“Apa enaknya jadi guru? Itu pekerjaan yang membosankan. Aku tak mau menjadi guru.“ omelnya dalam hati.
               “Permisi kak, Ini pesanannya.“ pelayan restoran menaruh piring-piring yang berisi segumpal nasi dan ayam goreng di atas meja bundar.
               Usai berdoa, mereka langsung menyantap menu yang sudah terhidang di depan mata. Lina terlihat paling rakus antara ketiganya. Ia menyobek saus sachet yang terletak di atas piring dan mengoleskannya ke atas daging ayam goreng yang dilapisi remah-remah garing.          Â
               “Lin, kamu lapar apa cacingan?“ celetuk Shanti.
               “Laparlah. Lagipula, kapan lagi bisa makan kayak begini? Ya gak, Fan?“ tandas Lina.
               Fanny tak menghiraukan perkataan Lina. Ia hanya mengangguk sambil memasukkan kepalan nasi putih ke dalam mulutnya.
               “Ngomong-ngomong, aku bisa menanyakan sesuatu sama kalian berdua, tidak?“ tanya Fanny.
               “Nanya apaan?“
               “Kalian merasakan sesuatu yang aneh dengan kematian Prakoso, Indra dan ayahnya?“
               “Heh, pantang membicarakan orang yang sudah meninggal,“ sahut Lina yang hampir tersedak ketika menyeruput cola cola yang sedang diminumnya.
               “Namanya juga mau minta pendapat, gak bisa disalahkan juga dong. Kalau menurutmu, Shan?“