Mohon tunggu...
arie febstyo
arie febstyo Mohon Tunggu...

Penggemar Malam

Selanjutnya

Tutup

Money

Angan Swasembada Pangan

24 Desember 2013   12:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:32 1736
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konsumsi kedelai yang tinggi pada masyarakat Indonesia yang disikapi oleh Pemerintah dengan mengimpor komoditas tersebut, tampaknya tak sejalan dengan kondisi secara global. Data statistik menunjukkan bahwa produksi dan konsumsi selama 20 tahun terakhir berfluktuasi. Dalam dua dekade, produksi kedelai cenderung mengalami penurunan rata-rata 5 % per tahun, sementara konsumsi cenderung meningkat perlahan rata-rata 0,1 % per tahun. Sejak tahun 2000, produksi kedelai kurang dari 1 juta ton per tahun, sedangkan konsumsinya berfluktuasi antara 1,8 – 2,6 juta ton. Akibatnya defisit kedelai terus meningkat. Selama periode 1990–2010, produksi kedelai tertinggi terjadi di tahun 1992 yakni 1,87 juta ton, sedangkan produksi terendah berlangsung pada tahun 2007 yang hanya mencapai 593 ribu ton.

Di lain pihak, tingkat konsumsi terjadi pada tahun 1999 yang mencapai 2,96 juta ton, dan terendah terjadi pada tahun 1998 sebesar 1,65 juta ton. Tahun 2010 Indonesia mengalami defisit kedelai tertinggi, yaitu 1,76 juta ton. Sedangkan pada tahun 1998, harga kedelai impor melambung akibat nilai tukar dollar Amerika terhadap rupiah melonjak, sehingga volume impor kedelai menurun. Hal ini secara otomatis mengurangi ketersediaan kedelai di dalam negeri untuk kebutuhan bahan pangan dan pakan.

Selama periode 1990-1995, total konsumsi kedelai menurun rata-rata sebesar 1,5% per tahun, sementara produksi meningkat rata-rata 1,5% per tahun. Pada periode 1992-2000 konsumsi kedelai naik rata-rata 1% per tahun, sedangkan produksi justru turun drastis rata-rata sebesar 8,1% pertahun. Peningkatan konsumsi ini disebabkan oleh pertambahan jumlah penduduk. Dari tahun 2000-2005, baik konsumsi dan produksi menurun, masing-masing dengan laju rata-rata 3,6% pertahun dan 4,4% per tahun. Tingginya penurunan produksi relatif terhadap konsumsi berimplikasi bahwa Indonesia menghadapi defisit yang makin besar.

Dalam hal kedelai untuk memenuhi konsumsi nasional sebesar 2,7 juta ton sebagai bahan baku tahu, tempe, tauco dan kecap serta 1,5 juta ton bungkil kedelai untuk bahan baku pakan, maka dengan tingkat produktivitas kedelai nasional yang rata-rata 13,5 ku/ha diperlukan luas panen sebanyak 3,1 juta ha.

Oleh karena itu, untuk mencapai swasembada kedelai setidaknya diperlukan penambahan areal tanam kedelai 2,4 juta ha, serta penggunaan benih varietas unggul yang sesuai dengan jenis lahan, guna mencapai target swasembada produksi 2014. Kecenderungan stagnasi luas panen dan penurunan jumlah benih kedelai selama 1990-2009 mencerminkan kurang adanya konsistensi kebijakan untuk meningkatkan produksi kedelai.

Perdagangan Internasional Kedelai

Berdasarkan data luas panen kedelai di dunia, Indonesia merupakan negara dengan panen terbesar ketujuh dengan kontribusi 1% dari total luas panen kedelai dunia. Sekitar 90% luas panen kedelai di dunia hanya tersebar di lima negara produsen utama, yaitu Amerika Serikat (31%), Brazil (22%), Argentina (17%), China (10%), dan India (9%). Sisanya 10% tersebar di 98 negara yang memproduksi kedelai termasuk Indonesia. Produksi kedelai dunia 92% dipasok oleh 5 produsen besar kedelai, sedangkan kontribusi Indonesia sangat rendah yakni hanya 0,4% dari total produksi dunia. AS mendominasi produksi dengan kontribusi 41%, disusul Brazil 26%, Argentina 14%, china 7%, dan India 5%. Kecilnya kontribusi Indonesia terhadap produksi kedelai dunia, salah satunya disebabkan tingkat produktivitas rata-rata yang jauh lebih rendah dari rata-rata produktivitas dunia yang mencapai 2,2 ton/ha. Artinya produktivitas kedelai Indonesia, 40% di bawah rata-rata dunia. Produktivitas kedelai tertinggi ditunjukkan oleh Mesir sebesar 3,7 ton/ha atau 64% di atas produktivitas dunia. Selanjutnya adalah Turki yang mencapai 2,6 ton/ha atau 63% di atas produktivitas dunia, disusul Italia 3,5 ton/ha (55% di atas produktivitas dunia), Swiss 2,7 ton/ha dan Guatemala 2,6 ton/ha (21% dan 18% di atas produktivitas dunia).

Kecilnya kontribusi Indonesia dalam produksi kedelai internasional membuat negara agraris ini tidak berperan aktif sebagai eksportir kedelai dunia. Meskipun demikian, Indonesia melakukan ekspor dalam jumlah kecil (446 ton) pada tahun 2009. Negara eksportir utama kedelai adalah AS (50%), Brazil (35%), Argentina (5%), Paraguay (3%) dan Belanda (1%). Kelima eksportir utama ini menguasai 94% pasar ekspor kedelai di dunia.

Harga kedelai di pasar internasional sekitar US$ 6 per bushel atau (6xRp 9.500,-) per 27 kg, atau Rp 2.111 per kg (bushel kedelai=27 kg). Nilai tunai impor kedelai (tidak termasuk biaya transportasi, tarif bea masuk, keuntungan, dan lain-lain) mencapai 2,2 juta x 1.000 x Rp 2.111 = Rp 4.644.200 juta atau Rp 4,6 triliun per tahun. Jumlah nilai uang tunai untuk impor kedelai ini sangat besar artinya bagi kegiatan ekonomi pedesaan.

Pengamat Pembangunan Ekonomi Indonesia Sri Susilo menyayangkan bahan baku kedelai yang sebenarnya dapat diproduksi oleh petani Indonesia sendiri, sebagian besar masih harus diimpor. Menurutnya, industri olahan primer kedelai ditambah dengan kebutuhan bungkil kedelai sebagai pakan ternak, sebenarnya merupakan peluang pendapatan bagi petani kecil. Namun pada kenyataannya, berdasarkan perkiraan data kasar, Indonesia masih harus mengimpor 1,5 juta ton kedelai dan 1 juta ton bungkil kedelai, setara dengan 1,2 juta ton kedelai biji atau impor kedelai total 2,2 juta ton per tahun.

Dengan dalih untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, impor pun terus dilakukan seiring dengan terus menurunnya produksi kedelai nasional setiap tahunnya. Padahal, harga kedelai impor saat ini tercatat sangat tinggi hingga mencapai Rp 9.000 per kilogram (data Kementerian Perdagangan). Harga yang lebih tinggi dari Harga Produksi (HPP) yang dipatok Kementerian Perdagangan sebesar Rp 7.450 per Kg ini, tak lain dikarenakan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika (USD).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun