Mohon tunggu...
Aris Balu
Aris Balu Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Menulis seputar fiksi dan fantasi || Bajawa, Nusa Tenggara Timur

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cerpen: "Gadis Gagak" Bagian 2 dari 2

17 Maret 2023   02:39 Diperbarui: 17 Maret 2023   13:58 573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Note: Baca bagian satu di (sini)

"Boleh aku duduk disini?" Tanya santos pada gadis yang tengah duduk sendirian menikmati alunan musik.

Gadis itu tersenyum tipis sambil membelai rambutnya kebelakang telinga, "Tentu saja, tuan."

Segera Santos mengambil tempat di samping lalu kembali membaca buku yang dipegangnya, tak menghiraukan si gadis yang menatapnya keheranan. Detik berganti menit, tak satu katapun yang keluar dari mulut Santos untuk membuka percakapan. 

Si gadis memutar jemari karena tak nyaman atas situasi canggung itu. 

"Maaf, tuan. Aku bisa pindah ke meja lain kalau aku mengganggu." Ujarnya sopan.

"Tidak apa-apa. Aku menikmati kesunyian ini. Kau juga menolak ajakan untuk berdansa dan hanya menonton saja. Jadi kita hanya perlu duduk berdua dalam diam, boleh kan?" 

Gadis itu mengecutkan dahi. Sesaat kemudian ia mengangguk lalu menundukan kepala. Gadis itu mengangkat gelas lalu menelan minuman seolah ingin mengusir keganjalan dihatinya. Pria yang aneh. Sejenak matanya terpaku pada buku yang sedang di baca Santos.

"Buku itu lumayan." Ucap si gadis.

Santos menoleh pelan, "Kau tahu buku ini?"

"Aku suka karya-karya Fabian, tuan."

"Oh ya?" Santos menutup buku, pandangannya fokus pada si gadis, "Tapi kenapa lumayan? menurutku buku ini sangat bagus. Apa alasanmu?"

Gadis itu menunduk tersipu, enggan mengutarakan pendapatnya. Namun ketika  melihat Santos yang antusias menunggu, ia memberanikan diri.

"Fabian biasanya sangat peka dengan penderitaan setiap tokoh yang ia tulis. Namun buku itu nampak tidak peduli pada si Madam pemilik rumah merah. Aku tidak merasa kalau Madam Tory pantas diperlakukan seperti binatang hanya karena ia melarang tokoh utama untuk jatuh hati pada pelanggannya."

Santos memegang dagu, " Tapi ia menyebabkan kematian banyak orang setelah konflik di balai kota."

"Itu bukan kesalahannya, tuan. Ia hanya mengikuti perintah si tuan tanah. Tidak ada manusia yang berbuat jahat tanpa alasan. Kematian madam Tory membuktikan kalau Marie si tokoh utama telah membuat kesalahan besar." Ujarnya.

"Dengan mencintai laki-laki itu, Marie menyebabkan perebutan kekuasaan ketika ia mengandung putra dari ahli waris kerajaan, hingga akhirnya kerajaan itu musnah karena perang." Jawab Santos sembari tertawa kecil.

"Benar sekali," gadis itu meletakan gelas diatas meja, lalu punggungnya menjurus penuh semangat ke arah Santos, "Untuk apa Madam Tory mengorbankan dirinya? bukan untuk apa-apa. Marie terlalu egois untuk melihat bahwa ia penyebab jatuhnya kerajaan mereka."  

"Tapi apa menurutmu cinta tidak sepadan dengan itu semua? Marie hanyalah manusia yang bertindak atas keinginannya untuk bahagia. Ia terlalu sederhana untuk berfikir akan nasib orang banyak." Ujar Santos.

"Cinta ditukarkan dengan nyawa orang banyak? maaf, tapi itu sangat menggelikan, tuan." 

Seketika gadis itu sadar bahwa ia terlalu bersemangat berbincang dengan si pria, hingga tubuh mereka sangat berdekatan. Ia menarik kembali tubuhnya dan menunduk malu.  

Santos menatap kagum wanita disampingnya. Ia tidak menyangka bahwa buku bersampul merah ini membuatnya mengenal seorang gadis yang sangat menarik.

 "Itu analisa yang luar biasa. Maaf, tapi aku belum tahu namamu." Ucap Santos sembari memasukan buku ke dalam kantong jasnya.

"Selena Banderas, tuan..."

"Santos Qasillas. Panggil saja aku Santos. Maukah kau berdansa denganku, Selena?"

***

Orkestra menggema megah di ruangan dansa ketika untuk pertama kalinya, sang tuan muda kediaman Qasillas menderapkan kakinya di lantai dansa. Tangan Santos lembut merangkul pinggang Selena, keduanya anggun berputar di tengah lantai dansa bak penari yang telah berlatih bersama selama bertahun-tahun, terikat harmoni kelas atas tanpa cela pada setiap langkah kaki. 

"Kau pandai sekali menari, Selena." Ujar Santos sembari tersenyum ramah pada gadis dalam pelukannya.

"Tuan juga tidak buruk." Jawab gadis itu sembari berputar dibawah lengan Santos, lalu kembali merangkulnya kedepan dan kebelakang.

"Kau tahu," Santos mendekatkan bibirnya ke telinga si gadis, "aku mengenal semua bangsawan di ibukota, bahkan Carlos Banderas. Tapi aku tidak pernah mendengar bahwa ia memiliki anak perempuan, ataupun istri baru. Jadi siapa kau sebenarnya?"

Gadis itu menatap Santos dengan hampa, namun matanya berkaca menunjukan kesedihan. Sejenak langkah tariannya mulai kehilangan harmoni. 

"Memang benar, tuan. Carlos Banderas ialah pamanku. Aku berasal dari desa dan diangkat paman Carlos sebagai anak setelah kematian orang tuaku beberapa bulan lalu karena serangan bandit." 

Santos tertegun melihat kesedihan si gadis, dahinya mengkerut, "Apa nama desamu, Selena?"

"Desa Florina, tuan Santos." Ujarnya sembari menatap Santos setengah menangis.

Tentu saja. Sekeras apapun kita menyembunyikan bangkai, pasti akan tercium juga._ Pikir Santos yang kembali diingatkan oleh kegagalannya di desa Florina.

"Maafkan aku, Selena. Aku tidak bermaksud membuatmu menangis. Belasungkawaku pada keluargamu." Jawab Santos memasang wajah prihatin yang mampu menandingi penampilan aktor panggung sandiwara.

"Tidak apa-apa, Santos. Paman Carlos juga cukup baik untuk menghiburku dan mengajakku kesini. Padahal aku mendengar para pelayan berkata bahwa ia tidak suka pergi ke pesta dansa."

"Senang bisa tahu kalau aku dan pamanmu punya kesamaan." Ujar Santos.

"Kau berbohong, Santos." Sahut Selena sembari melepaskan genggaman si tuan muda, lalu berputar ke kiri dan kekanan mengikuti alunan musik.

"Kenapa kau berkata begitu?"

"Karena tarianmu terlalu sempurna untuk orang yang tidak menyukai pesta dansa. Kau hanya tidak pernah menari dengan orang yang tepat." Jawab Selena kembali tenggelam dalam pelukan si tuan muda, berputar ditengah lantai dansa hingga orkestra berhenti melambungkan melodi, digantikan oleh tepuk tangan meriah dari para bangsawan.

"Mungkin kau benar, Selena." Santos tersenyum, menundukan kepala sebagai tanda hormat pada lawan dansanya.

Sesaat setelah lagu berikutnya dimainkan, Selena menarik tangan Santos meninggalkan ruangan dansa. Mereka menaiki tangga lalu menuju balkon untuk mencari udara segar.  Berbekal minuman di tangan, keduanya tenggelam dalam obrolan hangat nan panjang ditemani cahaya rembulan.

"Lalu Jonas bilang pada ayahku, 'Meski dewa berkenan sekalipun, tuan Santos tidak akan bisa mengayunkan pedang dengan benar. Aku pernah bertemu wanita penghibur dengan genggaman yang lebih kuat dari tuan muda,' begitu katanya." Seru Santos sambil tertawa terbahak-bahak. 

Selena ikut tertawa bukan hanya karena lelucon Santos, tapi karena melihat sisi yang sangat berbeda dari sang tuan muda ketika alkohol mempengaruhinya. Keanggunan dan wibawa yang ia miliki seolah terganti oleh kehangatan seorang kawan lama yang tidak pernah hilang meski terpisahkan oleh waktu.

"Jadi kau tidak belajar ilmu pedang lagi?" Tanya Selena.

"Ayah sudah bosan mencarikanku guru. Lagian aku juga merasa kalau kekerasan tidak cocok untukku. Jadi aku memutuskan untuk mempertajam hal lain selain ujung pedang."

"Seperti apa?"

"Pikiranku.."

Seketika bunyi ledakan terdengar dari lantai bawah. Kaget, Santos berlari menuju tangga untuk melihat apa yang terjadi.  Pintu depan hancur berkeping-keping karena ledakan. Beberapa saat kemudian puluhan orang bersenjata tajam mulai memasuki ruangan dansa. Mereka mengenakan rompi tebal berwarna hitam beserta kain abu-abu yang menutupi wajah.

"Apa itu tadi?" Tanya Selena yang mengikuti Santos dari belakang. Nafasnya tak karuan karena panik.

"Bandit." Aneh. benar-benar aneh_ pikir Santos.

Bandit? menyerang kediaman Qasillas? mereka pasti sudah bosan hidup. Segera Santos merangkul jemari Selena dan menariknya menyeberangi ujung tangga melewati lorong menuju ruangan di sudut rumah.

"Kita harus bersembunyi dulu." Ujarnya.

"Tu..tunggu dulu. bagaimana dengan pamanku?" Selena melepaskan genggaman Santos lalu berhenti berlari, enggan meninggalkan pamannya yang masih berada dibawah.

Sesaat kemudian seorang prajurit berambut uban mendatangi mereka berdua. Ia menggenggam pedang rapier ditangannya, wajahnya dipenuhi kelegahan ketika ia melihat Santos.

"Jonas, Dimana ayahanda?" Tanya Santos pada kapten prajurit keluarga Qasillas. 

"Tuan Qasillas bersama pangeran sudah diamankan di ruang rahasia, tuan muda. Namun karena perintah dari pangeran, tidak ada yang diijinkan masuk ke ruangan itu sebelum keadaan terkendali. Anda harus bersembunyi di ruangan lain,  tuan Santos."

"Bagaimana dengan pasukan bantuan?"

Sang kapten menunjuk kearah balkoni, nampak dua prajurit lain sedang menyalakan kembang api ke langit, memberi tanda bahwa sedang ada serangan dan salah satu anggota kerajaan terlibat didalamnya.

"Baguslah, kalau begitu tidak akan lama lagi bantuan menuju kemari. Kau pergilah kebawah dan jangan coba melawan. Pastikan para tamu menuruti permintaan bandit-bandit itu dan ulur waktu selama mungkin. Aku dan nona Banderas akan bersembunyi di ruangan penyimpanan." Perintah Santos.

"Baiklah, tuan."

Santos berbalik pada Selena yang masih saja terlihat khawatir akan nasib pamannya.

"Pamanmu akan baik-baik saja. Jonas akan menjaganya hingga bantuan datang. Rumah ini selalu aman dari mata elang sebab ia penjaga burung yang handal." Ujar Santos sembari memegang bahu Selena dengan lembut.

Meski ragu-ragu, Selena mengangguk dan bersedia meninggalkan tempat itu menuju ruangan penyimpanan bersama Santos. setelah menelusuri lorong panjang keduanya masuk kedalam pintu sedang di sudut lantai dua. 

Dari luar, tidak ada yang terlihat spesial di ruangan itu. Namun setelah masuk, ruangan itu dipenuhi oleh puluhan koleksi-koleksi berharga. Mulai dari baju zirah berlapis emas, gading dan tulang raksasa hewan purba, senjata-senjata antik, hingga puluhan guci dan pajangan dari negri asing nan jauh yang mengundang mata untuk mengaguminya. 

Disudut ruangan nampak sebuah meja kerja dengan minuman diatasnya. Segera Santos menuangkan minuman dan memberikannya pada Selena.

"Kita aman disini. Jika mereka sampai menerobos kemari, kita bisa melewati jalan rahasia di balik rak buku itu." Ujar Santos sembari menunjuk rak besar berisi ratusan buku di dinding ruangan.

"Trimakasih, Santos." Ucap Selena sembari tersenyum hangat menerima gelas minuman.

Santos membalikan badan, berniat menuangkan satu gelas lagi sebelum benda tajam sedingin es melekat dilehernya. Hal itu sontak membuatnya mengangkat tangan.

"Trimakasih karena sudah membawaku kemari." Ujar Selena datar dengan suara setengah berdesis bak ular derik yang siap menerkam mangsanya. 

"Selena, apa-apaan ini?" 

"Ini pembalasan, tuan muda bajingan! sekarang berikan benda itu." Ujar Selena menjuruskan pisau pembunuh ke leher Santos. Ia melepaskan gaun panjang dipinggangnya, meninggalkan celana hitam dari kulit yang memudahkannya bergerak.

"Aku tidak tahu maksudmu. Ambil saja barang berharga yang ada disini. Tapi tolong biarkan aku hidup." Pintah si tuan muda, suaranya gemetaran.

"Jangan pura-pura bodoh," Pisau menembus kulit leher Santos, darah mengalir membasahi ujung pisau, "Desa Florina hancur lebur karena dirimu, Santos Qasillas. Berikan buku itu padaku." Ujar gadis itu.

Santos terdiam sejenak. Sekarang semuanya jelas. Gadis ini mengincar benda yang paling berharga di ruangan ini. Buku catatan rencana pembangunan yang dirancang dirinya dan sang ayah. 

Buku yang berisi nama, waktu dan tempat operasi gelap yang dijalankan keluarga Qasillas untuk mengontrol harga bahan tambang di kerajaan mereka. Operasi yang membuat para penambang di desa Florina menjadi putus asa dan mencuri dari pemerintah.

"Aku tidak membunuh warga desamu. Kalian tahu kalau menggelapkan hasil tambang adalah perbuatan ilegal." Ujar Santos tak ingin melanjutkan kebohongannya. 

"Mereka tidak akan melakukannya kalau bukan karena harga miring yang kau sebabkan. Berikan buku itu, dan akan ku buat seluruh kerajaan ini mengincar kepalamu!" Pisau Selena menusuk semakin dalam ke leher tuan muda.

"Baiklah, tapi singkirkan dulu pisau ini dari leherku."

Selena memindahkan benda itu ke belakang leher Santos sembari berkata,

"Bertindak macam-macam dan kau akan kubuat lumpuh!"

Santos melangkah menuju sebuah lukisan buah-buahan di belakang meja kerja. Ia membuka lukisan bak jendela, nampak sebuah lebari besi yang terkunci dibalik lukisan tersebut. 

"Harusnya aku sudah bisa menebak,"Santos memutar kombinasi pada lemari itu. "gin dengan perasan jeruk dan ramuan absin, mana ada gadis yang punya selera sepertiku?"

Selena tersenyum,"Kau benar, itu minuman yang menjijikan. Sangat cocok untuk pria menjijikan sepertimu."

"Menyukai karya Fabian, katamu. Gadis mana yang suka membaca tulisan pecundang kesepian seperti dia? Semuanya kau lakukan hanya untuk menjebakku." Seru Santos penuh kekecewaan.

"Jangan banyak bacot, berikan saja buku itu!" perintah Selena tak ingin mendengarkan keluhan pria didepannya.

 Beberapa saat kemudian, Santos mengeluarkan buku bersampul hijau yang masih tersegel dari dalam lemari, lalu berbalik menghadap Selena. 

 "Kau benar-benar gagak yang licik, Selena. Untung saja aku punya pemburu yang handal." Santos tersenyum licik.

Secepat kilat, Selena meloncat kesamping menghindari ayunan rapier kapten Jonas. Pria paruh baya itu menebas dengan bengis kearah si gadis yang hanya bisa menghindar.

"Kenapa lama sekali, Jonas? aku kira kau sudah lupa akan kode yang kuberikan." Protes si tuan muda.

Sebelum masuk ke ruangan ini, Santos mengatakan "mata elang" yang berarti ada mata-mata yang berada didekatnya. Sejak awal ia sudah menduga kalau gadis itu punya maksud tertentu. Sekarang Santos hanya perlu tahu siapa yang mengirimnya.

"Jangan lukai dia terlalu parah, Jonas. Masih ada yang ingin kutanyakan." Ujar Santos.

Akan tetapi tidaklah mudah bagi sang kapten untuk menyerang si gadis. Usia yang lebih mudah membuat Selena dapat bermanuver secara cepat. Sejenak gadis itu mundur menuju puluhan senjata antik yang dipajang di dinding. 

Ia mengambil dua buah belatih kembar dan kini gilirannya menyerang balik telah datang. Dengan cekatan Selena menarikan tarian belatih yang tidak mampu di tandingi oleh Jonas. Santos tenggelam dalam kekaguman pada kelihaian sang gadis memainkan senjata hingga lupa bahwa kaptennya sedang berada dalam bahaya.

Terbawa emosi karena hanya bisa bertahan, Jonas mengayunkan rapier dengan keras hingga menggenai sebuah tiang kayu, membuat pedang yang dipegangnya tersangkut tak bisa dilepaskan. Jonas mundur beberapa langkah ketika belatih elena mendekatinya. Ia mengeram kesakitan saat belatih beradu dengan baju zirahnya, hingga akhirnya Jonas hanya bisa berlutut tak kuasa menahan serangan demi serangan dari Selena. 

"Tunggu dulu!" Seru Santos menghentikan ayunan belatih Selena kearah kepala Jonas, "Ambil buku ini, jangan bunuh anak buahku." Ia mengulurkan buku bersampul hijau pada Selena.

Gadis itu menendang Jonas dengan keras hingga menghempaskan sang kapten pada pajangan antik di sudut ruangan. Selang beberapa saat, suara pasukan bantuan terdengar di bawah. 

Secepat kilat Selena merebut buku itu dari tangan Santos. Ia memecahkan jendela ruangan, berniat untuk melompat kebawah. 

"Selena!" Santos kembali berseru.

Gadis itu menoleh kearahnya.

"Bisakah kita bertemu lagi? Aku masih ingin berdansa denganmu."

Selena menatapnya keheranan, tak kuasa menghadirkan penjelasan masuk akal akan permintaan itu.

"Aku bisa saja membunuhmu hari ini. Tapi lebih baik kusebarkan isi buku ini pada musuh-musuhmu, Qasillas. Jika kau masih hidup pada saat itu, aku akan datang dan membunuhmu dengan tanganku sendiri."

Gadis itu meloncat dari jendela lalu menghilang ditelan kegelapan malam.

"Aku menantikannya." Ucap Santos sambil tersenyum.

Si tuan muda membangunkan Jonas dari balik pecahan keramik antik yang berserakan di ruangan penyimpanan. Ia memangku pria itu menuju pintu keluar ketika mendengar terompet pasukan kerajaan dari lantai bawah berkumandang, tanda bahwa para bandit sudah diamankan. Sang kapten bergerutuh karena tak terima dikalahkan oleh seorang gadis.

"Jika ada yang bertanya, bilang kalau sepuluh bandit menyerangku bersamaan. Paham kau, Santos?" Perintah kapten Jonas.

Belum sempat Santos menjawab, pintu ruangan itu  didobrak oleh dua prajurit beserta ayahanda yang menerobos masuk kedalam.

"Santos! kau tidak apa-apa? Apa yang terjadi, nak?" Tanya sang ayah sembari memegang-megang wajah putranya, mencari bekas luka yang mungkin tertinggal.

"Aku menemukannya, yah" Jawab Santos, senyuman berseri di wajahnya.

"Apa maksudmu, nak?"

Jonas memutar kedua bola matanya, menebak omong kosong yang akan keluar dari mulut Santos,"Lupakan saja, tuan muda."

Santos menatap sang ayah, matanya berbinar penuh harapan akan sebuah mimpi yang berakar dari perasaan semu sesaat, atau mungkin cinta yang selama ini didambakan oleh hati dinginnya.

"Calon istriku, sudah kutemukan."Ujarnya.

***

Selena memasuki kereta kuda yang menunggunya di pinggir jalan gelap. Setelah keluar dari kediaman Qasillas, ia segera pergi ke jalanan sunyi ini sesuai perjanjian. Transaksi akan dilakukan di dalam kereta ini, lalu ia akan keluar seperti tidak pernah terjadi apa-apa. 

"Sudah kau dapatkan bukunya?" Ujar suara dari samping tempat duduk kereta tersebut. Kurangnya lampu jalan yang menerangi membuat wajah orang itu terselubung gelap malam.

"Sesuai perjanjian." Selena memberikan buku bersampul hijau itu pada si pria.

Pria itu membuka dan membaca isi buku. Ia tertegun lalu menatap Selena dengan tajam, tatapan yang mampu memotong kegelapan malam.

"Lelucon macam apa ini, gadis gagak?"

Ia mengembalikan buku itu pada Selena yang kebingungan. Gadis itu membuka buku, lalu terkejut saat membaca tulisan yang berbunyi "Daun Merah" karya Fabian Morinho. Apa? tidak mungkin, bagaimana bis_

Seketika Selena teringat akan kekacauan di ruang penyimpanan. Santos pasti menukar sampul buku yang asli dengan buku cerita yang di bacanya saat Selena sedang bertarung dengan si kapten. Dasar tuan muda berengsek!

"Sepertinya aku membuat kesalahan. Tapi jangan khawatir akan kuperbaiki." Ujar selena was-was.

Pria itu menarik nafas panjang, "Dalam pekerjaan kita, tidak ada kesempatan kedua."

Jantung si gadis berdegup kencang, segera ia berusaha membuka pintu kereta.

Sang pria mengeluarkan sebuah benda dari balik jasnya, "Kesalahan berarti kematian."

Tamat?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun