Mohon tunggu...
Ari Rosandi
Ari Rosandi Mohon Tunggu... Pemungut Semangat

Menulis adalah keterampilan, mengisinya dengan sesuatu yang bermakna adalah keniscayaan

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Guru, Orangtua, dan Peta Pulang: Cara Sederhana Menjadi Teman Remaja Putri

20 September 2025   10:03 Diperbarui: 20 September 2025   14:03 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI: Orangtua dan anak | KOMPAS/ADRYAN YOGA PARAMADWYA


Di koridor sekolah yang riuh, kita sering melihat senyum anak-anak remaja putri yang rapi dan langkah yang seolah mantap. Namun di balik itu semua, jarang kita ketahui ada tugas yang menumpuk, notifikasi yang tak pernah berhenti, cermin yang cerewet, komentar teman yang menancap ke hulu hati, serta standar nilai dan kecantikan yang saling berebut kursi di kepala yang masih dalam masa bertumbuh mereka. 

Remaja putri tidak sedang mencari jalan pintas menuju “sempurna”; mereka sedang belajar pulang, pulang ke dirinya sendiri. Dan kita, orang dewasa, bukan tukang yang selalu memberikan komando, melainkan penunjuk jalan yang sabar. Tugas kita bagi mereka bukan menyelamatkan, melainkan menemani.

Kita sering terjebak pada naluri memperbaiki dalam hitungan cepat, memberi ceramah lima menit agar semua beres. Padahal jiwa remaja tidak lahir dari ceramah singkat karena ia tumbuh dari pengalaman didengar tanpa dihakimi. Perhatikan pintu yang macet engselnya. Semakin kita dorong, akan semakin seret.

Namun ketika kita berkata, “Terima kasih kamu sudah mau cerita,” tiba-tiba pintu itu melunak.

Kalimat sesederhana itu sudah bisa membuat ruang nyaman dan di dalam ruang itulah percakapan bisa terus berjalan.  Dari sana barulah pertanyaan-pertanyaan tulus menemukan tempatnya: “Bagian mana yang paling berat minggu ini,  Nak? pelajaran, teman, atau rumah?” 

Ketika rasa aman hadir, strategi tidak lagi terdengar seperti titah. Ia terdengar seperti uluran tangan. 

Di titik inilah penting bagi kita memahami kebutuhan inti yang hampir selalu hadir di usia remaja masa SMA: ingin didengar, ingin aman dari ejekan dan gosip, ingin diterima bukan hanya karena prestasi, ingin merasa miliki kemampuan, ingin punya suara atas keputusan diri, dan ingin menemukan makna.

Enam kebutuhan ini bukan teori di kepala; ia terasa pada bahu yang turun ketika ada yang mengangguk, pada napas yang melambat ketika seseorang berkata, “Perasaanmu valid.” Jika kebutuhan ini menyala, kecemasan bukan hilang, tetapi punya ruang. Dan ketika kecemasan punya ruang, ia berhenti merebut panggung.

Dua hal yang sering menjadi panggung yang paling bising: cermin dan layar.

Cermin seharusnya benda netral, tapi bisa berubah menjadi hakim tanpa ampun. Layar seharusnya menjadi jendela informasi, tapi sering jadi pengeras suara dengan visual yang tidak manusiawi. 

Berhadapan dengan keduanya, kita tidak sedang berperang; kita sedang menata. Kita mengajak putri-putri kita mengurasi beranda media sosial layaknya menata taman: cabut gulma yang membuat hati kecut, tanamlah akun yang menumbuhkan keterampilan, ilmu, dan empati. 

Dorong mereka mengunggah proses, bukan hanya hasil; karya, bukan semata rupa. Selanjutnya cobalah sepakati jam hening: enam puluh sampai sembilan puluh menit sebelum tidur, gawai beristirahat di luar kamar. 

Tidak ada kebijaksanaan lahir dari mata yang terlalu lelah. Kebiasaan kecil ini bukan sekadar “aturan rumah”, melainkan bentuk hormat kepada otak dan jiwa anak-anak remaja yang butuh jeda.

Di sekolah, kebiasaan kecil yang konsisten adalah pupuk yang menyuburkan. Senin pagi dimulai dengan check-in singkat: para siswi menandai suasana hati, hijau, kuning, atau merah tanpa harus membongkarnya dengan cerita di depan kelas. 

Guru membaca pola, bukan menguliti pribadi para siswi. Bisa dicoba dengan cara sebelum kuis pelajaran ada jeda 90 detik: mereka menarik napas empat hitungan, menahan empat, mengembus enam. Otot menurun, kepala kembali ke kursinya. 

Bayangkan setiap Jumat, wali kelas mengirim “dua baris” tulisan kepada orang tua: satu bercerita kemajuan kecil yang perlu dirayakan, satu lagi saran lembut untuk pekan depan. Inilah jembatan yang membuat rumah dan sekolah tidak saling menerka. Bukan tembok, melainkan lintasan pulang-pergi yang sehat.

Belajar yang sehat tidak identik dengan belajar yang sempurna. Perfeksionisme sering tampak gagah, tetapi diam-diam mencuri tidur dan percaya diri. Ajari ritme yang manusiawi: bekerja dalam putaran pendek yang fokus, istirahat sebentar untuk menata napas, kembali lagi dengan kepala yang utuh. Ajari juga seni menyusun beban: satu tugas besar yang dipecah masuk akal, beberapa tugas sedang, dan pekerjaan kecil yang menyalakan rasa “jadi”. Rayakan konsistensi lebih dari sekedar puncak; proses lebih dari dari sekedar medali atau trofi. 

Jangan lupa kenali tubuh: ada pekan energi rendah, di sana review dan perawatan diri yang menjadi prioritas; ada pekan energi tinggi, di situlah tugas kreatif dan menantang diselesaikan. Kecerdasan bukan sekadar angka; ia adalah kemampuan membaca diri dan memelihara tenaga.

Di wilayah pertemanan dan pubertas, kita mengajak mereka memelihara batas yang sehat. Tidak semua pesan wajib dibalas cepat; tidak semua rahasia teman harus dipikul sendirian. Kata “Tidak” yang diucap dengan tenang adalah vitamin, bukan duri. Jika ada relasi yang lebih sering menyisakan sesak ketimbang lega, kita menormalisasi minta tolong ke guru BK, wali kelas, atau orang tua. Itu bukan tanda lemah, itu tanda tahu pintu mana yang harus diketuk. 

Sekolah pun menyiapkan panggung keberanian yang realistis: simulasi singkat menanggapi body shaminggosip, atau silent treatment, agar ketika panggung nyata datang, kalimat tanggapan sudah punya ototnya.

Namun kita juga perlu peta. Bukan untuk menakut-nakuti, melainkan agar tidak panik ketika kabut masalah datang. Peta itu sederhana: lampu hijau, kuning, dan merah. 

Hijau berarti cukup dukungan sehari-hari, mungkin ada perubahan tidur, nilai menurun tipis, atau mudah tersinggung. Kuning berarti kita mendekat: bolos sekolah mulai tampak, cara berbicara pada diri sendiri kian kejam, unggahan bernada putus asa, atau konflik sosial berulang. Merah berarti prioritas tunggal yang artinya adalah keselamatan: ucapan atau percobaan menyakiti diri, gangguan makan yang berat, kekerasan, penyalahgunaan zat. 

Pada merah, kita tidak perlu berdebat. Kita amankan, hubungi pihak sekolah yang berwenang; untuk sekolah, informasikan kepada orang tua dengan empatik dan jelas; rujuk tenaga profesional, dan menindaklanjutinya dalam satu kali 48 jam. Kerahasiaan penting, tetapi keselamatan lebih penting daripada apa pun. Peta ini tidak membuat kita kaku; ia membuat kita sigap.

Agar peta bergerak, bahasa kita perlu lembut dan tegas sekaligus. Lembut pada manusia, tegas pada perilaku. Alih-alih “Kamu lebay,” kita memilih, “Perasaanmu valid, mari kita susun langkah kecil.” Alih-alih “Zaman Ibu dulu…,” kita mengatakan, “Aku tidak akan membandingkanmu dengan siapa pun. Kita fokus pada yang bisa kita ubah minggu ini.” Bahasa seperti ini bukan kosmetik; ia membangun jembatan dari rasa malu menuju keberanian. 

Dalam jangka panjang, kalimat yang menenangkan memberi anak kemampuan menenangkan dirinya sendiri, sebuah keterampilan hidup yang lebih berharga dari seribu nasihat.

Kolaborasi sekolah–rumah menjadi urat nadi. Wali kelas bukan polisi nilai; orang tua bukan hakim harian. Keduanya mitra yang saling memberi konteks. 

Ketika sekolah menyusun beban tugas yang tidak menumpuk di satu pekan, rumah menyiapkan ritual tidur yang damai. Ketika rumah menjaga higienitas digital, sekolah menyediakan ruang curhat aman. Ketika guru konseling membuat rencana sederhana, misalnya “empat malam tidur sebelum pukul 22.30, gawai berhenti pukul 21.00, dua putaran belajar fokus per hari, evaluasi “Jumat”, orang tua tidak merusaknya dengan komentar sinis, melainkan merayakan tiga malam yang berhasil dan membantu mencari sebab untuk satu malam yang meleset. Begini cara kita mengajari anak membangun ulang kepercayaan pada dirinya: bukti kecil, berulang, dirayakan tanpa perlu lebay.

Katakanlah, Fulan, kelas XI turun. Malam-malamnya habis untuk mengelus kegelisahan, bukan mengelus halaman buku. Wali kelas menemuinya tanpa nada sidang. “Saya lihat kamu lelah. Bagian mana yang paling berat?” Mereka tidak mengejar pengakuan; mereka mencari pintu. Setelah pintu ditemukan, rencana ringan disepakati. 

Jumat tiba, hasilnya tidak sempurna: tiga malam berhasil tidur cepat, satu malam gagal. Namun dari mulut Fulan keluar kalimat yang jarang muncul: “Aku tidak takut sebanyak yang kemarin.” Kalimat ini mungkin tampak biasa, tetapi justru di situlah perubahan dimulai, ketika rasa takut tidak lagi menjadi faktor utama. Dari momen seperti ini, langkah-langkah lain jadi mungkin.

Rumitkah semuanya ini? Tidak, yang rumit itu justru adalah menunda. Kebiasaan kecil selalu lebih murah dari air mata penyesalan. Check-in 90 detik, laporan dua baris, ritual 10 menit sebelum tidur, di atas kertas tampak sepele, namun di lapangan menjadi pagar tak terlihat yang melindungi taman. Bukan pagar yang membatasi, melainkan pagar yang menjaga agar bunga masih sempat tumbuh sebelum diinjak kejamnya dunia.

Pada akhirnya, remaja putri kita tidak menuntut dunia yang selalu adil. Mereka hanya butuh satu orang dewasa yang hadir. Seseorang yang tidak selalu punya jawaban, tetapi mau berjalan bersama mencari. Seseorang yang tahu kapan bertanya, kapan berdiam, kapan memeluk, dan kapan merujuk. Kesehatan mental bukan medali atau piala, melainkan kebiasaan yang dirawat, dari kelas yang memberi jeda, dari rumah yang meredupkan lampu, dari percakapan yang tidak menilai, dari rencana kecil yang realistis.

Jika suatu hari mereka berdiri di depan cermin, semoga yang tampak bukan hakim, melainkan sahabat: diri mereka sendiri yang sedang tumbuh. Jika suatu malam mereka menatap layar, semoga yang muncul bukan standar palsu kosmetik yang bernama social media, melainkan proses jujur yang mereka rawat. Dan jika suatu pagi mereka melangkah menuju sekolah, semoga mereka tahu: apa pun yang terjadi, ada orang-orang yang menunggu untuk mendengar, bukan mengadili; untuk memahami, bukan membandingkan; untuk membersamai, bukan mengendalikan. Di situlah pendidikan menemukan maknanya, bukan sekadar mengisi kepala, melainkan menjaga hati agar selalu punya peta pulang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun