Mohon tunggu...
Ani Siti Rohani
Ani Siti Rohani Mohon Tunggu... Buruh - Perempuan penikmat sunyi

Life is never flat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Antara Sirop dan Kopi Hitam

7 Mei 2019   07:58 Diperbarui: 7 Mei 2019   08:17 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi : Pixabay

Lebaran merupakan moment kumpul bersama keluarga. Jika kaum wanita biasanya sibuk di dapur menyiapkan makanan-makanan ala lebaran, namun tidak denganku. Tuntutan pekerjaan membuatku harus menghabiskan waktu seharian berada di toko.

Ya. Sebagai karyawan di sebuah minimarket, aku bekerja double shift setiap menjelang lebaran. Sebab pengunjung yang berbelanja akan semakin bertambah, terlebih malam saat takbir telah berkumandang, tanda lebaran datang.

Suara hiruk pikuk orang-orang yang berbelanja membuat pikirku hanya terfokus pada yang kulakukan. Dengan cekatan tanganku bergerak. Menempelkan barang belanjaan ke mesin kasir, memasukkannya ke dalam kantong kresek, lalu menghitung uang pembayaran customer juga memberikan kembalian. Tak ada waktu sejenak pun untuk beristirahat. Sebab antrian begitu banyak. Lelah memang, tapi semua demi mendapatkan secuil rupiah. Tak peduli meski suara takbir yang menggema sedari tadi menambah keinginan untuk pulang.

Mataku terarah ke seseorang yang muncul dari pintu masuk. Dia berseru memanggil dan melambaikan tangan kepadaku. Laki-laki itu, sudah kubilang malam ini aku akan lembur tapi malah kukuh datang lebih awal.

Aku tak menghiraukannya. Aku sangat sibuk. Tak ada waktu untuk meladeninya. Biar saja dia harus menunggu lama. Bukan salahku.

"Masih lama?" tanya seseorang sambil menyodorkan barang belanjaan.

"Sudah kubilang hari ini aku pulang lebih malam," balasku saat melihat yang di hadapan adalah Ali. Dia calon suamiku.

"Demi cintaku padamu, sayang," balasnya mencondongkan muka ke arahku.

Aku menggertakkan gigi dan melebarkan kedua mata. Melirik ke belakang, sisi kanan, sisi kiri, khawatir ada yang mendengar. Dia, dia hanya tersenyum menanggapi ekspresiku. Lelaki itu sungguh-sungguh menyebalkan.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul 11:00 malam. Toko sudah mulai sedikit sepi. Hanya ada dua pelanggan yang tengah mengantri di depan meja kasir. Tempat aku berdiri selama hampir lima belas jam ini.

Dan, aku menarik nafas panjang ketika semua selesai. Hari yang melelahkan.
Setelah selesai menghitung uang hasil lembur hari ini, aku mencatat laporan dan menyerahkan ke Bu Lisa, manager toko.

Semua anak-anak kemudian disuruh berkumpul. Tentu saja, bu Lisa akan membagikan THR kami. Lelah kami akhirnya terganti oleh senyuman. Anak-anak saling berbisik, tentang apa dan berapa jumlah yang akan didapat. Jumlah kami tak banyak. Hanya ada dua belas anak. Dan kedua belas anak ini adalah karyawan dua shift sekaligus. Biasanya kami akan terbagi menjadi dua bagian. Enam orang masuk shift pagi, enam lagi masuk shift siang. Dengan shift bergantian setiap akhir pekan. Tapi tidak untuk hari ini. Seperti tahun-tahun sebelumnya, kami akan dipersatukan dalam doubleshift yang melelahkan. Kadang-kadang kami harus bergantian tugas, namun tetap saja kami kelelahan. Sebab orang-orang di luar sana, banyak berdatangan untuk berlomba memborong barang-barang belanjaan.

Tiba saatnya, kami akan mendapat jatah THR yang dijanjikan. Satu persatu dari kami dipanggil untuk masuk ke ruang manager. Yang sudah mendapat bagian, harus menunggu yang lain. Sebab setelahnya akan ada tradisi salam-salaman. Kurang afdhal memang. Kami belum juga bersimpuh ke emak bapak, tapi malah harus lebih dulu ke mereka. Tapi ya sudahlah tak mengapa.


***


"Aku pulang duluan," seruku pada teman-teman saat tradisi salam-salaman dan tangis-tangisan selesai.

Tentu saja, aku teringat Ali yang menungguku sejak tadi. Di mana dia? Apa dia pulang?

Mataku melirik ke sana ke mari, mencari sosok berkemeja abu-abu.

"Mohon maaf lahir batin, sayang."
Aku tersentak mendengar sebuah suara yang muncul tiba-tiba dari sisi kananku. Tepat saat aku tengah melongok ke arah kiri. Laki-laki itu, ah, suka sekali membuatku terkejut dan kesal.
"Kamu tadi di mana?" tanyaku memonyongkan bibir.

"Di hatimu sayang," balasnya lebai.

Sontak aku memukul pantatnya. Kulihat dia merintih sedikit kesakitan. Aku memang memukulnya dengan tenaga yang lumayan besar.

"Maaf. Kamu sih gitu terus," balasku merunduk masih dengan memajukan bibir.

"Mohon maaf lahir batin, Mas," lanjutku sembari menelungkupkan kedua tangan ke arahnya.

Dia tersenyum mendengar kata-kataku.

"Pulang sekarang?" tanyanya kemudian.

"Tahun depan!" balasku ketus.

Laki-laki itu, sekalipun begitu menyebalkan, tapi aku sangat menyukainya. Dengan Satria Fu biru miliknya, kami meluncur pulang. Oh tidak. Aku pulang sedangkan dia akan bertandang. Hehe.


***

Suasana di rumah sudah ramai. Kulihat beberapa sepeda motor terjajar di depan halaman. Keluarga besar pasti telah datang.

Sebagai orang tua satu-satunya yang masih kumiliki, abah memang beruntung. Kerabat dan keluarga begitu menyayanginya. Pun anak-anaknya. Jika lebaran datang, mereka dengan sigap datang bertandang jika takbir telah berkumandang. Tentu saja, toh rumah mereka tak jauh dari rumah abah.

"Assalamu'alaikum," salamku serentak bersama Ali.

"Wa'alaikumsalam," balas mereka yang ada di dalam secara serentak pula.

Aku langsung menghambur ke pelukan abah. Menciumi tangannya berkali dan memohon maaf atas kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan anak bungsunya yang sedikit kurang ajar ini. Setelahnya aku dan Ali bersalam-salaman dengan seluruh yang ada di rumah.

Aku menikmati suasana malam ini. Ketika semua keluarga berkumpul bersama berbagi bahagia. Tidak ada yang lebih indah dari keharmonisan keluarga. Dari mereka aku belajar banyak hal. Tentang cinta, tentang bahagia.

"Kamu bawa parcel ini, Ali? Wah, kamu tahu saja kalau abah suka sirop marjan rasa melon," ucap abah sembari mengangkat sebuah parcel berisi sebotol sirop berwarna hijau, sekaleng biskuit khong guan, setoples kecil nastar di tambah pernak pernik jajanan kecil lainnya.

Ali yang merasa tak membawa parcel itu terlihat sedikit kebingungan ingin menjawab apa. Matanya melirik ke arahku, mencoba meminta aku menjelaskan ke abah kalau parcel itu bukan darinya.

Tapi aku, aku hanya tersenyum sambil menjulurkan lidah ke arahnya. Mengapa harus aku? Biar saja dia yang menjelaskan. Lelaki itu harus bisa bicara bukan? Terlebih kepada calon mertua.

"Itu bukan dari Ali, Abah. Itu parcel THR Arini dari toko," balas Ali.

"Oh oh, abah salah ya. Aduh calon mertuamu ini sepertinya suka menebak-nebak sembarangan, saking ngarepnya minum marjan rasa menantu. Haha... "

Semua tertawa saat mendengar ucapan abah.

"Ini Abah. Ini dari Ali buat Abah," ucap Ali kemudian sambil menyerahkan satu kantong besar berisi banyak makanan.

"Wah, ini lebih dari sekedar sirop marjan," balas abah melihat isi kantong kresek putih berlabel nama toko tempatku bekerja.

"Gula, teh, kelengkeng, apel, salak, biskuit khong guan, kurma, kue nastar, biskuit roma. Wah, ini benar-benar lebih dari isi parcel tadi," ucap abah menyebutkan satu-satu isi yang ada di dalam kantong kresek sambil mengeluarkannya.

"Kamu pandai sekali Ali. Abah memang lebih suka minum teh daripada sirop marjan," celetuk abah.

Dan, semua tertawa. Sebab apa lagi. Sebab semua tahu abah tidak begitu suka minum teh. Ali benar-benar payah, tak tahu selera abah.


***
Dua minggu setelah lebaran, aku dan Ali menikah. Kini, setiap hari, aku harus menyiapkan dua cangkir kopi hitam dan menyaksikan dua lelaki yang mengobrol ke sana ke mari sambil menikmati kopi yang kusuguhkan setiap pagi.

"Sudah jam tujuh mas. Nanti kamu terlambat masuk kerja," seruku mengingatkan saat melihat suamiku masih tertawa cekikikan bersama abah.

"Anakmu nanti Arini, dia harus pasti menjadi penikmat kopi hitam, jangan sirop marjan," seru abah.

Keduanya tertawa. Entah apa yang tengah mereka bicarakan sampai harus bawa-bawa sirop marjan.

"Ayah berangkat dulu, Sayang," ucap Ali mengelus perut besarku yang tengah mengandung, kemudian menciumnya dan bergegas keluar.

Sementara aku? Apa aku dia lupakan? Laki-laki itu, benar-benar menyebalkan.

Kaohsiung, 7 Mei 2019

#RWCODOP2019

#DAY2

#OneDayOnePost

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun