yang jelas, bukan sekadar mengikuti daftar tagar yang sedang tren.
Marah yang mengajak warga lain memahami persoalan, bukan hanya mengajak menekan tombol bagikan. Marah yang mengolah data, bukan marah yang hanya menjadi data.
Bagi negara, ini seharusnya menjadi cermin. Jika kebijakan menimbulkan kepanikan beruntun, jangan salahkan warga bila curiga ada "cipta kondisi".