Pagi itu, Pak Hari berangkat lebih awal dari biasanya. Ia tak mengira sama sekali akan menerima pernyataan pahit harus di PHK oleh perusahaan. Pemilik perusahaan terpaksa harus mengurangi beberapa karyawan karena sudah tak mampu lagi membayar gaji akibat adanya wabah corona.
 Hari itu jadi hari terakhir Pak Hari bekerja. Lelaki paruh baya itu masih diberi kesempatan terakhir untuk menyelesaikan pekerjaannya. Akan tetapi hanya setengah hari saja, setelah itu ia boleh pulang.
 Beberapa cindera mata atau bonus ia terima dari atasannya. Namun, pesangon yang diberi hanya cukup untuk biaya hidup satu bulan. Mau tidak mau ia harus menerima kenyataan itu. Perusahaan hanya mampu memberi senilai itu.
 Pak Hari tidak tahu harus berkata apa kepada anak dan istrinya kalau dia sudah di PHK. Dia pun bingung harus mencari pekerjaan di mana. Di bawah terik matahari yang menyengat, ia tak tahu harus berjalan ke mana.
Banyak yang berkecamuk di pikirannya, apakah dia harus pulang dan berkata jujur pada anak istrinya, atau dia harus berjalan mengikuti langkah kakinya yang tak tentu arah. Sudah puluhan toko ia datangi hanya untuk menanyakan lowongan pekerjaan.
"Apa disini butuh tenaga kerja?" tanya Pak Hari pada salah satu pegawai toko. Tetapi hampir semua toko memberi jawaban yang sama, "Maaf, tidak ada lowongan, Pak."
 Lelaki malang itu pun kembali berjalan mengikuti langkah kaki. Sampai akhirnya ia terhenti di depan seorang anak yang duduk di pinggir jalan. Sepertinya anak itu kelaparan, gumamnya dalam hati.
Kemudian ia menghampiri anak tersebut dan memberikan sekotak nasi yang dibawakan istrinya untuk bekal.
"Dek, kamu lapar, ya? Saya punya sedikit makanan. Ini ambil!" ucap Pak Hari sambal mengeluarkan bekalnya.
"Ma ... makasih, ya, Om," ucap anak itu dengan senang hati.
"Iya, Dek, sama-sama. Adek kok sendirian di sini? Orang tuanya ke mana?" tanya Pak Hari.