Mohon tunggu...
Anisah Arief
Anisah Arief Mohon Tunggu... Guru - Hitam putih

Seseorang yg mengagumi senja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bunga Liar

20 April 2017   21:26 Diperbarui: 21 April 2017   07:00 486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

″Kita tidak boleh egois. Kita telah terlahir sebagai khalifah di muka bumi, oleh sebab itu kita harus mampu memberikan arti″.

″Bagaimana ? ″

″Kita harus punya cita-cita agar hidup kita terarah. Kita mencintai kehidupan untuk bekal kehidupan yang sebenarnya, akhirat ! untuk itu, baca Al-Qur’an, ikuti pengajian, dan terjun dalam gerakan dakwah agar kau termotivasi untuk menjadikan hidupmu penuh arti.″

″Apakah aku masih punya kesempatan ? ″

″Bukankah ini kesempatan emas, banyak yang membutuhkanmu. Setidaknya teman sekelas. Kita tidak boleh menjadi orang manja. Orang manja tidak mempunyai apa-apa kecuali sebuah kebodohan, kenikmatan sementara. Bukankah kita tercipta sebagai rahmatan lil’alamin ?. ″ ujarnya pada Mamat. Latifah terdiam, teringat kata-kata ustadnya saat ia hampir putus asa menerima vonis Leukimia yang hanya menunggu ajal saja. Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati. Yang penting bukan kapan dan bagaimana kita menghadap Allah itu, yang penting adalah seberapa banyak bekal yang akan kita bawa menghadap kehadirat-Nya. Kita harus berhenti berkeluh kesah karena keluh kesah, caci maki, dan umpat hujat tak akan melahirkan apapun kecuali hati yang gundah. Mengapa kita tidak berbuat sesuatu untuk menyalakan cahaya betapapun sinarnya tak menerpa ke seluruh dunia, tetapi siapa tahu berguna bagi mereka yang tersesat di perjalanan. Jadilah manusia baru, bagaikan satu hari engkau dilahirkan kembali, tetapkan dalam hatimu bahwa dirimu bukan pecundang. Kau adalah orang yang beriman, yang dengan iman kau tebar cinta, dengan amal prestasi kau gubah dunia dan dengan jihad kau jadikan hidup penuh arti. Percikkan cintamu dengan akhlak yang mulia. Tinggalkan kepalsuan dan kemalasan, karena dunia tidak pernah akan mengasihanimu.

″Latif!. Latif !. Kamu melamun ?.″

Latifah tersenyum getir.

Mamat berusaha memahami senyum itu tetapi yang dia dapat hanya keresahannya sendiri.

***

Pagi nan cerah, mentari bersinar dengan lembut, kehangatan terpantul dari wajah Mamat yang pagi ini datang lebih awal, setangkai mawar tergenggam di tangannya, untuk siapa lagi mawar itu kalau tidak untuk Latifah. Latifah, gadis kuat namun lembut yang membuatnya menyadari banyak hal tentang Islam. Latifah yang senyumnya membuatnya penasaran karena menyimpan misteri dan misteri itu kini terungkap. Kemarin, saat ia ke rumah Latifah untuk meminjam catatan matematika, Latifah tidak ada, yang menemaninya saat menunggu Latifah pulang dari dokter adalah ibunya, dari ibu yang juga lembut itu Mamat tahu kalau Latifah tidak berumur panjang akibat Leukimia yang dideritanya. Lima bulan lagi, itu waktu yang diperkirakan dokter, dan selama itu Mamat ingin menemani Latifah untuk bersama-sama meraih cinta Allah.

Tapi sampai siang Latifah belum juga datang, Mamat mulai lelah memandang pintu gerbang berharap seraut wajah manis dengan jilbab putihnya melenggang di sana. Mamat memandang arloji di tangannya, jam tujuh kurang lima menit. Kemana Latifah ? tanyanya dalam hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun