Di tengah dentuman genderang persaingan geopolitik antara adidaya global, Asia Tenggara berdiri di ambang pertanyaan eksistensial. Kawasan yang kaya akan sumber daya dan jalur maritim vital ini, yang diwakili oleh perhimpunan bangsa-bangsa ASEAN, kini menjadi cawan perebutan pengaruh antara Washington dan Beijing. Akankah ASEAN mampu mempertahankan kemudi otonominya di tengah gelombang besar ini, atau justru terhempas dalam pusaran kepentingan asing? Dilema ini bukan lagi sekadar wacana akademis, melainkan realitas yang menguji kohesi dan relevansi sebuah organisasi regional yang selama ini menjadi jangkar stabilitas.
Asia Tenggara: Cawan Perebutan Pengaruh di Abad ke-21
Abad ke-21 telah melahirkan pergeseran kekuatan yang tak terelakkan, terutama dengan kebangkitan Tiongkok yang menantang hegemoni Amerika Serikat. Secara geografis dan strategis, Asia Tenggara bak medan magnet raksasa yang menarik kedua kutub kekuatan ini. Amerika Serikat, dengan jaring aliansi keamanan yang sudah mengakar dan komitmen pada tatanan berbasis aturan, berupaya keras menjaga keseimbangan di kawasan. Sementara itu, Tiongkok, dengan kekuatan ekonomi dan militer yang membengkak, secara agresif memperluas jejaknya melalui inisiatif ambisius seperti Belt and Road Initiative (BRI) dan klaimnya yang tak bergeming di Laut Cina Selatan. Perebutan pengaruh ini tak hanya tercermin dalam manuver militer, tetapi juga meresap dalam diplomasi ekonomi, bantuan pembangunan, hingga perang narasi di berbagai forum.
Jejak Perpecahan Internal di Tengah Badai Eksternal
Tarikan dua kutub kekuatan ini tak jarang menempatkan negara-negara anggota ASEAN pada posisi yang serba salah. Mereka dipaksa memilih atau setidaknya menyeimbangkan hubungan dengan kedua adidaya, sebuah kondisi yang memicu ketegangan internal di dalam ASEAN itu sendiri, mengingat beragamnya kepentingan dan orientasi kebijakan luar negeri di antara anggotanya. Misalnya, negara-negara yang terlibat dalam sengketa wilayah di Laut Cina Selatan dengan Tiongkok mungkin cenderung mencari dukungan dari Amerika Serikat, sementara negara-negara lain yang sangat bergantung pada investasi Tiongkok (seperti Laos atau Kamboja yang kian merapat ke BRI) mungkin lebih berhati-hati dalam setiap langkah diplomatiknya.
Dilema ASEAN tak hanya bersumber dari tekanan eksternal, melainkan juga berakar pada tantangan internalnya. Prinsip konsensus dan non-intervensi, yang sering disebut "Cara ASEAN", meski esensial untuk menjaga persatuan di antara anggota yang beragam, terkadang justru menjadi penghalang respons cepat dan tegas terhadap isu-isu krusial. Contoh paling mutakhir adalah krisis Myanmar pasca-kudeta 2021; perbedaan pandangan di antara anggota ASEAN menyebabkan respons yang lambat dan terfragmentasi, bahkan membuat upaya Ketua ASEAN untuk terlibat langsung dalam mediasi terasa mandek. Demikian pula, isu sengketa Laut Cina Selatan sering kali memunculkan kelumpuhan atau pernyataan yang kurang kuat karena sulitnya mencapai suara bulat di antara anggota.
Secara eksternal, meskipun ASEAN telah berhasil membangun berbagai mekanisme dialog dan kerja sama dengan kekuatan besar melalui forum-forum seperti ASEAN Regional Forum (ARF), East Asia Summit (EAS), dan ASEAN Plus Three, efektivitas forum-forum ini dalam mengelola persaingan kekuatan masih menjadi pertanyaan besar. Kerap kali, kekuatan besar justru memanfaatkan forum-forum ini untuk memajukan agenda mereka sendiri, alih-alih benar-benar memperkuat sentralitas ASEAN. Inilah mengapa ASEAN harus lebih berani dan proaktif dalam membentuk agenda serta narasi dalam forum-forum tersebut.
Merajut Strategi: Fondasi Ketahanan ASEAN di Panggung Global
Untuk tidak hanya bertahan, tetapi juga berdaya di tengah arena perebutan pengaruh global, ASEAN perlu mengadopsi strategi multifaset yang berfokus pada penguatan internal dan diplomasi eksternal yang cerdas dan adaptif.
Pertama, Memperkuat Kohesi Internal dan Identitas Bersama adalah langkah fundamental. ASEAN harus terus berupaya memperdalam integrasi ekonomi dan sosial di antara anggotanya. Semakin kuat ikatan internal, semakin besar pula kemampuan ASEAN untuk berbicara dengan satu suara di hadapan dunia, dan pada gilirannya, menolak upaya eksternal untuk memecah belah. Pengembangan identitas regional yang kokoh dapat menjadi fondasi bagi solidaritas politik yang tak tergoyahkan.