Mohon tunggu...
asep gunawan
asep gunawan Mohon Tunggu... Pengabdi di Kabupaten Kepulauan Sula

ASN adalah jalan pengabdian, Menulis adalah jalan introspeksi pengabdian

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Ketika Ai Ikut Mengatur Demo

3 September 2025   16:57 Diperbarui: 6 September 2025   00:05 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Ketika Ai Ikut Mengatur Demo (Sumber: canva.com/dream-lab)

Kemarahan saat ini meninggalkan jejak digital, baik di jalanan melalui demonstrasi maupun di layar ponsel lewat media sosial. Ada di komentar, unggahan, siaran langsung, dan video singkat (reels). Kita harus jujur mengakui kenyataan itu.

Di sana, emosi kita tak sekadar meletup, emosi kita bisa dihitung, dipetakan, dan perlahan diarahkan. Kita merasa sedang bersuara, padahal bisa jadi ada algoritma digital yang sedang menyimak lebih telaten daripada pejabat mana pun.

Beberapa bulan terakhir ini, masyarakat Indonesia seperti diajak bermain tebak-tebakan. Harga pajak naik di tempat yang tidak masuk akal, barang mendadak langka saat paling dibutuhkan, dan berita yang datang bersilang membuat suasana terasa tumpang tindih.

Hari ini soal pajak, besok soal bahan bakar oplosan, lusa tentang fasilitas pejabat. Media sosial menjadi tempat melampiaskan rasa, marah yang beranak-pinak di kolom komentar.

Di sanalah algoritma tumbuh subur, melahap kata-kata kita dan mengeluarkan saran yang tampak rapi dan sistematis. Algoritma itu seperti memberi tahu kapan isu perlu didorong, tagar apa yang harus diangkat, dan di mana kemarahan bisa dengan mudah disulut.

Fenomena Sosial

Kita mendengar istilah "cipta kondisi" yang sering disebutkan dalam obrolan masyarakat, baik di diskusi publik, warung kopi maupun di ruang digital. Entah benar, entah tidak, yang jelas ritmenya terasa. Ada pengumuman kenaikan harga, kelangkaan barang, ucapan pejabat yang memancing emosi, kebijakan yang saling bertabrakan, hingga kabar penjarahan rumah yang ramai dibicarakan di grup sosial media.

Semua menyatu jadi kabut yang pekat. Setiap potongan kabar memantik satu pertanyaan yang sama. Mengapa selalu ada saja alasan untuk membuat warganya gelisah, marah?

Pada saat yang sama, platform seakan tidak pernah tidur. Setiap unggahan marah menyusun pola seperti peta yang menunjukkan kapan jam-jam ramai, kota mana yang paling sensitif, dan kata kunci apa yang paling memancing balasan.

Dari sana lahirlah semacam koreografi yang tidak kasat mata. Ada hipotesis bahwa gelombang kecil di satu kota dijadikan percobaan lebih dulu, hasilnya diukur, lalu pola itu ditiru di tempat lain dengan sedikit penyesuaian. Narasi terselubung, poster seragam, ritme yang serupa. Seolah-olah ada tangan tak terlihat yang menabuh drum dari kejauhan.

Kita tidak sedang membuktikan teori, kita sedang mencatat rasa. Rasa bahwa kemarahan hari ini lebih rapi dari yang pernah kita kenal.

Bukan rapi dalam tuntutan, justru rapi dalam distribusi. Bagaimana gambar yang sama muncul di banyak feed, bagaimana tagar yang naik tepat ketika lelah seharian menumpuk, bagaimana video pendek bertemu komentar yang menambah nyali dan emosi.

Di masa lalu, orator turun dari truk. Kini, notifikasi yang berorasi dari saku celana kita.

Lalu, publik dibenturkan dengan pertanyaan yang tidak nyaman. Jika algoritma digital bisa membaca kemarahan, apakah algoritma digital juga bisa mengubahnya menjadi templat?

Jika pola yang sama terus diulang, tidakkah maknanya perlahan memudar? Kemarahan yang kita alami nyata adanya, terlihat dari harga yang melonjak, akses yang tertutup, hingga rasa adil yang terabaikan. Namun semua itu bisa kehilangan kedalaman makna ketika tuntutan hanya mengikuti pola yang diprediksi oleh layar ponsel.

Di tengah pusaran itu, beberapa hal rasional tetap perlu dicatat. 

Pertama, algoritma digital memang tidak berpolitik, tetapi algoritma ini bekerja untuk mendorong keterlibatan pengguna. Apa pun yang memancing emosi, algoritma digital itu akan mendorongnya ke depan agar lebih banyak orang melihat.

Kedua, platform mencari waktu tayang, bukan kebenaran. Yang paling ramai sering tampak paling benar, meski tidak selalu akurat.

Ketiga, aktor manusia dengan agenda, uang, dan keterampilan akan selalu berusaha memanfaatkan ruang publik yang sedang heboh ini.

Apakah itu berarti setiap gerakan adalah hasil desain? Tidak juga. Ketidakadilan nyata bisa melahirkan spontanitas yang orisinal.

Namun ruang digital kita memang memudahkan penggandaan emosi. Satu video marah bisa menjadi seribu, satu ejekan bisa menjadi ratusan ribu, satu adegan bisa menjadi narasi besar.

Di sinilah kita perlu membedakan antara hak berekspresi yang tulus dengan hasrat untuk terus ditampilkan oleh algoritma.

Algoritma digital di media sosial sebenarnya hanyalah langkah awal. Algoritma ini bekerja dengan aturan sederhana yang menampilkan apa yang paling sering kita klik atau komentari.

Namun, ketika kumpulan algoritma tersebut dipadukan dengan kecerdasan buatan (AI), kemampuannya meningkat berkali lipat. AI bukan hanya menghitung, tetapi juga memprediksi. Ia bisa memperkirakan kapan publik akan marah, tagar apa yang berpotensi meledak, dan bagaimana emosi dapat diarahkan.

Hal ini menimbulkan pertanyaan penting. Sejauh mana amarah rakyat masih otentik dan sejauh mana emosi itu sudah dibentuk ulang oleh kecerdasan buatan?

Refleksi

Ada momen ketika saya menyadari paradoks yang menggelikan. Kita menuntut transparansi negara, tetapi enggan menuntut transparansi dari algoritma digital yang mengatur layar kita.

Kita marah ketika pejabat memotong konteks, tetapi membiarkan platform mengiris logika akal sehat kita hingga tersisa potongan tiga puluh detik yang serba cepat.

Kita ingin demokrasi yang rasional, tetapi tanpa sadar kita justru memberi makan ekonomi perhatian yang tumbuh subur dari sensasi. Ingat, setiap tanda suka dan komentar di media sosial pada akhirnya bernilai uang.

Barangkali, inilah wajah demokrasi digital yang belum selesai kita pahami. Di jalan, massa menuntut hal-hal konkret. Di layar ponsel, massa lain menuntut sensasi yang tak pernah puas.

Keduanya bertemu di tengah. Spanduk bertemu thread. Orasi bertemu caption. Gas air mata bertemu angka trending.

Dan di sela-sela pertemuan itu, algoritma bekerja tanpa lelah, mengukur mana yang lebih efektif. Amarah yang lirih atau amarah yang meledak.

Saya tidak ingin terburu-buru menuduh siapa pun sebagai dalangnya. Sebab tuduhan yang terlalu cepat sering kali justru menjadi bahan bakar baru bagi kebingungan.

Yang ingin saya tawarkan adalah jarak pandang yang lebih luas, cukup jauh untuk mengenali pola yang terbentuk tanpa menelannya mentah-mentah, dan cukup dekat untuk tetap memahami makna yang terselip di balik setiap peristiwa.

Boleh jadi memang ada skenario. Boleh jadi tidak. Yang pasti, ada algoritma digital yang dengan sabar memanen perilaku kita. Algoritma digital itu tidak peduli pada kebenaran, melainkan hanya pada keterlibatan. Algoritma ini tidak punya niat jahat, tetapi juga tidak punya niat baik. Algoritma digital itu hanya setia pada desainnya, mengikuti aturan yang ditanamkan tanpa mempertimbangkan benar atau salah.

Tafsir Makna

Apa makna semua ini bagi kita sebagai masyarakat? 

Mungkin maknanya begini. Marah memang tetap perlu, tetapi marah yang disertai cara berpikir logika sehat. Marah yang punya daftar tuntutan yang jelas, bukan sekadar mengikuti daftar tagar yang sedang tren.

Marah yang mengajak warga lain memahami persoalan, bukan hanya mengajak menekan tombol bagikan. Marah yang mengolah data, bukan marah yang hanya menjadi data.

Bagi negara, ini seharusnya menjadi cermin. Jika kebijakan menimbulkan kepanikan beruntun, jangan salahkan warga bila curiga ada "cipta kondisi".

Penjelasan yang terlambat dan tidak tuntas sama saja dengan meninggalkan ruang kosong yang akan diisi rumor, hoax. Buka data, lalu jelaskan konteks, akui salah langkah bila ada. Demokrasi tidak runtuh oleh kritik, tapi demokrasi dapat runtuh oleh ketidakmauan memperbaiki.

Bagi para generasi muda, yang hidupnya paling menyatu dengan layar ponsel, ada PR yang lebih berat. Belajar memahami bagaimana algoritma digital merekomendasikan, mengapa postingan tertentu muncul, mengapa komentar tertentu diprioritaskan.

Literasi digital bukan hanya soal keamanan kata sandi, melainkan kemampuan membaca ekonomi perhatian (viral) dan politik algoritma.

Di sinilah sekolah, kampus, komunitas kreator, dan ruang-ruang belajar di lingkungan masyarakat bisa mengambil peran. Kita tidak menolak teknologi, kita menolak diperbudak olehnya.

Ada satu latihan kecil yang bisa dipraktikkan. Sebelum kita ikut mengangkat sebuah tagar, ada baiknya kita menanyakan tiga hal sederhana. Pertama, masalah apa yang benar-benar hendak diselesaikan. Kedua, kebijakan apa yang seharusnya berubah. Ketiga, jalur mana yang paling realistis untuk ditempuh.

Jika tiga pertanyaan itu tak terjawab, berhenti sebentar. Bila perlu, turun ke jalan dengan tuntutan yang lebih jernih, atau duduk di rumah untuk membaca lebih banyak. Dua-duanya tindakan, dua-duanya politis.

Pada akhirnya, yang berbahaya bukanlah algoritma yang cerdas, melainkan masyarakat yang kelelahan lalu melepaskan kendali akal sehatnya kepada layar ponsel.

Demo bisa saja meledak, thread boleh berderet, video boleh berulang. Namun demokrasi tetap membutuhkan fondasi yang lebih mendasar, yakni kejujuran, keterbukaan, dan keberanian untuk memperbaiki kesalahan.

Niat baik untuk mengerti, keberanian untuk menuntut yang tepat, dan kerendahan hati untuk mengubah cara ketika kita keliru.

Biarlah algoritma digital menghitung amarah. Tugas kita adalah memberi arah.

Dan mungkin lebih menarik jika kita berani menguji algoritma itu dengan pertanyaan sederhana: apa solusi untuk rakyat Indonesia atas masalah pemerintahan dalam setahun terakhir? Jawabannya bisa saja menyerupai 17+8 tuntutan yang kini tersebar luas di masyarakat.

Salam hangat untuk para pembaca yang masih percaya bahwa suara manusia lebih berharga daripada algoritma. Mari kita jaga akal sehat bersama, karena hanya dengan itulah demokrasi kita bisa terus bernafas.
Sanana, 10 Rabi'ul Awal 1447 H / 03 September 2025

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun