Dulu, saya termasuk orang yang meremehkan gejala gangguan kesehatan yang berhubungan dengan pikiran atau psikologi kepada pria.
Menurut saya, laki-laki itu harus mampu menahan beban hidup tanpa harus bercerita kepada siapa pun. Saya sempat mempercayai ini.
Suatu hari saya jatuh sakit. Setelah pemeriksaan medis sana-sini, disimpulkan bahwa saya sakit GERD. Sakit ini diiringi dengan kecemasan atau waswas yang luar biasa.
Nyaris setiap hari saya membayangkan tentang kematian. Kualitas hidup saya menurun ke level yang cukup ekstrem.
Dalam kondisi seperti itu, istri, kakak, papa, dan mama saya memberikan kehangatan cinta dan dukungan yang luar biasa. Hal itu membuat saya merasa tak sendirian, dan kecemasan yang menghantui perlahan memudar.
Selain proses pengobatan, dukungan dari orang-orang terdekat membuat saya merasa nyaman, dan rasa percaya diri pelan-pelan muncul lagi.
Tapi hal tersebut tidak terjadi secara instan. Saya harus membuka diri tentang sakit dan kecemasan berlebihan yang dialami kepada keluarga yang peduli kepada saya.
Awalnya, akal saya menolak. Saya merasa bisa menghadapi semua sendirian. Namun, gejala susah tidur, sesak nafas, dan bayangan kematian yang menghantui itu membuat saya pada akhirnya harus menyatakan segala kegelisahan kepada mereka.
Hikmah lainnya yang sangat positif adalah saya mampu berhenti merokok sejak proses pengobatan GERD ini. Alhamdulillaah.
Oleh karena itu sekarang, saya meyakini bahwa gangguan kesehatan pikiran seperti daddy blues memang ada dan tak boleh dipandang sebelah mata.