Potensi benturan kepentingan adalah sebuah keniscayaan yang pasti dihadapi oleh setiap organisasi. Ada beberapa kondisi yang membuat potensi itu sangat tinggi, kemudian dinormalisasi dengan alasan sudah berjalan dari generasi ke generasi. Hal ini seharusnya menjadi perhatian bersama jika kita menginginkan kemajuan organisasi. Bukan membenarkan yang biasa tapi berani membiasakan yang benar.Â
Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Nomor 36 Tahun 2023 tentang Pedoman Penanganan Benturan Kepentingan di Lingkungan Badan Pusat Statistik merupakan instrumen penting yang dirancang untuk mengoptimalkan kinerja BPS dalam membangun Zona Integritas menuju Wilayah Bebas Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM). Peraturan ini bertujuan untuk mencegah dan menangani benturan kepentingan yang mungkin terjadi di antara pejabat atau pegawai BPS dalam pengambilan keputusan atau pelaksanaan tugas. Benturan kepentingan didefinisikan sebagai situasi di mana seseorang memanfaatkan kedudukan dan wewenangnya, baik sengaja maupun tidak, untuk kepentingan pribadi, keluarga, atau golongan, sehingga mengganggu objektivitas tugas dan berpotensi menimbulkan kerugian bagi pihak tertentu.
Latar belakang diterbitkannya peraturan ini adalah upaya BPS untuk mereformasi diri menuju tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dengan berpegang pada prinsip-prinsip nilai inti Aparatur Sipil Negara, yaitu Berorientasi Pelayanan, Akuntabel, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, dan Kolaboratif (BerAKHLAK). Dalam interaksinya dengan pihak internal dan eksternal, BPS menyadari pentingnya menjaga profesionalitas, netralitas, dan independensi. Oleh karena itu, peraturan ini menjadi pedoman bagi pegawai untuk memahami, mencegah, dan mengatasi benturan kepentingan, sekaligus menciptakan budaya pelayanan publik yang transparan dan akuntabel.
Peraturan ini mencakup beberapa aspek penting, mulai dari definisi benturan kepentingan, bentuk-bentuk situasi yang termasuk dalam kategori benturan kepentingan, sumber penyebab, hingga mekanisme identifikasi dan penanganannya. Beberapa bentuk situasi benturan kepentingan yang dijelaskan meliputi penerimaan gratifikasi, penggunaan aset jabatan untuk kepentingan pribadi, penyalahgunaan informasi rahasia, perangkapan jabatan, serta hubungan afiliasi atau kekeluargaan yang memengaruhi keputusan. Contoh konkretnya adalah pegawai yang memiliki hubungan afiliasi dengan penyedia barang dan jasa, sehingga berpotensi mengarahkan keputusan pengadaan kepada pihak tersebut.
Sumber penyebab benturan kepentingan antara lain penyalahgunaan wewenang, perangkapan jabatan, hubungan afiliasi, gratifikasi, kelemahan sistem organisasi, dan kepentingan pribadi. Untuk mengidentifikasi potensi benturan kepentingan, setiap pegawai wajib melaporkan situasi yang dihadapinya kepada atasan langsung atau melalui Sistem Pelaporan Pelanggaran (Whistleblowing System, WBS). Unit kerja juga diwajibkan melakukan identifikasi potensi benturan kepentingan secara berkala dan melaporkannya kepada Inspektorat Utama.
Mekanisme penanganan benturan kepentingan melibatkan beberapa langkah. Pertama, pegawai yang terlibat atau mengetahui potensi benturan kepentingan harus melaporkannya kepada atasan atau Inspektorat Utama. Atasan kemudian melakukan penelaahan awal dan analisis risiko, yang diklasifikasikan menjadi tiga kategori: rendah, sedang, dan tinggi. Jika benturan kepentingan dapat dikendalikan, atasan mengambil tindakan pencegahan; jika tidak, Inspektorat Utama memberikan rekomendasi lebih lanjut. Selain itu, pelaporan juga dapat dilakukan melalui WBS bagi pegawai atau pihak ketiga yang mengetahui tetapi tidak terlibat langsung.
Peraturan ini juga menekankan pentingnya pencegahan benturan kepentingan melalui beberapa upaya, seperti pemutakhiran Kode Etik dan Standard Operating Procedure (SOP), pelaporan benturan kepentingan secara proaktif, serta pembinaan budaya organisasi yang tidak toleran terhadap benturan kepentingan. Pegawai diharapkan menjaga integritas dan menjadi teladan, sementara atasan wajib membina pegawai dalam menerapkan kebijakan ini. Sanksi diberikan kepada pegawai yang terbukti melakukan benturan kepentingan dan tidak melaporkannya, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Monitoring dan evaluasi dilaksanakan secara berkala oleh Unit Kerja dan Inspektorat Utama untuk memastikan efektivitas implementasi peraturan ini. Unit Kerja wajib melakukan evaluasi internal minimal dua kali dalam setahun, sedangkan Inspektorat Utama bertugas memantau dan memberikan umpan balik untuk perbaikan kebijakan. Laporan hasil monitoring mencakup identifikasi potensi benturan kepentingan, sosialisasi, implementasi, dan tindak lanjut evaluasi.
Secara keseluruhan, Peraturan Kepala BPS Nomor 36 Tahun 2023 mencerminkan komitmen BPS dalam menciptakan lingkungan kerja yang bersih, transparan, dan akuntabel. Dengan pedoman yang jelas dan mekanisme yang terstruktur, peraturan ini diharapkan dapat meminimalisir potensi benturan kepentingan, meningkatkan integritas pegawai, dan mendukung terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik. Kesungguhan dalam pelaksanaannya akan memperkuat reputasi BPS sebagai lembaga yang profesional dan bebas dari praktik-praktik yang merugikan kepentingan publik.
Sanksi Pelaku COI
Perka BPS No. 36 Tahun 2023 ini tidak merinci sanksi apa saja yang akan diperoleh bagi pegawai yang terbukti melakukan COI, tapi jelas tersampaikan bahwa akan diberikan sanksi sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku. Dalm hal ini peraturan terkait yang berlaku adalah UU ASN, UU Tipikor, dan PP tentang Disiplin ASN. Sanksi bisa administratif, disiplin, hingga pidana.