Pada merah, kita tidak perlu berdebat. Kita amankan, hubungi pihak sekolah yang berwenang; untuk sekolah, informasikan kepada orang tua dengan empatik dan jelas; rujuk tenaga profesional, dan menindaklanjutinya dalam satu kali 48 jam. Kerahasiaan penting, tetapi keselamatan lebih penting daripada apa pun. Peta ini tidak membuat kita kaku; ia membuat kita sigap.
Agar peta bergerak, bahasa kita perlu lembut dan tegas sekaligus. Lembut pada manusia, tegas pada perilaku. Alih-alih “Kamu lebay,” kita memilih, “Perasaanmu valid, mari kita susun langkah kecil.” Alih-alih “Zaman Ibu dulu…,” kita mengatakan, “Aku tidak akan membandingkanmu dengan siapa pun. Kita fokus pada yang bisa kita ubah minggu ini.” Bahasa seperti ini bukan kosmetik; ia membangun jembatan dari rasa malu menuju keberanian.
Dalam jangka panjang, kalimat yang menenangkan memberi anak kemampuan menenangkan dirinya sendiri, sebuah keterampilan hidup yang lebih berharga dari seribu nasihat.
Kolaborasi sekolah–rumah menjadi urat nadi. Wali kelas bukan polisi nilai; orang tua bukan hakim harian. Keduanya mitra yang saling memberi konteks.
Ketika sekolah menyusun beban tugas yang tidak menumpuk di satu pekan, rumah menyiapkan ritual tidur yang damai. Ketika rumah menjaga higienitas digital, sekolah menyediakan ruang curhat aman. Ketika guru konseling membuat rencana sederhana, misalnya “empat malam tidur sebelum pukul 22.30, gawai berhenti pukul 21.00, dua putaran belajar fokus per hari, evaluasi “Jumat”, orang tua tidak merusaknya dengan komentar sinis, melainkan merayakan tiga malam yang berhasil dan membantu mencari sebab untuk satu malam yang meleset. Begini cara kita mengajari anak membangun ulang kepercayaan pada dirinya: bukti kecil, berulang, dirayakan tanpa perlu lebay.
Katakanlah, Fulan, kelas XI turun. Malam-malamnya habis untuk mengelus kegelisahan, bukan mengelus halaman buku. Wali kelas menemuinya tanpa nada sidang. “Saya lihat kamu lelah. Bagian mana yang paling berat?” Mereka tidak mengejar pengakuan; mereka mencari pintu. Setelah pintu ditemukan, rencana ringan disepakati.
Jumat tiba, hasilnya tidak sempurna: tiga malam berhasil tidur cepat, satu malam gagal. Namun dari mulut Fulan keluar kalimat yang jarang muncul: “Aku tidak takut sebanyak yang kemarin.” Kalimat ini mungkin tampak biasa, tetapi justru di situlah perubahan dimulai, ketika rasa takut tidak lagi menjadi faktor utama. Dari momen seperti ini, langkah-langkah lain jadi mungkin.
Rumitkah semuanya ini? Tidak, yang rumit itu justru adalah menunda. Kebiasaan kecil selalu lebih murah dari air mata penyesalan. Check-in 90 detik, laporan dua baris, ritual 10 menit sebelum tidur, di atas kertas tampak sepele, namun di lapangan menjadi pagar tak terlihat yang melindungi taman. Bukan pagar yang membatasi, melainkan pagar yang menjaga agar bunga masih sempat tumbuh sebelum diinjak kejamnya dunia.
Pada akhirnya, remaja putri kita tidak menuntut dunia yang selalu adil. Mereka hanya butuh satu orang dewasa yang hadir. Seseorang yang tidak selalu punya jawaban, tetapi mau berjalan bersama mencari. Seseorang yang tahu kapan bertanya, kapan berdiam, kapan memeluk, dan kapan merujuk. Kesehatan mental bukan medali atau piala, melainkan kebiasaan yang dirawat, dari kelas yang memberi jeda, dari rumah yang meredupkan lampu, dari percakapan yang tidak menilai, dari rencana kecil yang realistis.
Jika suatu hari mereka berdiri di depan cermin, semoga yang tampak bukan hakim, melainkan sahabat: diri mereka sendiri yang sedang tumbuh. Jika suatu malam mereka menatap layar, semoga yang muncul bukan standar palsu kosmetik yang bernama social media, melainkan proses jujur yang mereka rawat. Dan jika suatu pagi mereka melangkah menuju sekolah, semoga mereka tahu: apa pun yang terjadi, ada orang-orang yang menunggu untuk mendengar, bukan mengadili; untuk memahami, bukan membandingkan; untuk membersamai, bukan mengendalikan. Di situlah pendidikan menemukan maknanya, bukan sekadar mengisi kepala, melainkan menjaga hati agar selalu punya peta pulang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI