Mohon tunggu...
Arya BayuAnggara
Arya BayuAnggara Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Menulis untuk mengingat luasnya dunia

Menyukai caffeine dan langit biru

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Inner Sanctum (I), Vrijland

17 Januari 2019   07:05 Diperbarui: 17 Januari 2019   07:46 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Semua ini berawal beribu tahun sebelum era kita. Tanah ini, banyak perkamen kuno yang mengatakan, dahulunya kosong dan tidak memiliki satupun peradaban yang jelas. Yang mendiami daerah ini dahulunya hanyala para hewan yang kebanyakan juga telah punah di era kita. Manusia juga tidad ada di daerah ini pada awalnya. Banyak yang mengatakan bahwa manusia berasal dari benua lain yang berada di sebelah utara dari benua ini. Tidak banyak sumber yang memberitahu nama dari benua yang dimaksud. Ada yang mengatakan namanya Maland; ada juga yang mengatakan nama benua itu adalah Miraland; ada juga yang mengatakan nama dari benua itu sebagai Uzakaland. Entah yang mana yang benar. Tidak diketahui pula apakah benua yang lain itu juga ada.

"Manusia pertama kali datang ke negeri ini sebagai budak. Jangan terkejut, memang begitulah kisah awalnya," sebelum sempat melanjutkan ceritanya, Cantika memprotes tanda ketidakpercayaan atas kisah yang dia anggap hasil karangan dari Labeyaume.

"Bagaimana mungkin kita dahulunya adalah budak? Jangan mengada-ngada Tuan King. Manusia yang begitu mahir di dalam mengolah besi. Manusia yang juga berhasil menyusun batu-batu yang berundak tinggi menjadi benteng. Manusia juga yang telah mengembangkan dua jenis sihir: hitam dan putih. Bagaimana bisa manusia yang demikian bermula dari kumpulan makhluk yang tidak memiliki harga diri?" Alis mata sebelah kanan gadis itu terangkat. Pandangannya juga sengak, kesombongan mengalir deras dari pelupuk matanya yang membesar.

"Tentu, nenek moyang kita dahulu tidak lebih dari budak. Itulah kenyataan sejarah yang tidak bisa Anda tolak. Puteri, Anda mengatakan bagaimana bisa manusia yang segala macamnya terlahir dari status budak yang begitu rendah dan bodoh? Fufufu, Anda terlalu egois membandingkan pencapaian manusia sekarang dengan mereka yang datang tiga ratus ribus tahun yang lalu. Ya, dari perkamen-perkamen kuno, itulah angka yang menyebutkan periode kedatangan manusia ke benua ini, bersama dengan majikan asli mereka.  Tentu dirimu yang hidup di era kemajuan ini merasa superior---spesies kita---dibandingkan yang lain. Tapi, jangan mengikut kesombongan yang ditebarkan oleh para pegawai kerajaan itu. Pelajarilah kembali sejarah benua ini. Pahami lah betapa menyedihkannya nenek moyangmu itu dulu."

Cantika mendesah kecil. Nada-nada kekesalan keluar dengan lancar dari mulutnya. Pipinya memerah, daun telinganya juga memerah, hatinya juga memerah. Pembuluh darah melebar selebar-lebarnya, membiarkan arus darah membanjiri permukaan kulitnya yang kekuningan itu. Tanda amarahnya sedang mencapai puncaknya. Seperti gunung berapi, setelah puas batuk-batuk tidak tertahankan. Sekarang, ini adalah waktu yang tepat. Saatnya untuk mengeluarkan seluruh magma yang telah capek-capek ditimbun selama ratusan tahun. Saatnya, ini adalah momen pelampiasan kemarahan paling tepat.

"Begitu juga nenek moyangmu, Tuan King. Mereka juga tidak lebih dari kera peliharaan bangsa majikan bohonganmu itu." Air liur jatuh, sebuah meteor cair telah merusak tatanan keindahan lantai rumah Labeyaume. Untung orang tua itu tidak marah. Dia memang mangharapkan rasa marah dan kesal ini. Kebahagiaannya timbul ketika melihat ada pihak yang merasa marah setelah mendengar perkataannya. "Aku tahu," tandasnya.


"Jadi, apa kita masih perlu melanjutkan kisahnya, Tuan Puteri?"

Udara di luar masih sangat dingin. Begitu pula dengan awan hitam itu, masih bergumul di atas setiap atap rumah yang ada di TarukoPedang. Angin juga sedang berhembus kencang-kencangnya. Keluar pada saat seperti ini bukanlah perkara yang bagus untuk seorang bocah seperti Cantika. Dia juga tidak membawa payung ataupun pakaian yang kedap dengan amukan hujan. Benar-benar buruk pikirnya. "Baiklah. Saya akan mendengarkan cerita Anda tanpa memersalahkannya." Itu hanya taktik. Setidaknya rasa canggung yang kalian akibat konfrontasi kecil-kecilan bisa mereda dengan cepat. Semua ini agar Cantika tetap bisa merasakan kehangatan rumah Labeyaume yang sedang membara tungku perapian rumahnya. Hal ini juga agar Labeyaume merasa tidak sakit hati dengannya, dengan memintanya kembali bercerita. Semua ini, hanya demi satu hal: jangan sampai Cantika terusir dari zona kenyamanan ini.

"Tentu saya akan lanjut bercerita. Saya juga mengapresiasi kepiawaian Tuan Puteri di dalam membujuk saya. Tenang, saya tidak akan menyuruh Anda mangkat dari tempat ini. Suasana di luar masih seperti mimpi buruk. Tentu, Tuan Puteri harus memegang teguh perkataannya tadi, yaitu tidak menganggu saya selama cerita dituturkan."

Cantika kembali duduk tenang di atas sofa. Air teh yang tadi disodorkan Labeyaume telah habis dia teguk. Pikirannya telah kembali tenang. Tidak ada lagi rasa kesal atau marah yang berpotensi menganggu fokusnya selama mendengarkan kisah sejarah yang cukup membosankan.

"Apa kita bisa kembali melanjutkan, Tuan Puteri??" Labeyaume meremas-remas jari-jemarinya. Sesekali dia juga menengok ke lingkungan luar jendela. Terkadang  dia terlihat mengigil, entah karena merasa takut melihat kegelapan atau bergidik menikmati penerawangan kemungkinan yang akan terjadi. Sementara bibirnya tetap terpasang senyuman yang sulit untuk ditafsirkan. Bahkan Cantika sekalipun tidak bisa sepenuhnya menebak isi hati dan perasaan dari seorang Labeyaume. Juga semua ramah tamahnya, dan mengapa hanya Cantika yang dibiarkan berada di ruangan ini untuk waktu yang lama? Semua itu masih misteri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun