Jika seseorang merasa politik tidak mempengaruhi hidupnya, maka ia salah total. Kita tidak boleh semerta-merta menganggap enteng tentang politik, apalagi dalam kondisi sekarang ini.
F.Rahardi pernah mengatakan bahwa fobia masyarakat banyak terhadap ulat bulu sebenarnya tidak beralasan, karena ulat tidak menimbulkan ancaman serius bagi manusia maupun dalam bidang lain seperti pertanian. Justru, sikap panik berlebihanlah yang merugikan masyarakat. "Ketakutan terhadap ulat bulu sudah cukup serius hingga bisa disebut fobia." Â Manusia sering kali lebih mementingkan penampilan luar dibanding esensi, seperti halnya membenci ulat bulu yang dianggap seram, tetapi mengagumi kupu-kupu yang indah. Penampilan kerap lebih diprioritaskan daripada bagaimana suatu hal berfungsi secara keseluruhan, dan pemikiran tersebut yang membuat seseorang salah kaprah dalam memandang realitas.
Demikian pula hal yang sama terjadi dalam dunia politik, bahwa ada saja kalangan masyarakat yang menganggap remeh hal tersebut. "Banyak kalangan yang menyebut perusakan lingkungan, karut-marut politik, dan krisis ekonomi belakangan ini sebagai dagelan. Kalau ada anggota parlemen dalam sidang paripurna sibuk menonton pornografi, itu sebenarnya tragedi, bukan lelucon."
Sama halnya jika kinerja pemerintah yang kurang hanya semerta-merta ditertawakan. Seharusnya masalah serius seperti polemik pagar laut di pesisir utara Kabupaten Tangerang, Banten, tidak boleh dibiarkan berlarut-larut karena bisa menimbulkan konflik sosial dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap negara. Semrawutnya penanganan kasus ini akan menambah ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah, yang terkesan tutup mata sejak keberadaan pagar laut itu dilaporkan Mei 2023. Pemerintah harus menganggapnya serius. Selain itu, aspek hukum seperti kasus ini pun masih belum jelas hingga sekarang.Â
Lemahnya proses hukum hanya menguatkan anggapan bahwa negara telah kalah di hadapan kepentingan pengusaha yang menjadi dalang praktik ilegal tersebut.
Kondisi seperti ini justru menghadirkan sebuah ironi, mengingatkan kalau tugas pemerintah itu melayani masyarakat sepenuhnya. Akan tetapi, apa yang dilakukan? bahwa pemerintah dan wakil rakyat kerap melanggar aturan yang mereka buat sendiri. Mereka seakan melupakan sumpah jabatan yang dengan tegas menyebutkan, "Bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia..." Kenyataannya, kepentingan rakyat justru dikesampingkan demi kepentingan kelompok tertentu.
Penting diingat kembali bagaimana cita-cita reformasi seharusnya dijalankan. Seperti halnya tuntutan Reformasi 1998 dan identifikasi MPR tahun 2001, masih relevankah dengan kondisi hari ini? Atau justru telah jauh menyimpang? Pertanyaan inilah yang seharusnya menggugah para elite politik untuk berhenti sejenak dan melakukan introspeksi diri.
Apa yang terjadi pada demo buruh di akhir September 2025 menunjukkan bahwa aspek politik, khususnya pemerintahan Indonesia, menjadi perhatian kita semua. "Mereka" yang seenak-enaknya bertindak tanpa berpikir terlebih dahulu justru membawa konsekuensi yang sangat besar, bahkan jauh dari eksistensi bangsa ini. Dengan sewenang-wenangnya banyak nyawa telah dicabut untuk menjunjung kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Motor? 1 tahun kebutuhan sandang? Memang segala hal itu bisa menggantikan hak seseorang untuk hidup? Susah memang, kalau mayoritas sudah lebih mirip "tikus" ketimbang wakil rakyat sejati.
Pertanyaannya hanya satu: Apakah Anda siap?
Seandainya pemerintah lebih transparan, tegas, dan tidak ragu bertindak. Seandainya masih ada banyak orang yang kuat, punya integritas, dan bisa sungguh-sungguh mewakili rakyat. Mungkin saja negara ini bisa terasa lebih baik. Oleh karena itu, tugas kita sebagai rakyat yaitu untuk berani mewujudkannya. Kita perlu menjaga asa, menyalakan kembali semangat persatuan, dan mempercayai bahwa masih ada harapan untuk bangsa ini. Sebab sejarah selalu memberi ruang bagi lahirnya suara-suara jernih yang berani memanggil nurani. Dan mungkin, dari rahim rakyat yang sederhana, akan muncul kembali "muazin bangsa" yang menyerukan kebenaran, menegakkan keadilan, dan mengingatkan kita semua bahwa Indonesia seharusnya ada untuk rakyatnya.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!