...
Setelah tiga bulan berada di rumah dan melanjutkan kesibukan masing-masing, kelompok Putri memutuskan untuk berkumpul lagi di sekitar kampus untuk membicarakan satu hal yang akan dikerjakan secara bersama-sama. Satu hal yang penting, Putri adalah salah satu orang yang sangat senang berkumpul dengan temannya, dan kali ini ia sangat ingin berkumpul dengan kehadiran semua anggotanya. Untuk mendapatkan hal ini, maka ia berusaha dengan menanyakan satu persatu kesediaan temannya untuk hadir melalui chat. Ketika saatnya untuk bertanya kepada lelaki puitis itu..
“Lu bisa dateng kan nanti, hari Minggu? Bisain yaa.”
“Emang kenapa gue harus dateng? Lagian kalo gue ngga dateng, gue juga ngga rugi. Paling gue cuma melewati momen bareng kalian aja. Selebihnya, biar itu jadi keputusan gue.”
Harapan Putri pupus. Setelah hidup bersama kurang lebih satu bulan lamanya, Putri mengenal betul kepribadian lelaki ini. Ya, bisa dibilang ia keras kepala. Tidak juga, mungkin lebih tepatnya ia teguh pada pendiriannya. Sekali bilang tidak. Maka, tidak ada yang bisa mengubahnya.
...
Entah mengapa, Putri merasakan ada yang berbeda dengan lelaki ini. “Kenapa dia jadi berubah gitu deh? Kok dia beda banget ya sikapnya ke gue selama ketemu langsung dan kalo ngobrol via chat. Apa gue ada salah ya sama dia?” begitu pikirnya. Putri terus memikirkan hal-hal yang seharusnya menjadi biasa saja.
Di sisi lain, Putri merasa kehilangan dan merasa belum bisa lepas dengan kehidupan selama satu bulan itu. Selain kehilangan kenangan dan teman yang telah menemaninya hidup bersama, ia juga kehilangan sosok lelaki ini. Menurutnya, hal ini wajar. Ya, wajar yang berlebihan. Mau dibilang wajar, karena memang belum lama waktu berlalu untuk mengobati masa-masa yang telah dilewati itu. Mau dibilang berlebihan, ada benarnya juga. Karena, hal ini hanya dia saja yang merasakannya. Sedangkan teman-temannya yang lain pun tidak.
Putri merasa terganggu dengan pikirannya yang semacam ini. Ia terus berusaha dan mencari obat untuknya agar bisa hidup tanpa adanya gangguan yang menggerogoti dirinya. Ia terus belajar, apa yang harus ia lakukan dan diperbuat. Hingga akhirnya, ia menyadari. Bahwa sejatinya, manusia hidup tanpa memiliki apa-apa. Semua yang dipunya hanyalah pinjaman yang diberikan Allah untuk diatur sebaik-baiknya. Sedangkan tugas kita hanyalah harus bersyukur terhadap apa yang masih ada.
S e l e s a i