Mohon tunggu...
Aldo Manalu
Aldo Manalu Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Lelaki kelahiran Bekasi, 11 Maret 1996. Menekuni bidang literasi terkhusus kepenulisan hingga sampai saat kini.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tumbal Arwah Jelangkung - 5

21 Februari 2016   20:38 Diperbarui: 21 Februari 2016   22:07 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Lina menatap cermin yang berada di hadapannya. Ia masih menyisir rambutnya yang basah seusai mandi. Lehernya berputar ke belakang, melihat handphone Samsung yang terus berbunyi di atas ranjang. Ia meninggalkan cermin dan segera mengangkat panggilan masuk.

                “Hallo, Shan,“ sahut Lina.

                “Oh ya, Lin, sudah bersiap-siap belum? Sebentar lagi, aku sampai di rumahmu.“

                “Iya, iya , Aku sedang menyisir rambut. Cepat sedikit ya.“ pungkas Lina sambil mematikan handphone-nya.

Dirinya kembali lagi ke cermin. Berkaca sebentar, menipiskan bedak yang terlalu tebal di pipi. Lina mendekatkan wajahnya sambil menatap lekat bayangan dirinya yang terpantul di cermin. Tak sengaja, saat dia ingin mengusap pipi kanannya, matanya tertuju pada sekelebat bayangan yang berdiri di belakangnya.

Lina membalikkan badannya sekejap. Jantungnya serasa ditarik keluar. Ia melihat sosok perempuan menatapnya garang. Aura kejam begitu kuat menyelimuti wajah pucatnya. Lina bergidik ngeri melihat wujud perempuan itu. Ia bergegas pergi, mengunci pintunya rapat-rapat tanpa peduli apakah sosok itu masih berada di dalam.

Lina merapatkan badannya di depan pintu kamarnya. Desah napasnya tak teratur. Detak jantungnya bereaksi cepat ketika ia melihat sosok wanita misterius yang tiba-tiba berada di kamarnya. Ketika Lina menenangkan dirinya, suara ibu memanggilnya dari ruang tamu.

                “Lina..., ini temanmu sudah datang,“ kata ibu.

                “Iya, bu. Lina akan ke sana.“ sahut Lina. Begitu pikirannya tenang, ia melangkahkan kaki meninggalkan kamarnya.

                Lina sudah tiba di ruang tamu. Ia mendapati Shanti, temannya, sudah menunggu di ruang tamu.

                “Ibu, Lina pergi dulu ya,“ ujar Lina seraya menyalam tangan ibunya.

                “Ya, hati-hati di jalan. Jangan terlalu larut pulang,“

                Lina menganggukkan kepalanya sekali sambil menutup pintu rumah. Ibunya sudah kembali ke dapur, memasak hidangan makan malam.

                “Kamu lama banget sih, Shan. Fanni pasti sudah mengomel di sana. “ ketus Lina.

                “ Kamu ini kayak gak tahu saja, keadaan lalu lintas sekarang. Hampir semua jalan ada operasi zebra. Ya jadi,aku mengambil jalan pintas. Aku ‘kan tidak punya SIM  dan STNK,“

                “Ya sudah. Ayo kita pergi. Tancap gas.“ tandas Lina seraya mengencangkan tali helm yang melingkari kepalanya.

                 Lina sudah mendaratkan bokongnya di atas jok sepeda motor. Shanti melajukan sepeda motornya,menjauhi rumah Lina.

Sofia sibuk menyusun pakaian suaminya ke dalam koper. Esok hari, Hendra akan pergi ke Riau, mengurus surat pindah mereka. Mereka sepakat, akan tinggal di Medan bersama anak perempuan mereka, Melly. Selama ini, mereka terlalu sibuk dengan urusan bisnis dan sekarang mereka ingin menetap permanen. Mereka akan mencari pekerjaan yang tidak terlalu banyak menyita waktu.

                “Bapak, apakah pakaian ini sudah cukup?“

                “Ya, cukup. Lagipula, ayah tidak akan lama di sana.“

Sebelumnya, Sofia ingin ikut dengan suaminya. Ia juga ingin menyampaikan surat pengunduran diri kepada manager-nya. Namun, Hendra bersikeras melarangnya.Ia menyuruh Sofia tetap tinggal di Medan, bersama dengan putri mereka. Ia juga akan sekaligus mengurus surat pengunduran istrinya dari perusahaan tempatnya bekerja.

                “Ma, ayah berharap mama bisa mengerti, kenapa ayah tidak mengizinkan mama ikut—ayah ingin mama menjaga Melly. Walaupun ada mbok Sinda di sini, mungkin bila kamu bersama Melly, kita bisa meringankan beban pikirannya.“

                “Ya, mama mengerti . Semoga ayah bisa menyelesaikan semuanya.“

                Hendra menyunggingkan senyum kecil. Ia cukup senang, hanya dengan sekali penjelasan, istrinya bisa mengerti apa keinginannya.

                “Tapi, jam berapa ayah akan berangkat?“ sela Sofia.

                “Hmm, tunggu sebentar, ayah lihat dahulu tiketnya,“ Hendra berpaling menuju kamarnya. Dari sana, Hendra membawa sebuah lembaran kertas berlogo Garuda Air. Ia menyipitkan matanya, menyorotkan tangannya di atas kertas. Memeriksa tanggal dan jam keberangkatan pesawat yang tertera di tiketnya.

                “Nah, ini dia—Rabu, 11 Maret 2013. Jam 21.00 WIB.” jelasnya.

                “Besok malam?“ tanya Sofia heran.

                “Ya begitulah yang tertera di tiket ini. Yang penting, kita harus berangkat lebih awal. Kau tahu ‘kan, Lubuk Pakam lumayan macet di malam hari.“

                Sofia mengangguk kecil.

                “Tapi ngomong-ngomong, apa menu malam ini, sayang?“

                “Mama masak ikan mas gulai. Apakah bapak sudah lapar?“

                “Kebetulan, perutku sudah keroncongan. Kalau begitu, ayo kita ke meja makan. Sekalian ajak Melly, ma.“ Hendra memalingkan badannya, meninggalkan ruang tamu.

Shanti meletakkan sepeda motornya di depan parkiran sebuah restoran siap saji. Keduanya melepaskan helm yang membungkus kepala mereka. Mereka mendengus napas kecil sambil meletakkan helm di atas jok sepeda motor. Mereka langsung bergegas menarik pintu yang berada di hadapan mereka. Matanya menelusuri setiap meja yang terdapat di dalamnya. Bola matanya menemukan seorang perempuan sedang bertopang dagu sambil mengetuk pelan meja makan.

                “Hei, Fanny!“

                Fanny mengalihkan pandangannya ke sumber suara yang memanggil dirinya. Ia mengamati dua orang perempuan berdiri sambil melambai-lambaikan tangannya. Ternyata, ia mengenali keduanya—Lina dan Shanti. Ia menyuruh kedua temannya  menghampiri meja yang sudah disediakan.

                “Jadi..., kamu sudah lama menunggu di sini?“ tanya Shanti ragu.

                “Lamaaa, banget. Kalian tahu tidak, aku hampir saja berjamurmenunggu kedatangan kalian.“ raut wajah Fanny sedikit kecut.

                “Sorry deh. Lain kali, kami gak bakalan telat kok,“ Lina menepuk pelan pundak temannya. Fanny memejamkan mata sejenak seraya menghela napas pendek.

                “Ngomong-ngomong, di mana makanannya? Aku sudah lapar.“ Shanti menelan ludah kering sambil mengelus perut ratanya.

                “Sabar. Aku baru saja memesannya pada pelayan.“

Sembari menunggu pesanan mereka tiba, Shanti membuka perbincangan hangat di tengah ramainya para pelanggan restoran yang makan di sana. Shanti berbicara tentang cowok-cowok keren yang selalu menjadi bahan obrolan setiap perempuan di sekolahnya. Fanny juga tak mau kalah dengan Shanti. Tapi kalian ini, bukan soal cowok-cowok idola di sekolah mereka, tapi mengenai para guru  yang mengajar di kelas mereka.

Di antara semua guru yang mengajar di kelas mereka masing-masing, hanya satu guru yang berkesan di ingatan Fanny—Pak Sudi. Pak Sudi adalah guru bahasa Inggris favoritnya. Fanny bercerita kalau Pak Sudi adalah guru humoris. Ditambah lagi, cara penyampaian materi yang mudah dimengerti karena diselingi games unik dan banyolan mengocok perut sehingga dirinya yang awalnya tak suka bahasa Inggris menjadi suka.

Lain halnya dengan Lina. Ia hanya menanggapi cerita temannya dengan suara kantuk kecil dari mulutnya. Mau pak Sudi atau guru lain manapun tidak ada yang berkesan di hatinya. Ia beranggapan bahwa guru adalah sosok yang membosankan. Mereka adalah sekumpulan orang yang cuma hanya bisa memberikan materi pelajaran. Menguji anak didiknya dengan soal-soal ujian yang membuat mumet kepala dan terkadang di luar meteri yang sudah dipelajari.

                “Apa enaknya jadi guru? Itu pekerjaan yang membosankan. Aku tak mau menjadi guru.“ omelnya dalam hati.

                “Permisi kak, Ini pesanannya.“ pelayan restoran menaruh piring-piring yang berisi segumpal nasi dan ayam goreng di atas meja bundar.

                Usai berdoa, mereka langsung menyantap menu yang sudah terhidang di depan mata. Lina terlihat paling rakus antara ketiganya. Ia menyobek saus sachet yang terletak di atas piring dan mengoleskannya ke atas daging ayam goreng yang dilapisi remah-remah garing.           

                “Lin, kamu lapar apa cacingan?“ celetuk Shanti.

                “Laparlah. Lagipula, kapan lagi bisa makan kayak begini? Ya gak, Fan?“ tandas Lina.

                Fanny tak menghiraukan perkataan Lina. Ia hanya mengangguk sambil memasukkan kepalan nasi putih ke dalam mulutnya.

                “Ngomong-ngomong, aku bisa menanyakan sesuatu sama kalian berdua, tidak?“ tanya Fanny.

                “Nanya apaan?“

                “Kalian merasakan sesuatu yang aneh dengan kematian Prakoso, Indra dan ayahnya?“

                “Heh, pantang membicarakan orang yang sudah meninggal,“ sahut Lina yang hampir tersedak ketika menyeruput cola cola yang sedang diminumnya.

                “Namanya juga mau minta pendapat, gak bisa disalahkan juga dong. Kalau menurutmu, Shan?“

                “Aku merasakan ada hal aneh. Mungkin kematian mereka itu sudah ada yang merencanakan. Dan kamu juga lihat kan, kematian mereka juga mengenaskan banget.“ urai Shanti.

                “Iya, setuju banget.“ timpal Fanny.

                “Lupakan saja. Lebih baik, habiskan dulu makanan kalian baru kita bisa selfi-an. Gimana?“ pungkas Lina.

                “Ok. Tunggu dulu ya, ini paha ayam belum kuhabiskan.“ ujar Shanti sambil mengunyah daging ayam yang berada digenggamannya.

                Mereka bertiga sama lahapnya menyantap fried chicken dan segumpal nasi yang berada di atas piring mereka. Hanya butuh 10 menit, tak ada sebutir nasi melekat di piring mereka. Tak sedikitpun. Ketiganya tenggelam dalam rasa nikmat dan kenyang yang bertumpuk satu di dalam perut mereka. Mereka beralih menuju kamar mandi, membersihkan tangan dan mulut mereka yang mungkin masih tersisa butiran nasi dan saus tomat.

                Usai menyeka tangan dan mulut mereka, mereka sudah kembali ke meja. Fanny membuka tas lalu mengambil tongsis di dalamnya.

                “This time to selfie.“ ujar Fanny riang.

                Fanny menaruh Smartphone-nya pada pengait, menarik tongsisnya lebih panjang lagi. Berbagai macam pose ditunjukkan di depan Secondary Camera. Tersenyum, merengut, bibir monyong sampai mengancungkan dua jari bertanda peace, semua pose diekspresikan lewat kamera. Ketiganya tertawa puas sambil melihat-lihat hasil jepretan foto mereka. Dan jika masih sempat, hasil foto yang bagus, akan dicuci kemudian diberikan masing-masing satu foto untuk mereka.

                Tak terasa jam tangannya menunjukkan pukul 20.15. Sudah malam rupanya. Baru saja Lina tiba di rumahnya.

                “Makasih ya Shan, buat tumpangannya.“

                “Sama-sama Lin. Oh, jangan lupa mengerjakan pr matematika, kamu gak mau kan sampai dihukum ibu Hesty?“

                “So pasti. Paling kalau gak sanggup, di sekolah, banyak kok yang sudah siap.“ gelak Lina.

                “Anjirr, malas banget kau jadi cewek. Ya sudah, aku mau undur diri dulu, ya. Bye bye.“ Shanty men-stater sepeda motornya lalu memelesat jauh.

                Lina membuka gagang pintu rumahnya dan perlahan masuk. Diletakkan sepatunya, berjalan menuju ruang tamu. Di sana, ibunya fokus menonton sinema India yang akhir-akhir ini sedang populer.

                “Bu, Lina pulang.“

                Salam Lina pun tak dihiraukan ibunya. Tatapannya tak beralih sedikitpun dari layar TV.

                “Hmm, dasar pecinta sinetron.“ omel batin Lina.

                Dengan langkah agak lemah, Lina terus berjalan menuju kamarnya. Sekarang, dia sudah berada di depan pintu kamarnya. Lina tercekat. Ia teringat kejadian tadi siang membuatnya ragu membuka gagang pintu. Dipupuknya keberaniannya menyentuh gagang pintu.

                Tek!

Didorongnya gagang pintu dan terbuka. Tangannya meraba-raba, mencari sakelar lampu kamar. Ditekan tombol itu dan kamar tampak terang benderang. Tema kamar yang didominasi warna orange dan poster boyband–girlband Korea seperti Super Junior, SNSD, Five Generation menempel di dinding. Tak ada sesuatu yang aneh seperti yang dipikirkannya.

Lina menarik bangku yang berada di dekat meja belajarnya. Ia duduk sambil membuka resleting tasnya. Lina mengambil hasil jepretan foto di restoran tadi. Ia mengamati ekspresi teman-temannya di dalam foto. Lina mengacungkan dua jarinya. Fanny menirukan tawa Yao Ming. Dan Shanti, hanya mengulas senyum kecil. Puas diamatinya foto itu, Lina menyimpannya dalam laci mejanya. Kemudian, ia menyalakan lampu sorot, membuka buku pelajaran yang sedari siang sudah diletakkannya di meja.

Namun ia tak menyadari, sebuah siluet hitam pelan-pelan timbul dari foto itu. Mulanya tipis kemudian sedikit tebal, menutupi seluruh permukaan tubuh Shanti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun