Mohon tunggu...
Arya BayuAnggara
Arya BayuAnggara Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Menulis untuk mengingat luasnya dunia

Menyukai caffeine dan langit biru

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Inner Sanctum (I), Vrijland

17 Januari 2019   07:05 Diperbarui: 17 Januari 2019   07:46 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Tatapan Lav hanya tertuju kepada sebuah pohon beringin yang sudah cukup tua usianya. Sangat mentereng sekali, hanya ada satu pohon sebesar itu di bukit sana. Tidak terlalu jauh, palingan berjalan kaki setengah hari saja sudah bisa mencapai tempat itu. Dan juga, beberapa kalimat yang terdapat di dalam perkamen yang pernah ia baca terngiang-ngiang kembali di dalam pikirannya yang sedang berkecamuk.

Sungguh!! Jangan biarkan dirimu terkecoh oleh penampilan luar dari suatu makhluk. Pohon beringin itu, jangan lihat kesannya sebagai tempat tinggal para setan. Ingatlah!! Apakah dirimu ingin mencari setan atau ingin mencari manusia??

Dia mencoba menafsirkan, bahwa keberadaan kuil itu berbatasan dengan sebuah pohon beringin. Kelemahan memang selalu ada di dalam tafsir manusia, dia tidak bisa menyimpulkan dengan baik apakah pohon beringin itu yang muda atau yang sudah tua?? Sulit untuk menebak di bagian pohon beringin yang mana para peramala itu menyembunyikan diri mereka dari sentuhan peradaban. Selain itu, sudah jelas juga terdapat peringatan bahwa jika para pengelana salah-salah memilih pohon beringin, bisa-bisa mereka justru dipermainkan oleh para penghuni hutan yang kasat mata. Mereka suka menyesatkan para pengembara kemudian membunuh mereka sebelum me-sup-kan daging dan tulang belulang mereka. Atau, menurut kesaksian beberapa kisah yang lebih lunak, para pengembara Cuma dijadikan hewan peliharaan bagi mereka. Atau, ada juga yang mengatakan bahwa para pengembara dibawa paksa ke dunia mereka untuk dijadikan koleksi souvernir atau hiasan rumah. Versi paling baik, ada beberapa manusia beruntung yang akan dijadikan suami atau istri dari para penghuni dunia lain itu.

"Kita tidak bisa berhenti terlalu lama di tempat ini, Parman. Lihatlah di belakang kita, awan hitam itu semakin pekat dan mengembul di atas langit TarukoPedang. Ini adalah sebuah keniscayaan bahwa menunda-nunda waktu sama saja memercepat alur kematian bagi desa kita. Kita harus segera menemukan dimana kuil para peramal itu berada." Tidak pernah Lav terlihat panik seperti itu. Tongkat yang sedari tadi dia pegang diputar-balikkan dengan kacaunya. Tidak sampai di situ, sesekali tongkat itu dipindahkan dari tangan kiri ke tangan kanan dan sebaliknya dengan cara dilempar-lempar. Sungguh aneh.

"Tuan Lav, ini adalah pertama kalinya saya melihat Anda begitu khawatir seperti itu. Kesulitan memang sedang melanda kita, tapi jangan sampai kesulitan itu mengubah pribadi kita secara perlahan-lahan. Aku justru merasa ketakutan melihat tingkah Anda saat sekarang ini, Tuan Lav. Saya mohon, berpikir jernihlah lagi. Beritahu saya beberapa informasi yang mungkin bisa saya tafsirkan untuk tuan." Parman tetap duduk, tenaganya belum sepenuhnya terlalu pulih. Di dalam hatinya, dia memang sangat memuji betapa mujarabnya obat yang diberikan oleh Lav tadi. Akan tetapi, dia juga menyadari bahwa staminanya belum sepenuhnya pulih. Dia masih memerlukan waktu untuk mengisi ulang staminanya yang terkuras habis setelah beberapa hari berjalan kaki melewati pedalaman hutan yang misterius.

"Aku tahu beberapa, tapi aku juga ragu untuk memberitahukannya kepadamu,"

"Mengapa demikian Tuan Lav? Apa Anda meragukan saya? Kalau benar demikian, sungguh malang nasib saya ini. Sampai-sampai seorang yang paling bijak di desa meragukan saya,"

"Jangan merendah diri seperti itu. Kekhawatiranku ini hanyalah alasan waktu saja. Maksudku, tidak ada gunanya meragukan kemampuan berpikirmu, Parman. Hanya saja aku belum siap memberitahu beberapa pengetahuan tentang para peramal itu."

Perbincangan yang cukup alot itu sempat menaikkan tensi yang ada. Tetap saja, Parman yang sedari awal hanya menurut kepada Lav merasa direndahkan. Baginya Lav sulit mengakui kehebatan berpikir yang dia miliki. Dengan ini, dia semakin yakin bahwa seseorang yang sudah terlalu lama berada dan diakui sebagai pemegang tahta tertinggi akan mudah merendahkan orang lain di bawahnya.

Lain halnya dengan Parman, Lav justru berpikir bahwa Parman lah yang terlalu bersumbu pendek. Bisa-bisanya seorang tetua kehilangan kesabaran di dalam menunggu datangnya pengetahuan. Ini tidak bisa dibiarkan!! Bahkan, seharusnya Parman sudah harus dilengserkan dari posisinya saat sekarang ini.

"Aku tidak habis berpikir betapa lemahnya dirimu, Parman. Padahal aku, dari awal sampai percekcokan antara kita tadi, menganggap dirimu sebagai penggantiku yang pantas. Tidak ada yang lain selain dirimu. Tetapi, perasaan yang terlalu kau hikmati itu justru membuyarkan semua harapan yang telah coba aku gantungkan kepadamu. Mengapa kau berpikir bahwa dirimua bisa membantu semua orang, Parman? Tidak kah kau mencoba berpikir untuk menyelamatkan dirimu sendiri saat sekarang ini?"

Air liur meloncat dari mulut Parman. Untung saja tidak diarahakan ke arah Lav yang sedang berapi-api itu. Terkejut, hanya itu yang bisa dihasilkan oleh pusat informasi Lav. Lepas dari tindakan tolol lain, sekarang Parman justru melakukan tindakan yang benar-benar merusak semua imej yang telah susah payah dia bangun hingga saat sekarang ini.

"Parman!!! Berani-beraninya..."

"Apa!!? Aku tidak pernah berbuat sesuatu yang melanggar. Justru kau lah yang mencoba melanggar diriku!! Aku tidak tahan lagi bersama dengan dirimu. Aku ingin kau enyah dari dunia ini sekarang juga!!!"

Suara lengkingan Parman itu begitu menyeramkan. Tidak pernah dia mengeluarkan suara seberat itu. Tidak, bahkan seharusnya dia mengeluarkan darah karena telah merobek-robek tenggorokan dan pita suaranya yang berharga. Dia juga tidak berhenti mengeluarkan suara auman seperti halnya harimau. Dia benar-benar seperti seseorang yang sedang kesurupan saat sekarang ini.

"Gawat!! Orang ini pasti telah dirasuki oleh semacam ruh jahat! Aku harus segera membantunya."

Dengan sigap Lav membuka telapak tangannya, segera dia arahnya kepada Parman yang semakin meronta-ronta itu. Mulut Lav tidak berhenti mengucapkan berbagai mantera kuno yang tidak dipahami lagi bahasanya. Ajaib, setelah mengucapkan mantera-mantera itu tangannya terlihat mengeluarkan semacam cahaya yang tidak terlalu terang. Tiba-tiba di sekeliling kedua orang itu terbentuk beberapa bola cahaya yang mengapung di udara. Beberapa di antaranya berusaha mengejar tangan Lav, seakan-akan mereka tertarik melihat tangan yang keras dan jelek itu. Bola-bola cahaya itu kemudian saling menyatu; dari satu menjadi dua, dua menjadi tiga dan seterusnya. Sekarang, cahaya yang dikeluarkan oleh tangan Lav sudah meredup tajam. Yang ada sekarang hanyalah sebuah bola cahaya yang begitu cerah warnanya, tetapi tidak seperti cahaya obor yang menyinari lingkungan sekitarnya. Terlihat jelas, bola cahaya itu begitu kikir membagikan cahayanya.

"Rasakan ini!! Keluarlah engkau wahai makhluk kurang sopan!!"

Lepaskan!!!

Bola cahaya itu mengeluarkan semacam semburan energi. Dengan sangat dahsyatnya, semburan energi itu menerpa Parman yang sekarang mengalihkan pandangannya kepada Lav. "Kurang hajar kau!!!" Penglihatan Lav tidak mungkin membohongi majikannya sendiri. Sudah sangat jelas, tidak ada tipu daya di sini. Lav menyaksikannya sendiri. Terlihat Parman dengan kedua matanya yang telah menjelma seperti mata harimau yang sudah berhari-hari belum sempat memakan mangsanya.

Di tengah situasi genting itu, Parman yang sedari tadi menerima semburan energi itu meloncat dengan sangat tinggi ke udara. Terperajat, Lav langsung mengangkat tangannya ke udara, diikuti juga dengan perubahan haluan dari semburan energi itu. Justru kali ini Lav mencoba memperkuat tenaga dari semburan energi cahaya itu. Mulutnya kembali komat-kamit membaca mantera-mantera yang tidak terjemahkan ke dalam bahasa manusia. Semuanya benar-benar terlihat begitu kacau.

"Mengapa kau melakukan hal ini, Lav? Apa kau sudah gila?"

"Jangan berlagak seakan-akan kau adalah Parman yang selama ini aku kenal. Cepatlah!!! Cepatlah kau keluar dari tubuh manusia itu, dasar setan kurang hajar!! Berani-beraninya kau merasuki tubuh seorang pemikir cerdas dari desa kami!!!"

Tubuh Parman itu terlihat tidak senang dengan pernyataan Lav itu, sedangkan arus energi itu semakin mendekat ke arahnya. Mau lari kemana lagi dia? Jelas-jelas dia sedang menggantung di udara, tidak ada yang bisa dia perbuat, banyak. Hanya melawan balik satu-satunya harapan yang bisa dia coba pertaruhkan.

Tangannya berubah bentuk menjadi sesuatu yang tidak diperkirakan oleh Lav. Yang terlihat hanyalah tangan harimau yang masih melekat ke tubuh Parman. Mengapa ini bisa terjadi? Apa benar kesurupan bisa mengubah fisik seseorang sampai tingkatan seperti itu?

"Bukan!!! Ini adalah efek dari ramuan yang aku minumkan kepadanya tadi. Tetapi, tidak mungkin efeknya bisa terjadi di dalam jangka waktu yang begitu singkat! Sudah ku duga, ini adalah efek dari pusaka langka!!! Tidak ku sangka hubungan Parman dengan para sufi itu membawa semacam kebaikan yang tidak terkira!!!"

Girang kepalang Lav. Di dalam kepalanya hanya ada satu pemikiran, bahwa sekarang TarukoPedang telah memiliki satu kekuatan baru, masih segar dan masih jangkal sumur energi yang baru dia selami. Potensinya begitu besar!! Ini adalah suatu keberhasilan yang tiada tara.

"Tuan Lav!!! Rasakan ini!!!"

Tangan harimau itu mencakar ke arah depan. Arus angin yang begitu kuat datang menghadang semburan energi cahaya yang dihamburkan oleh Lav. Arus angin itu berjumlah lima dan keluar dari masing-masing kuku Parman. Sangat kuat dan kencang sekali laju dari arus angin itu. Bagi manusia biasa, tidak ada yang terlihat melainkan hanya merasakan kekuatan angin yang begitu besar melesat dengan sangat cepat. Sementara bagi para petarung yang telah terlatih, atau bagi para pengguna pusaka, yang terlihat seperti lima buah pipa udara yang lancip dan datang dengan gemuru yang begitu kuat suaranya. Tidak ada yang bisa menghindari dari serangan secepat itu.

"Gawat!!! Aku tidak mungkin mampu menghindar! Aku harus mencari jalan lain," Lav tidak bisa bergerak karena masih menjadi tumpuan dari energi cahaya yang begitu kuat itu. Melepaskan tanggung jawab ini akan menyebabkan ketidakstabilan dari bola cahaya yang telah dibentuk. Salah-salah bisa merujuk kepada suatu kehancuran yang sia-sia. Lav berpikir keras, bagaimana caranya dia bisa melindungi dirinya.

"Tidak ada!! Tidak ada yang aku lakukan untuk menghindari lima pipa angin itu. Tidak ada!!! Yang harus aku lakukan hanya menerima serangan tolol itu. Tidak ada cara lain!!!" Rasa takut menyambar Lav yang semakin menua. Waktu tidak bisa dia bohongi, bagaimanapun sekarang dia tetap seorang pemuda (bekas) yang masih diberi kepercayaan untuk menanggung tampuk kepemimpinan di desa yang terlupakan oleh sejarah. Lav tidak bisa lagi bergerak dengan sangat gesit. Dahulu dia bisa melesat lebih cepat daripada angin. Banyak dari para tentara terdahulu yang berkesaksian bahwa Lav bisa menyelamatkan seseorang yang berjarak kurang lebih dua ratus meter kurang dari satu detik, dan sedetik kemudian dia kembali ke pijakan awalnya. Bahkan, lebih dari itu, dia pernah menyampaikan pesan darurat perihal kedatangan legium asing menuju daerah kerajaan. 

Waktu yang normal dibutuhkan untuk sampai ke markas utama militer kerajaan adalah satu hari perjalanan dengan kuda tercepat. Akan tetapi, Lav tidak memerlukan kuda! Cukup dengan betisnya yang tidak seberapa besar itu, dia bahkan mampu melebihi kecepatan kuda yang sungguh tergopoh gopoh berlari menembus waktu yang mengejar di belakang. Tidak perlu satu hari perjalanan, cukup lima jam saja, dan itulah yang terjadi. Kejadian itu memang pernah terjadi. Bukan khayalan apalagi mitos yang tidak bisa dibuktikan.

Perkuat!!! Perkuat!!! Perkuat!!!

Itulah yang sibuk dirapalkan oleh Lav, sementara dia berusaha cuek terhadap bencana besar yang akan menimpanya beberapa detik lagi. Semua fokus hanya tertuju kepada bola cahaya yang telah ngos-ngosan memuntahkan energinya. Kerapatan bola itu yang sudah sedemikiannya, sekarang dipaksa semakin rapat dan rapat lagi. Bahkan bola cahaya yang sekarang saja jika dilemparkan ke sebuah bukit, maka hancurlah bukit itu tanpa sisa. Bahkan tidak terdapat satu debu pun yang tersisa. Apalagi ketika bola cahaya yang semakin dirapatkan itu, semakin solid, entah bagaimana jadinya.

"Aku memang tidak secepat dulu lagi, Parman. Tapi jangan berpikir bahwa aku akan mengalah begitu saja terhadap pengguna pusaka baru lahir seperti dirimu. Aku tidak akan kalah!!! Biarlah aku menerima beberapa terpaan angin ribut yang tidak seberapa. Akan tetapi, justru dirimu lah yang akan bersumpah kepadaku untuk menjaga desa kita yang sedang berada di dalam bahaya." Lav tersenyum, dirinya tidak bisa berkata apa-apa lagi ketika dia hendak melepaskan kekuatan yang tidak bisa dia tebak seberapa besarnya. Yang dia tahu hanyalah satu: musuh di depannya ini harus segera dijinakkan. Jangan berusaha untuk mengalahkan Parman. Salah-salah ksatria baru itu bisa tewas nantinya. Sia-sia saja usaha Lav untuk memperkuat desa. Dia telah menghapus ingatan Parman dan menipunya dengan menyuruh ramuan pusaka yang sempat dia pikir itu adalah ramuan obat. Hanya itu satu-satunya cara untuk memperkuat desa yang semakin berkarat itu semangatnya.

"Ingatlah ini, Parman!!! Aku lah yang akan membimbing kekuatan dirimu hingga mencapai kekuatan tertinggi nantinya."

Lav kembali tersenyum. Sementara pancaran cahaya yang begitu menyilaukan hampir membutakan matanya.

***

Semilir angin menyejukkan TarukoPedang. Memang sedang gelap-gelapnya, tetapi tidak ada pihak yang berpikiram miring untuk bertindak asusila. Untung hari sedemikian gelapnya, di tengah jalan yang sepi pun tidak akan ada yang sadar. Rasa takut akan hari penghakiman yang akan segera datang menyurutkan niat kotor mereka itu. Begitu juga desa TarukoPedang. Sejarah sepuluh ribu tahun terasa akan terbuang sia-sia. Dia merasa begitu tua, tidak bisa bertindak apa-apa lagi untuk sejarah. Dia hanya bisa duduk dan mencakung, entah kapan nasib baik akan kembali menyapa dirinya. Entah awan hitam yang luar biasa keling itu sedang mengangkut air bah yang tidak tertara volumenya. Bisa saja sekali hujan hancur sudah negeri bersejarah ini.

"Saya begitu takut untuk melihat ke luar, Tuan King. Bahkan jalanan yang biasanya bersahaja di pagi hari, sekarang dipaksa hidup dengan obor-obor yang malu-malu mengeluarkan apinya. Mereka tidak suka sedikitpun menambah beban kerjanya. Mereka tahu, sekarang sudah pagi, tetapi mereka belum juga dipadamkan. Memang para penjaga desa telah menambah minyak ke dalam sumbu mereka yang lembab itu, tetapi mereka tidak berbahagia sedikitpun! Mereka menuntut ketenangan, ketentraman!! Mereka hanya ingin bisa tidur nyenyak di gudang desa yang sesak dan pengap!!"

Cantika tidak bisa berhenti berbicara, nadanya turun naik dengan oktaf yang masih stagnan di kisaran nada median. Apa benar ungkapan itu? Rasanya tidak. Tapi, tidak ada juga yang peduli. Karena Cantika praktis kehilangan semua kesan kecantikan yang berada di dalam dirinya. Apalagi wajahnya, sudah kelihatan sangat tua dan tidak bisa tawar-menawar lagi dengan para bujangan desa yang mendadak menjauh darinya. Bukan karena dia terkena sihir, tetapi dia terkena sesuatu yang lebih buruk dari itu.

"Mengapa Anda begitu bergalau seperti itu, Tuan Putri? Ini bukanlah hal yang biasa dipikirkan oleh para gadis yang suka berlarian di kebun desa. Pikiranmu terlalu melayang jauh ke depan, masa yang begitu jauh. Itulah yang menyebabkan pudarnya hawa kecantikan yang telah bersemayam di dalam dirimu sedari lahir. Apa kamu tidak tahu, jikalau kamu kehilangan kecintakan yang selalu menjadi penarik bagi mereka, para kumbang desa?"

Labeyaume tidak memerhatikan Cantika sebenarnya. Dia masih begitu sibuk menikmati estetika dari barang antik yang terpampang di hadapannya. Meski itu hanya sebuah sendok, ya, sebuah sendok, tetapi itu adalah hasil pengolahan besi umat manusia tiga ribu tahun yang lalu. Cukup mengherankan, masa setua itu sudah ada yang bisa mengolah besi sedemikian indahnya. Bukan sekedar sendok biasa, ukurannya boleh saja hanya lima centimeter, tetapi ukiran yang dipahat di seluruh tubuhnya membawa kesan mistis tersendiri. Terdapat banyak lekukan yang tidak bisa dipahami oleh otak manusia biasa. Bahkan, bukan berniat untuk merendahkan, Labeyaume yang dianggap terpandai di desa (kontrovesi) juga tidak memahami sepenuhnya makna dari lekukan-lekukan yang ada di sendok tersebut. Tidak ada yang bisa mengetahuinya. Cukup mengoleksinya dan nikmati setiap masa senjang datang.

"Tidak masalah, Tuan King. Saya juga tidak mengharapkan cinta dari anak-anak desa;  baik dari kalangan kaya ataupun dari kalangan kere. Yang saya inginkan hanyalah pengetahuan yang dalam. Lagipula, berbicara tentang pria, aku telah menemukan seorang rekan dari kalangan kere. Jadi, saya pikir tidak ada masalah jika saya ingin mendalami gaya hidup orang-orang yang terpinggirkan itu." Cantika tetap memandang jauh keluar dari gerbang utama desa. Tidak ada yang terlihat. Kalaupun ada hanya beberapa kunang-kunang dan kobaran api dari obor-obor yang dibawa oleh para penjelajah yang berusaha melarikan diri dari suasana kelam desa.

"Hahaha!!! Kelihatannya Anda sudah semakin dewasa. Siapa anak laki-laki yang Anda maksud? Coba saya tebak, pasti seorang bocah sederhana bernama Arka bukan??"

Cantika terbelalak. Tidak dia sangka bahwa ada yang mengetahui perkara remeh temeh seperti itu. Bahkan, dia mulai curiga kalau para rumput atai lalat atau kotoran yang terhampar di tengah-tengah jalanpun bersumpah setia kepada Labeyaume.

"Darimana Anda mengetahui hal ini? Padahal saya pikir itu masih tergolong hal yang sangat rahasia. Jelaslah, dugaan saya sudah salah dan saya perlu banyak-banyak mencari pembelaan diri dari saat sekarang ini."

Labeyaume masih bergeming dari tempat berpijaknya. Mata yang sudah mulai meredup itu semakin asyik menikmati kesan misterius yang dipancarkan oleh sendok yang ada dihadapannya. Seperti sihir, orang terkaya di TarukoPedang itu seperti sedang tertarik ke dalam sebuah dunia khayalan yang tidak memiliki batas. Bagai seorang penyelam, sudah terlalu dalam ranah perairan yang dia selami hanya untuk memahami lekukan-lekukan misterius yang terpahat di sendok itu.

"Tidak perlu bereaksi berlebihan seperti itu, Putri. Saya hanya menebak saja dan ternyata itu benar. Ajaib, bukan?? Saya tidak mengetahui perihal kedekatan Anda dengan Arka sebelumnya. Jadi, yang barusan saya katakan itu murni intuisi yang telah terasah dengan sempurna." Kali ini dia berbalik, sementara Cantika masih asyik melihat ke arah kegelapan yang menyelimuti seluruh bagian desa.

Gadis kecil itu mengerenyitkan dahinya. Garis-garis yang terlipat-lipat itu semakin menyerap kemudaan yang dimiliki oleh gadis itu. Bagaimana bisa menebak sebaik itu? Pengakuan Labeyaume macam batu pijakan yang terlalu jauh untuk terinjak olehnya. Pemikirannya belum bisa menjangkau hal yang sejauh itu. Atau, apakah masalahnya terdapat di diri Labeyaume? Apa orang terkaya itu sedang mengigau? Cantika baru menyadari, bahwa orang yang selalu dia panggil "King" itu baru saja selesai menikmati alunan mistik yang dipancarkan oleh sebuah sendok yang tidak ada unsur ketertarikan baginya itu.

"Tuan King, saya benar-benar tidak memahami maksud Anda." Ya, hanya itulah jawaban polos yang bisa disampaikan oleh Cantika. Dia tidak lagi bergeming, sekarang gadis itu telah mondar-mandir dari satu jendela ke jendela lain. Rasa suntuk dan mengutuk tertumpuk di dalam lubuk hatinya yang mulai ikut-ikutan suram karena faktor cuaca ini. "Mengapa panik begitu, Tuan Puteri? Jangan khawatir, para tetua akan mengerjakan tugas mereka dengan baik. Hanya satu, yaitu untuk melindungi desa ini."

Sejenak Cantika terdiam, tertegun, sehingga menelan air liurnya dalam-dalam. Labeyaume seperti baru saja mengeluarkan pendapat yang memihak kepada para tetua yang kere. Apa dia tidak salah dengar? Bukankah beberapa hari yang lalu dia baru saja mendengar sebuah rencana pengusiran busuk dari mulut Labeyaume sendiri??

"Mohon maaf," suara Cantika tersendat. Ingin berkata tetapi tidak tahu apa yang harus dikatakan. Ingatan sekarang beralih fungsi, seperti sebuah layar tancap yang memproyeksikan beberapa cuplikan kejadian beberapa hari yang lalu. Perlahan-lahan semua ingatan itu mengalir dengan sempurna. Dimulai dari pertemuannya dengan Arka, pembicaraan mereka dan juga bagaimana perasaannya mulai kuncup terhadap bocah itu. Ah! Mengapa dia bisa menumbuhkan perasaan terhadap bocah tengik itu? Ketika dia berusaha menghapus ingatan itu, tiba-tiba layar tancap imajiner itu menampilkan cuplikan pembicaraanya dengan Tuan Labeyaume yang begitu dia kagumi. Berawal dari pertemuan di sebuah kedai, sebuah pedang sampai dia mendengar sebuah kenyataan yang cukup mengagetkan.

Dia masih begitu ingat, ketika pertama kali dia mendengar pernyataan yang begitu busuk itu. Jantungya berdetak terlalu cepat, bahkan dia sampai sesak hingga berkeringat dingin. Tidak ada yang bisa dia pikirkan, hanya rasa takut dan iba yang campur padu menjadi satu. Sebuah perasaan yang belum ada kata mana pun yang bisa menjelaskan. Matanya yang biasanya selalu bercahaya telah hilang direnggut kenyataan masa depan yang begitu menyeramkan.

"Puteri? Puteri Cantika? Puteri?"

Ada banyak tangan yang berusaha merebutnya. Tangan-tangan itu terlihat begitu ambisius, di antara mereka bersaing itu bisa menjangkau Cantika. Gadis itu hanya bisa terdiam, jemarinya tidak bisa digerakkan sedikitpun. Sementara air mata yang sudah lama dia tampung oleh bendungan keyakinan telah retak. Sekarang bendungan itu telah jebol, menyisakan banyak air mata buangan yang segera membasahi pipi Cantika. Banjir!! Begitu basah dan tergenang.

"Tuan Puteri!!?"

Ah, Cantika terasa terlempar dengan sangat kuat dari alam yang baru saja dia masuki. Kesadarannya pulih secara perlahan. Terlihat olehnya ruangan yang begitu megah dan mewah. Impiannya untuk memiliki rumah dalam bentuk serupa muncul. Jika dibandingkan, tentu rumahnya yang sekarang tidak lebih dari sebuah gubuk kaum kere dibandingkan kekayaan keluarga Labeyaume. Nafasnya menjadi sesak, tidak teraturan! Satu hal yang dia sadar bahwa dirinya juga mewarisi rasa tamak dan iri hati yang telah tumbuh menjamur di dalam kalbu masing-masing kalangan kaya di desa itu.

"Apa Anda baik-baik saja?"

Cantika hanya menatap ke arah sumber suara. Labeyaume King, seorang orang tua yang masih terlihat muda. Tidak ada yang tahu berapa umurnya. Rumor yang beredar hanya mengindikasikan para tetua saja yang tahu. Tapi, sudahlah, tidak ada juga manfaatnya mengetahui usia pasti dari orang terkaya ini.

"Maafkan saya, Tuan King. Sekilas sama seperti ditarik ke dunia memori oleh jiwa saya sendiri. Melihat kembali cuplikan-cuplikan yang terjadi beberapa hari terakhir. Saya pasti sedang banyak pikiran. Bukan!! Saya pasti sedang mengalami keletihan. Saya menyadarinya. Tuan, bolehkah saya duduk di sofa Anda ini?" Perkataan adalah doa. Selepas mengatakan "keletihan" di depan Labeyaume, tubuh Cantika memang mendadak kehilangan tenaga. Seperti ada sesuatu yang kasat mata yang menyedot seluruh tenaga yang dia miliki. Betisnya seperti lesu, tidak sanggup lagi berdiri dan ingin bersandar sebentar. Tubuhnya pun tidak lagi berdiri dengan tegap. Tanda-tanda seseorang yang sedang kelelahan memang terlihat betul dari perawakan Cantika saat sekarang ini.

"Saya paham. Silahkan, silahkan Tuan Puteri. Anda boleh duduk," sementara Labeyaume berjalan menuju ruangan dapur. Cantika mengamati dengan rasa malas. Dia mencoba menerka-nerka apa yang akan dilakukan Labeyaume. Apa dia hendak membuatkan sesuatu untuk gadis itu? Atau, apakah dia hanya berjalan untuk mengulur waktu? Bisa saja Labeyaume berpura-pura melakukan sesuatu di belakang sana. Bisa saja dia tidak berjalan menuju dapur, tetapi menuju ruangan lain yang tidak terjamah oleh daya penglihatan Cantika. Rasa bingung meliputi gadis itu. Dia menyerah! Tidak mungkin dia mampu menyamai kemampuan menerka Labeyaume.

"Sungguh malang! Aku tidak berpikir akan mengalami kejadian seperti ini. Ya, walaupun aku tahu hal ini selalu terjadi berulang-ulang. Semenjak dulu, terkadang semua tenagaku menghilang secara tiba-tiba. Menyebalkan!! Terkadang hal ini terjadi di saat-saat genting dan penting. Aku, aku harus mencari cara untuk menghilangkan semua kesusahan ini," pikir Cantika. Denting jam terus bergerak. Udara juga semakin dingin. Lucunya tidak terasa sedikitpun pergerakan angin. Mereka terkesan pemalu akhir-akhir ini.

"Aku hanya ingin melihat matahari lagi," gumam Cantika. Bayang-bayang Arka tiba-tiba muncul. Hal ini pun sempat membuat Cantika terkejut. Darimana datangnya bocah ini? Kira-kira begitulah yang dipikirkan oleh Cantika. Tidak ada pembatas antara realita dengan ilusi saat sekarang ini. Semuanya terlihat sama. Bayang-bayang itu memang terlihat seperti Arka. Jangan-jangan itu bukanlah bayang-bayang!!

"Arka!! Kenapa kamu bisa ada di sini?" Cantika berteriak-teriak dengan histeris. Bukan karena takut, hanya semacam rasa yang menggumpal di dadanya. Rasa itu berusaha memberontak dan membebaskan diri dari kurungan jasmani Cantika. Mereka saling berebut untuk bisa memeluk Arka paling pertama. "Sudah, cukup!!!" Cantika hanya tidak bisa mengontrol keadaan. Kendalinya lepas, mungkin sudah melayang kemana-mena.

"Tuan Puteri? Mengapa Anda seperti itu? Akhir-akhir ini Anda memang terlihat sangat aneh!"

Suara Labeyaume seperti dentuman keras bagi Cantika. Walau demikian, dia tetap bersyukur. Akhirnya ada sesuatu atau seseorang yang bisa membebaskannya dari cengkeraman sensasi aneh itu.

"Ah, Tuan King!! Terima kasih. Saya, saya sedikit gelagapan tadi." Dilihatnya Labeyaume berdiri beberapa meter darinya sembari memegang sebuah cangkir. Mungkin itu berisi air teh; manis atau tidak, siapa yang tahu?

"Hmm, Tuan Puteri berteriak menggaungkan nama Arka tadi. Apa yang terjadi?"

"Mohon maaf, tapi, saya melihat Arka. Lebih tepatnya seperti melihat anak itu tadi. Siapa yang menyangka bahwa itu hanay bayang-bayang. Tetapi, bagi saya bayang-bayang tadi itu terlihat begitu nyata. Nyata sekali!!!"

"Sepertinya Anda betul-betul kelelahan. Sudahlah, minum dulu air teh ini. Memang rada pahit, tetapi menyehatkan."

Labeyaume menyodorkan secangkir teh itu. Cantika dengan malu-malu menerimanya. Secara zahir dia malu-malu karena menerima secangkir teh pahit secara Cuma-Cuma. Tetapi, jauh di dalam hatinya dia sedang malu karena perasaan yang kian memuncak terhadap Arka. Memang yang dilihat hanya bayang-bayang, tetapi sensasi yang ditinggalkan tidak berkata seperti itu.

"Daripada Tuan Puteri pusing-pusing karena hal-hal yang berada di luar jangkauan nalar. Bagaimana kalau Tuan Puteri mendengarkan beberapa kisah tentang benua ini?" Labeyaume memang sangat terampil di dalam memulai suatu cerita. Dengan lancar dia bisa menggiring perhatian Cantika yang berkecamuk negatif menuju panggung ceritanya yang akan segera dia mulai.

"Benarkah Tuan King? Kalau saya boleh tahu, kira-kira Anda akan bercerita tentang apa?"

"Jangan terlalu kaku. Ini hanya kisah biasa. Ya, bisa dibilang, ini adalah kisah awal dari peradaban benua ini: Benua Vrijland."

Kata-kata itu memesona bagi Cantika. Dia telah memerhatikan dengan seksama. Tidak ingin sedikit detail pun terlewatkan olehnya.

"Bagaimana kisahnya, Tuan King?"

"Semua ini berawal beribu tahun sebelum era kita. Tanah ini, banyak perkamen kuno yang mengatakan, dahulunya kosong dan tidak memiliki satupun peradaban yang jelas. Yang mendiami daerah ini dahulunya hanyala para hewan yang kebanyakan juga telah punah di era kita. Manusia juga tidad ada di daerah ini pada awalnya. Banyak yang mengatakan bahwa manusia berasal dari benua lain yang berada di sebelah utara dari benua ini. Tidak banyak sumber yang memberitahu nama dari benua yang dimaksud. Ada yang mengatakan namanya Maland; ada juga yang mengatakan nama benua itu adalah Miraland; ada juga yang mengatakan nama dari benua itu sebagai Uzakaland. Entah yang mana yang benar. Tidak diketahui pula apakah benua yang lain itu juga ada.

"Manusia pertama kali datang ke negeri ini sebagai budak. Jangan terkejut, memang begitulah kisah awalnya," sebelum sempat melanjutkan ceritanya, Cantika memprotes tanda ketidakpercayaan atas kisah yang dia anggap hasil karangan dari Labeyaume.

"Bagaimana mungkin kita dahulunya adalah budak? Jangan mengada-ngada Tuan King. Manusia yang begitu mahir di dalam mengolah besi. Manusia yang juga berhasil menyusun batu-batu yang berundak tinggi menjadi benteng. Manusia juga yang telah mengembangkan dua jenis sihir: hitam dan putih. Bagaimana bisa manusia yang demikian bermula dari kumpulan makhluk yang tidak memiliki harga diri?" Alis mata sebelah kanan gadis itu terangkat. Pandangannya juga sengak, kesombongan mengalir deras dari pelupuk matanya yang membesar.

"Tentu, nenek moyang kita dahulu tidak lebih dari budak. Itulah kenyataan sejarah yang tidak bisa Anda tolak. Puteri, Anda mengatakan bagaimana bisa manusia yang segala macamnya terlahir dari status budak yang begitu rendah dan bodoh? Fufufu, Anda terlalu egois membandingkan pencapaian manusia sekarang dengan mereka yang datang tiga ratus ribus tahun yang lalu. Ya, dari perkamen-perkamen kuno, itulah angka yang menyebutkan periode kedatangan manusia ke benua ini, bersama dengan majikan asli mereka.  Tentu dirimu yang hidup di era kemajuan ini merasa superior---spesies kita---dibandingkan yang lain. Tapi, jangan mengikut kesombongan yang ditebarkan oleh para pegawai kerajaan itu. Pelajarilah kembali sejarah benua ini. Pahami lah betapa menyedihkannya nenek moyangmu itu dulu."

Cantika mendesah kecil. Nada-nada kekesalan keluar dengan lancar dari mulutnya. Pipinya memerah, daun telinganya juga memerah, hatinya juga memerah. Pembuluh darah melebar selebar-lebarnya, membiarkan arus darah membanjiri permukaan kulitnya yang kekuningan itu. Tanda amarahnya sedang mencapai puncaknya. Seperti gunung berapi, setelah puas batuk-batuk tidak tertahankan. Sekarang, ini adalah waktu yang tepat. Saatnya untuk mengeluarkan seluruh magma yang telah capek-capek ditimbun selama ratusan tahun. Saatnya, ini adalah momen pelampiasan kemarahan paling tepat.

"Begitu juga nenek moyangmu, Tuan King. Mereka juga tidak lebih dari kera peliharaan bangsa majikan bohonganmu itu." Air liur jatuh, sebuah meteor cair telah merusak tatanan keindahan lantai rumah Labeyaume. Untung orang tua itu tidak marah. Dia memang mangharapkan rasa marah dan kesal ini. Kebahagiaannya timbul ketika melihat ada pihak yang merasa marah setelah mendengar perkataannya. "Aku tahu," tandasnya.

"Jadi, apa kita masih perlu melanjutkan kisahnya, Tuan Puteri?"

Udara di luar masih sangat dingin. Begitu pula dengan awan hitam itu, masih bergumul di atas setiap atap rumah yang ada di TarukoPedang. Angin juga sedang berhembus kencang-kencangnya. Keluar pada saat seperti ini bukanlah perkara yang bagus untuk seorang bocah seperti Cantika. Dia juga tidak membawa payung ataupun pakaian yang kedap dengan amukan hujan. Benar-benar buruk pikirnya. "Baiklah. Saya akan mendengarkan cerita Anda tanpa memersalahkannya." Itu hanya taktik. Setidaknya rasa canggung yang kalian akibat konfrontasi kecil-kecilan bisa mereda dengan cepat. Semua ini agar Cantika tetap bisa merasakan kehangatan rumah Labeyaume yang sedang membara tungku perapian rumahnya. Hal ini juga agar Labeyaume merasa tidak sakit hati dengannya, dengan memintanya kembali bercerita. Semua ini, hanya demi satu hal: jangan sampai Cantika terusir dari zona kenyamanan ini.

"Tentu saya akan lanjut bercerita. Saya juga mengapresiasi kepiawaian Tuan Puteri di dalam membujuk saya. Tenang, saya tidak akan menyuruh Anda mangkat dari tempat ini. Suasana di luar masih seperti mimpi buruk. Tentu, Tuan Puteri harus memegang teguh perkataannya tadi, yaitu tidak menganggu saya selama cerita dituturkan."

Cantika kembali duduk tenang di atas sofa. Air teh yang tadi disodorkan Labeyaume telah habis dia teguk. Pikirannya telah kembali tenang. Tidak ada lagi rasa kesal atau marah yang berpotensi menganggu fokusnya selama mendengarkan kisah sejarah yang cukup membosankan.

"Apa kita bisa kembali melanjutkan, Tuan Puteri??" Labeyaume meremas-remas jari-jemarinya. Sesekali dia juga menengok ke lingkungan luar jendela. Terkadang  dia terlihat mengigil, entah karena merasa takut melihat kegelapan atau bergidik menikmati penerawangan kemungkinan yang akan terjadi. Sementara bibirnya tetap terpasang senyuman yang sulit untuk ditafsirkan. Bahkan Cantika sekalipun tidak bisa sepenuhnya menebak isi hati dan perasaan dari seorang Labeyaume. Juga semua ramah tamahnya, dan mengapa hanya Cantika yang dibiarkan berada di ruangan ini untuk waktu yang lama? Semua itu masih misteri.

"Boleh. Saya siap mendengarkan kapan pun Tuan King," jawab Cantika. Wajah cantiknya telah kembali.

"Wah, kalau begitu, saya akan melanjutkan kisahnya besok."

Cantika termenung. Apa maksud perkataan Labeyaume barusan? "Apa maksud Anda, Tuan King?? Mengapa harus diundur sampai besok hari??" Orang tua itu hanya tersenyum. Sesekali dia mengedipkan mata sebagai wujud ledekan kepada Cantika. "Bukankah Tuan Puteri mengatakan bahwa kelanjutan ceritanya terserah saya kapan akan diadakan. Jadi, tentu saya memilih besok hari. Lagipula saya sedan mengantuk saat sekarang ini. Tidak bisa!! Nanti saya bercerita ngelantur."

Cantika langsung memahami keadaan aneh ini. Baginya, ini hanyalah gimik Labeyaume untuk menguraikan suasana yang kaku sekali lagi. Tawa cekikikan juga meledak-ledak keluar dari rongga mulut Cantika. Untung dia menutup mulutnya dengan tangan kanannya. Suasana yang kaku memang berhasil dicairkan dengan mudah. Keadaan benar-benar menjadi seperti sedia kala. "Jangan bertindak bodoh begitu, Tuan King. Kalau begitu, saya ingin ceritanya dilanjutkan sekarang juga!!!" Pinta itu lebih kepada bentuk perintah. Cantika meletakkan kedua tangannya di pinggang. Seorang Puteri baru saja memberikan perintah yang lugas.

"Hahaha, baiklah."

***

"Perbudakan yang begitu biadab itu berlangsung selama dua ratus ribu tahun. Suatu rentangan masa yang tidak singkat. Rentangan masa yang begitu panjang itu dilalui dengan sangat berat dan penuh derita bagi para manusia yang ada. Kebanyakan dari mereka mati, terutama golongan pria. Mereka dipaksa bekerja tanpa upah dan pemberian makan yang jelas. Yang selamat hanyalah yang terkuat di antara mereka. Para wanita hanya seperti babi yang beranak, mereka penghasil keturunan sebanyak-banyaknya. Bagi bangsa yang begitu terobsesi dengan energi kegelapan itu, manusia tidak  ubahnya seperti kecoak yang harus diberdayakan.

"Berkat manusialah, bangsa laknat itu memiliki suatu peradaban yang sangat maju pada masa itu. Kekuatan peradaban itu bahkan jauh lebih baik daripada benua asal dari para bangsa laknat itu."

"Maaf Tuan King. Berarti, ada tiga benua di dunia ini?"

"Benar Tuan Puteri, ada tiga benua. Dahulu hanya dua yang berpenghuni. Jadi, daerah ini tidak ubahnya seperti koloni bagi bangsa laknat yang berasal dari  benua yang terletak di sebelah barat dari benua ini. Mereka hanya mencari keuntungan dan menghimpun kekuatan di tempat ini. Daerah ini lebih subur dan makmur dibandingkan dua benua yang lain. Penyebaran ekosistemnya lebih merata di sini. Berbeda daripada benua kampung halaman manusia yang keseluruhan daerahnya adalah hutan lebat. Konon, kayunya sekuat berlian sehingga begitu sulit untuk ditebang. Sedangkan benua di barat sangat gersang dan selalu dihujam oleh badai-badai petir yang tindak pernah berhenti selama dua minggu masa keaktifannya. Singkat kata, benua ini benar-benar tempat yang ideal bagi bagi bangsa laknat untuk menghimpun pasukan."

"Tunggu sebentar, Tuan King. Satu hal yang belum saya mengerti. Bagaimana caranya bangsa laknat itu mendapatkan manusia untuk dijadikan budak oleh mereka?"

"Sederhana saja, Tuan Puteri, mereka menyusup ke wilayah awal manusia kemudian menculik beberapa di antaranya. Kebanyakan yang mereka culik adalah warga biasa. Mereka itu adalah para petani, nelayan atau memang budak yang berasal dari benua kampung halaman leluhur kita."

"Jadi, perbudakan juga sudah ada semenjak di benua asal kita?"

"Benar, Tuan Puteri. Tetapi jangan salah sangka. Perbudakan yang terjadi di benua asal leluhur kita jauh lebih baik sistemnya. Perbudakan di sana menyerupai sistem kontrak pembantu di masa sekarang. Mengapa disebut budak? Hanya karena mereka dibeli untuk mendapatkannya, bukan dibujuk rayu dengan upah sekian per minggu. Perbudakan di sana juga tidak mengenal sistem upah, tetapi pembagian makanan lebih jelas dan cukup untuk menjaga perut para budak dari rasa lapar. Kiat-kita kematian cukup jauh dari para budak yang berada di benua asal leluhur kita. Berbeda dengan para budak (manusia) yang berada di benua ini tiga ratus ribu tahun yang lalu. Mereka tidak lebih dari hewan ternak yang dilecut sampai mati untuk bekerja. Lebih biadab yang pernah terjadi di negeri ini.

"Keadaan yang sedemikian buruk itu, seperti yang telah aku katakan sebelumnya, juga bertujuan untuk menghimpun kekuatan. Bangsa laknat itu juga membangun basis kekuatan militer di tempat ini. Mereka sangat ahli di dalam memanipulasi energi kegelapan. Banyak yang mengatakan bahwa itu adalah cikal-bakal dari sihir hitam. Militer yang dibentuk di benua ini sebagai pelengkap dari militer utama yang berasal dari negeri para bedebah itu. Tujuan mereka sudah jelas, mereka ingin menaklukkan benua asal leluhur kita. Jika hal itu tercapai, maka misi memperbudak seluruh manusia selesai dengan sempurna.

"Penyerangan besar dilakukan, seluruh pasukan kegelapan itu begitu yakin bahwa mereka akan segera mengakhiri riwayat dari peradaban manusia di muka bumi. Mereka memiliki pasukan yang sangat banyak. Bahkan mereka juga telah menaklukkan makhluk-makluk kuat di benua ini sebagai ajang latihan. Persiapan telah dilakukan secara maksimal. Kemenangan terlihat beberapa langkah di depan mereka. Keyakinan mereka begitu tinggi. Mereka menganggap enteng semua permasalahan. Hanya saja, mereka harus menerima kenyataan bahwa upaya mereka gagal dan berakhir dengan kekalahan total."

"Eh!? Apa yang terjadi Tuan King?"

"Di luar dugaan mereka, ternyata kekuatan leluhur kita lebih kuat. Dari semua perkamen kuno, hanya satu yang menjelaskan alasan dari pernyataan itu. Aku telah menjelaskan bahwa benua asal leluhur kita itu dipenuhi sepenuhnya oleh hutan berkayu sekuat berlian, bukan? Itulah kunci dari kemenangan benua utara itu. Perkamen kuno itu menjelaskan bahwa pohon-pohon yang tumbuh di sana mengalirkan semacam energi yang tidak bisa dijamah oleh bangsa laknat. Andai mereka adalah penguasa dari kekuatan kegelapan, maka leluhur kita sejatinya adalah penguasa dari kekuatan cahaya. Kerusakan sangat parah diderita oleh bala tentara bangsa laknat yang telah terlebih dahulu percaya diri bisa memenangkan perang. Keadaan benua leluhur baik-baik saja. Memang terdapat banyak api, tetapi mereka bisa mengatasinya dengan baik. Pohon-pohon juga berada di dalam kondisi yang baik. Meski ada beberapa yang tumbang karena tebasan kegelapan tentara elite bangsa laknat, mereka langsung kehilangan kekuatan setelah itu. Pasukan leluhur berhasil menuntaskan peperangan dengan karpet merah kemenangan yang gemilang berada di atas kaki mereka masing-masing."

"Ah, syukurlah. Ternyata sedari dahulu bangsa manusia memang hebat."

"Begitulah. Tetapi, tentu itu adalah apa yang terjadi di benua utara. Bagaimana dengan benua kita?"

"Benar juga! Apa yang terjadi selanjutnya Tuan King?"

"Kekalahan yang diderita oleh pasukan laknat benua ini, itu semua adalah pintu dari titik balik nasib para budak. Sebelum pasukan laknat yang terkeyot-keyot berhasil pulang ke daerah asal mereka, beberapa pasukan elite dari negeri leluhur berhasil menyelinap ke dalam kapal-kapal mereka. Para pasukan itu hanya memiliki satu tugas, yaitu menjamin upaya pembebasan bagi para saudara yang terbelenggu di tanah seberang. Mereka akan menjadi jenderal selama proses revolusi berlangsung. Mereka juga yang akan memegang kekuasaan setelah revolusi berakhir. Mereka disumpah dan dikutuk jika kembali ke tanah kelahiran mereka. Mereka hanya akan tinggal bersama anak cucu mereka di tanah yang baru, yaitu benua yang terletak di sebelah selatan dari benua leluhur.

"Setibanya di benua ini, mereka langsung menyusup menemui kelompok budak yang juga berusaha ingin melepaskan diri dari belenggu para laknat. Sudah jelas, menurut perkamen yang aku baca, bahwa para budak juga ada yang memberontak ingin membebaskan diri. Tetapi, sayang sekali, mereka tidak memiliki cukup kekuatan untuk itu. Kebanyakan dari usaha mereka berakhir sia-sia dan yang tersisa berusaha lari semakin ke arah utara, yaitu menuju daerah pesisir. Mereka lah kelompok pemberontak yang pertama kali ditemukan oleh pasukan elite.

"Pasukan elite meminta mereka agar mau bergabung. Dengan demikian, kemungkinan untuk menang akan semakin besar. Awalnya para budak tidak percaya. Sebelum akhirnya salah satu tentara elite menarik pedangnya yang besar dan mengayunkannya ke tanah. Keajaiban terjadi!!! Semua pohon yang berada di sana terbilah dan tercincang-cincang sampai menjadi abu. Sebuah tanah baru telah terbuka. Iya, hanya melalui satu kilatan pedang."

"Tuan King!!! Jangan katakan kalau itu adalah sejarah awal dari terbentuknya TarukoPedang!!!"

"Tepat sekali, Tuan Puteri!! Itu adalah kisah awal dari desa kita ini. Sayang, tidak ada rekam waktu yang pasti kapan peristiwa itu terjadi. Dua sumber terkuat mengatakan bahwa peristiwa itu terjadi sepuluh ribu tahun yang lalu. Sedangkan pandangan lain menyatakan bahwa peristiwa itu terjadi tujuh puluh ribu tahun yang lalu. Tidak penting perdebatan waktu itu. Yang jelas, semua peristiwa itu nyata.

"Tuan Puteri tidak percaya? Kalau begitu lihatlah pedang itu!! Pedang yang sempat membuat Anda begitu terpana. Itulah dia. Itu adalah salah satu pedang yang dimiliki oleh tentara elite yang berjumlah tujuh. Sayang, aku tidak tahu apakah pedang itu adalah pedang yang sama yang merobohkan benteng alam menjadi tanah subuh bernama TarukoPedang."

Cantika hanya termenung menyaksikan pedang itu. Betapa besarnya kesaktian pedang itu di masa lalu. Pedang itu juga yang telah menjadi pembebas dari perbudakan biadab yang pernah terjadi di masa lalu. Mungkin juga pedang itu yang membebaskan leluhurnya, leluhur Labeyaume, leluhur Arka dan leluhur semua orang. Andai pedang itu gagal menjalankan tugasnya, tidak mungkin dia bisa hidup berkecukupan seperti sekarang. Tidak mungkin juga dia bisa berpakaian yang pantas dengan kulit kuning yang merona setiap kali sinar mentari menerpa.

 "Lalu, apa yang terjadi selanjutnya, Tuan King?"

"Kurang jelas apa yang terjadi selanjutnya, karena tidak ada satu pun perkamen kuno yang menjelaskan hal itu. Hanya saja, ada satu kejadian besar yang tercantum di salah satu perkamen kuno, bahwa terdapat sebuah kejadian besar yang dikenal dengan sebutan Perjanjian Agung."

"Perjanjian Agung Tuan King?"

"Ya, Perjanjian Agung! Suatu masa ketika ke tujuh pasukan elite bersama dengan para budak yang memberontak. Di desa ini lah, di suatu tempat yang tidak diketahui di masa sekarang, ke tujuh pedang pernah diletakkan di atas satu meja. Mereka semua, bersama-sama, mengambil sumpah akan berjuang sekuat tenaga hingga bangsa laknat benar-benar berhasil terusir dari benua ini. Masing-masing dari ujung pedang kuno yang tujuh bersentuhan, mereka seakan-akan telah bertalian dalam bentuk ikatan saudara untuk saling melindungi satu sama lain."

"Hmm, apa maksud Anda barusan, Tuan King?"

"Terdengar berbelit-belit bukan? Tapi, itulah yang tertulis di perkamen kuno. Aku menghafal bagian itu dengan sangat baik. Aku sampai membacanya berkali-kali. Kalimat itu bermakna bahwa sesama pedang yang tujuh tidak bisa saling menyakiti. Meski mereka adalah pedang yang sangat tinggi tuahnya, ikatan bersaudara yang diciptakan oleh masing-masing penguasanya dan antar pedang itu sendiri, hingga masa depan pun tidak akan pernah pertumpahan darah antar pengguna pedang itu."

"Jadi, apa itu bisa dibilang sebagai salah satu keuntungan bagi mereka? Maksudku, bagi para elite dan juga para budak yang memberontak?"

"Hmm, menarik. Coba jelaskan kepadaku maksud dari perkataan Anda barusan."

"Tentu, karena antar pedang bertuah tidak bisa saling menyakiti, berarti andai ada beberapa pihak yang berkhianat maka usaha itu sia-sia. Meski mereka berhasil merebut pedang-pedang itu, tetapi tetap tidak akan bisa melukai para elite dan juga para budak."

"Aku senang mendengar argumen Anda. Tetapi, itu tidak sepenuhnya benar. Lebih tepatnya, andai salah satu atau beberapa pedang atau kesemuanya berhasil direbut para laknat, para budak yang memberontak tetap akan terpengaruh oleh daya rusak pedang itu. Hanya para pemilik asli lah yang tidak terlalu terpengaruh, tetapi masih bisa terluka oleh pedang itu. Begitu pula andai ada dua pedang yang saling beradu ketajaman. Mereka tidak bisa saling membunuh. Akan tetapi, jika dipaksa beradu, maka kedua pedang akan melebur."

"Ah, berarti pedang-pedang bertuah itu banyak yang rusak karena tindakan sia-sia. Betapa buruknya hal itu."

"Hahaha, memang begitulah. Anda bisa melihat sendiri, saya memiliki salah satu dari pedang itu. Tapi, dari informasi yang saya kumpulkan, dikatakan bahwa hanya ada tiga yang tersisa di benua ini, termasuk punya saya. Berarti, memang pernah terjadi pertumpahan darah antar pengguna pedang bertuah dulu bukan?"

"Menyebalkan! Mengapa perlu ada perang atau pertumpaan dara di dunia ini?"     

"Huss!! Dasar pemikiran polos. Jangan berpikir utopis. Perang tetap akan terjadi pula. Setidaknya konflik kecil-kecilan yang berevolusi menjadi adu jotos antar pelaku.

"Mari kita lanjutkan, bahwa setelah Perjanjian Agung diambil di desa ini, perang yang diumumkan kepada para laknat. Pertempuran besar terjadi hampir setiap saat. Para laknat masih cukup sulit dikalahkan. Alasannya sudah jelas, bukan? Para laknat sangat ahli di dalam menggunakan sihir hitam. Sementara di pihak revolusioner hanya terdapat tujuh orang yang ahli di dalam penggunaan sihir putih selaku penangkis dari sihir hitam. Keadaan sangat tidak menguntungkan pada masa-masa awal peperangan.

"Tetapi, jangan terlalu bersedih. Tidak semua laknat selaknat perbuatannya. Kita sama-sama tahu, di suatu kelompok yang bernafsu perang tinggi, pasti ada beberapa pihak yang tidak serupa dengan kalangannya. Mereka ini lah yang pada akhirnya menawarkan bantuan kepada para revolusioner untuk mengajarkan sihir hitam kepada para budak. Kesempatan emas berada di depan mata, para elite pun tidak terjebak fanatik berlebihan dan menerima bantuan tersebut dengan senang hati. Dengan demikian, pasukan revolusioner memiliki dua aliran sihir sekaligus, yaitu hitam dan putih.

"Arus peperangan mulai berubah perlahan-lahan. Desa TarukoPedang, sebuah tempat kecil yang dihimpit banyak bukit yang menjadi benteng terakhir, berubah menjadi basis utama pasukan revolusioner. Segera, selepas mereka menaklukkan banyak benteng-benteng yang dibangun oleh para budak atas desakan para laknat, pasukan revolusioner segera memindahkan basis pasukannya semakin dekat ke arah ibukota benua.

"Tepat di tengah-tengah benua ini, itulah yang disebut sebagai ibukota benua. Masa itu ibukota dikenal dengan sebutan Koto Pati. Tempat itu memang mati, tidak ada tanda kehidupan berarti. Hanya beberapa penjaga yang hilir mudik menebar teror kepada para budak yang mengelimang rasa takut dan ngeri di masing-masing selimut yang terbuat dari kain goni yang kasar.

"Ibukota itulah yang menjadi tujuan utama penyerangan para revolusioner. Sebuah pertarungan terakhir yang mengguncang seluruh daerah yang berada di benua ini. Para budak pemberani, yang menginginkan suatu bentuk kemerdekaan, berkumpul bersama-sama di luar Koto Pati. Keadaan tidak karuan. Mereka harap-harap cemas, antara kematian yang benar-benar berada di pelupuk mata dengan rasa kegembiraan yang tertunda sebelum kemenangan berhasil digenggam.

"Perang pun terjadi. Tidak, lebih tepatnya pertempuran. Sebuah pertempuran terakhir yang melibatkan seluruh budak yang berhadapan dengan seluruh pasukan laknat yang berada di benua ini kala itu. Pertempuran ini benar-benar pertaruhan yang terakhir. Jika para budak yang dibantu para elite berhasil menang, masa depan yang begitu cerah terpampang begitu nyata di hadapan mereka. Akan tetapi, jika para laknat yang justru berhasil memenangkan pertempuran, maka habis sudah sejarah umat manusia di benua ini.

"Pertempuran itu merenggut banyak nyawa; baik dari sisi budak ataupun dari sisi pasukan laknat. Banyak suku bangsa yang punah karena pertempuran itu. Beberapa pasukan elite juga terbunuh dengan sangat tragis di pertempuran itu. Beruntung sekali, berkat kekuatan kerja sama dan saling percaya para budak, mereka berhasil mengalahkan pasukan laknat yang jauh lebih kuat di atas kertas. Kemenangan berhasil diraih, meski harus diraih dengan penuh darah yang mengaliri setiap lorong kota. Kota itu berubah menjadi merah. Sungai-sungai darah segar tanpa halangan mengalir dengan lancar menuju lautan. Suatu pemandangan yang tidak biasa. Hanya sepertiga dari para budak yang berhasil selamat. Keadaan itu sangat memilukan. Tetapi tetap harus dirayakan. Setidaknya apa yang dicita-citakan selama dua ratus ribu tahun berhasil diraih di tangan para budak berkat bantuan dari para elite dari benua lain.

"Para elite yang tersisa didaulat menjadi pemimpin baru dari benua ini. Dahulu, di lembaran sejarah baru negeri ini, hanya ada satu kerajaan berdaulat. Dinamakan lah kerajaan itu dengan sebutan Vrijland, sebuah lahan atau daerah yang bebas. Nama itu kemudian disematkan juga kepada nama dari benua ini.

"Itulah, itulah sejarah yang telah membekas di seluruh lembaran perkamen kuno yang  masih bertahan. Meski setiap malam perkamen itu dikepung oleh para kutu buku, atau ketika mereka berusaha memertahankan kualitas kertas mereka dari ancaman pengasaman, tetapi mereka bertahan. Ini demi penurunan dan pewarisan dari kisah-kisah kepahlawanan ini. Ini semua demi para keturunan yang masih bertahan. Hanya tersisa tiga suku-bangsa. Tapi itu sudah lebih dari cukup, untuk mengawasi dan menjaga perdamaian yang ada di benua ini."

***

Selingan angin yang berhembus kencang mengobrak-abrik kedamaian yang telah menaungi TarukoPedang selama sepuluh ribu tahun. Awan hitam ini belum juga menunjukkan tanda-tanda kemanjaannya. Mereka masih berada di atas langit TarukoPedang, suatu keadaan yang begitu menakutkan. Dunia yang gelap, mengingatkan kepada serpihan sejarah yang begitu menakutkan. Jangan sampai kejadian kotor itu terjadi lagi, meski pelakunya bangsa yang berbeda. Atau, lebih menakutkan lagi jika pelakunya sesama umat manusia yang pernah bersatu-padu menghadapi musuh bersama.

"Tuan King, sebuah kisah yang luar biasa telah Anda ceritakan kepada saya. Mohon maafkan, jika di awal cerita saya sempat bersitegang dengan Anda. Pengetahuan saya tentu masih secuil. Saya juga tidak bisa bersabar menyimak semua pengetahuan berharga yang coba Anda wariskan kepada saya. Terima kasih banyak." Pipi itu terlihat memerah. Lebih tepatnya Cantika terlihat seperti seorang gadis yang sedang kasmaran. Bukan kepada Labeyaume yang beristri tiga, tetapi kepada fakta sejarah yang telah mengantarkan nasib keluarganya menjadi mujur seperti ini. Mata gadis itu berbinar-binar dengan bahagianya. Bagaikan sebuah kaca yang begitu jernih memantulkan cahaya mentari yang melesat cepat ke bola matanya yang kehijauan. Sungguh pemandangan yang luar biasa.

"Tapi, satu hal Tuan King, mengapa kerajaan yang satu berpecah belah juga pada akhirnya?"

Sebuah pertanyaan yang polos. Jawaban yang enteng juga pantas keluar dari mulut Labeyaume, "Jelas sekali, Tuan Puteri, bahwa hasrat konyol umat manusia yang menyebabkan semua itu. Sikap buruk bangsa laknat telah menurun dengan sempurna kepada para manusia. Suatu keadaan yang tidak bisa diubah dengan mudah."

Cantika hanya menatapan ulang kepada pedang itu. Mengapa pedang pusaka itu pernah mencoba memanggil-manggil jiwanya? Apa yang diinginkan dari pedang pusaka itu? Lalu, apa benar pedang ini memiliki tuah yang luar biasa?

"Tuan King.." Cantika bergerak maju semakin mendekat kepada pedang itu. Labeyaume hanya menyaksikan dengan seksama. Perhatiannya hanya kepada gadis kecil yang berada di hadapannya ini. Suatu sensasi aneh memancar dari tubuh mungil yang lemah itu. Apa gadis ini adalah berkah yang besar? "Saya begitu ingin... hidup... di masa yang berdarah itu. Bukan karena apa, tetapi setidaknya saya ingin melihat beberapa pasukan yang telah berjuang mati-matian untuk kemerdekaan negeri ini. Bukan, benua yang indah ini."

Labeyaume hanya tersenyum. Sifat sombongnya tidak lagi mencuat dengan cepat. Dengan cepat rasa jelek itu dia kacaukan balik jauh ke dalam palung hatinya yang gelap. Pria tua itu mencoba berenang ke arah permukaan air yang lebih terang. Menuju matahari, menuju masa depan yang jauh lebih baik demi masa depan TarukoPedang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun