Pertarungan terang dan gelap pecah di puncak Merapi. Seorang remaja harus memilih antara menutup jalan kegelapan atau membayar janji darah leluhur. - Wadah
Ketika cahaya dan bayangan akhirnya bertemu, manusia hanya bisa memilih antara diam sebagai penonton atau berdiri sebagai penjaga.
Akhirnya Merapi memanggil mereka tanpa memberi kesempatan untuk menunda. Langit bergelayut rendah, awan menebal seperti seseorang yang menahan tangis. Orang-orang di lereng mulai menyalakan doa-doa kecil di rumah, memegang dada sendiri tanpa alasan yang jelas.
Ritual dilakukan pada malam yang ditentukan sendiri oleh alam. Raga berdiri di lingkaran batu yang disusun rapi dan cepat. Kidrajat membaca sesuatu dengan suara serak yang datang dari belakang lidah. Kang Dedi berdiri di seberang, kedua tangannya terentang seolah sedang memohon sekaligus menjaga.
Angin pertama datang seperti bisikan. Angin kedua datang seperti pintu.
***
Suara menyerupai nyanyian perang naik dari tanah. Bukan nyanyian yang bisa diikuti, lebih seperti ingatan yang selama ini tidak punya mulut. Raga merasa dadanya dibuka dengan perlahan, ada sedikit rasa sakit yang ia rasakan.
Dari kegelapan, seseorang keluar mengenakan jubah hitam dan topeng kayu. Langkahnya melayang tanpa menjejak tanah, sorot wajahnya kosong, seakan menatap tanpa mata.
"Aku tidak datang untuk menguasai," katanya tanpa bibir. "Aku menagih janji yang dulu kalian titipkan pada laut."
Kata-kata itu menembus udara seperti paku. Raga merasakan suaranya sendiri mundur ke belakang. Ia tahu ini bukan pertempuran yang bisa ditonton. Ini pertarungan yang berlangsung pada batas yang jarang disentuh manusia.