Aku menari di puncak sukacitaku,
menabur tawa dalam ruang retorika kita.
Kuceritakan semuanya, ledakan lengang yang kumiliki.
Namun balasanmu hanya seonggok asap mengambang, melintas, mengembun, lalu hilang sebelum mengenai kulitku.
Fonem-fonem yang kususun rapi hingga berlembar-lembar,
hanya kau balas dengan satu klausa hambar.
Seolah aku sekadar mesin ketik yang berderak tanpa arti.
Mungkin aku hanya kau anggap seperti bayangan yang lewat di atap rumahmu,
tak nyata, tak dimintai, tak dianggap.
Padahal tiap kali kau menari di atas curahan hatimu untukku,
aku selalu menyapu sisa-sisa suaramu sampai tak bersisa.
Tak lupa kulengkapi dengan hiperbola agar kau tidur tenang,
menabur diksi agar langkahmu tak terganjal.
Meski terlambat, tapi kini kusadari, tidak semua sukacita berhak pada hadirmu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI