Mohon tunggu...
asep gunawan
asep gunawan Mohon Tunggu... Pengabdi di Kabupaten Kepulauan Sula

ASN adalah jalan pengabdian, Menulis adalah jalan introspeksi pengabdian

Selanjutnya

Tutup

Politik

Semua Orang Disuruh Marah, Tapi Isu Utamanya Bukan DPR

2 September 2025   19:36 Diperbarui: 3 September 2025   10:13 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Marah (Sumber: canva.com/dream-lab)

Di titik ini, nama-nama boleh berganti, tetapi polanya serupa. Ada hasrat mempertahankan kuasa lewat keluarga, jaringan bisnis, dan komposisi kabinet. Dinasti bukan sekadar hubungan darah. Ia adalah cara pikir yang menganggap negara sebagai perpanjangan tangan kekuasaan.

Di tengah hiruk-pikuk percakapan politik yang gaduh, ada perkara yang terdengar menjauh padahal menentukan, yakni tanah. Hubungan warga dengan tanah, hutan, sungai, kebun, dan ruang hidup. Kita jarang melirik ke sana karena isu agraria terasa teknis.

Padahal dari situlah konflik sosial memanas, etnis saling curiga, kemiskinan menahun, dan lingkungan yang semakin rusak dan rapuh.

Di banyak wilayah, rakyat sudah lama tinggal dan menggantungkan hidup pada lahan yang status hukumnya kabur. Negara datang terlambat, lalu menunjuk mereka sebagai pihak yang dicap sebagai pelanggar. Sementara itu, pemegang konsesi justru meluas melampaui batas. Yang lemah dikejar, yang kuat diajak negosiasi.

Benalu Demokrasi Bernama Relawan

Keadilan agraria mestinya tidak berhenti sebagai slogan kosong, tetapi harus diwujudkan dalam kebijakan nyata. Ia menuntut audit menyeluruh terhadap hak guna usaha dan hutan tanaman industri.

Negara harus menarik kembali luasan tanah yang melampaui konsesi, melakukan redistribusi yang berbasis sejarah tinggal, ekologi, dan kebutuhan, membuka skema saham untuk warga ketika industri sudah puluhan tahun untung, serta mendorong tumpang sari sebagai masa transisi, bukan penggusuran mendadak. Politik yang mengabaikan tanah akan selalu memantik amarah yang lebih liar daripada demo di ibu kota.

Masalah lain yang kini muncul memiliki bentuk baru yang lebih nyata. Relawan yang berubah menjadi benalu demokrasi. Mereka semestinya pulang ke habitat begitu pemilu usai sebagaimana norma demokrasi yang sehat.

Tetapi sebagian menetap di pinggiran kekuasaan. Mereka minta posisi, masuk ke BUMN, atau menjadi aktor di depan kamera, lalu menggedor-gedor pintu kebijakan. Di ujungnya, publik kembali sinis. Yang berubah hanya kostum, bukan kultur.

Manipulasi Emosi Publik

Kita juga menyaksikan bagaimana video, caption, dan potongan rapat menjadi senjata politik. Bahan mentahnya benar, ada salah bicara, ada keputusan yang bisa dikritik. Tetapi proses penyajiannya manipulatif. Kita dipancing membenci secara cepat. Padahal demokrasi butuh kerja pelan. Membaca utuh, menimbang konteks, bertanya siapa di balik framing, dan bertanya lagi siapa yang paling diuntungkan. Kebebasan berpendapat bukan resep untuk terburu-buru percaya.

Radical Break

Di tengah kebingungan politik dan sosial itu, konsep radical break terdengar menggoda. Istilah ini dimaknai sebagai rem kejut untuk menghentikan praktik lama. Namun rem kejut tidak cukup bila hanya menyingkirkan tokoh tertentu, sebab yang lebih penting adalah menyasar struktur yang melanggengkan masalah.

Percuma saja mengubah wajah bila fondasinya tetap. Oligarki ekonomi tetap mengunci, relawan menutup celah, kompromi politik terus menghisap energi birokrasi. Radical break yang sejati berarti membalik urutan prioritas: dari akumulasi menuju distribusi, dari keluarga menuju warga, dari proyek menuju pangan, dan dari spektakel menuju substansi.

Jalan Kecil Warga

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun