Mohon tunggu...
D4U
D4U Mohon Tunggu... Mahasiswa - In Neverland With The Elf

Hanya sebuah pena yang sedan mencari tintanya. selamat datang, terima kasih sudah meluangkan waktunya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Imagination of Love

4 November 2021   14:33 Diperbarui: 4 November 2021   14:38 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suara berisik manusia berseragam putih abu-abu itu bergantian menelusup masuk ke indra pendengaran ku. Dengan ruangan berukuran sembilan kali delapan meter berisi dua puluh enam manusia? Itu sangat berisik. Aku Arini. Salah satu dari dua puluh enam manusia yang mengisi ruangan itu. Duduk sendirian dengan sejuta mimpi dan imajinasi. Teman? Aku tidak tau itu kata dari kategori apa. Aku tidak pernah mengenalnya. Yang selalu ada bersamaku hanyalah sebuah buku cerita.

Walaupun begitu, bukan berarti aku tak punya pujangga. Dia ada. Dan kini aku sedang memandangnya. Dua meja dan kursi di hadapanku menjadi pemisah jarak diantara kami.

Dia Haidar. Murid baru sejak dua hari lalu. Dan sejak dua hari lalu pula namanya begitu populer di kepalaku. Senyuman manisnya selalu memenuhi otakku. Tapi, sedikitpun tidak ada keberanian untukku menyapanya. Sekedar memperkenalkan diri atau hanya menyebut namanya saja aku tidak berani. Mataku membuang arah kala tatapan kami bertemu. Luasnya lapangan olahraga menjadi pelampiasan ku. Aku malu. Merutuki kebodohan ku karena ketahuan memandangnya.

Sesekali ku lihat lagi dia yang kembali bercengkrama. Memandangnya secara diam mungkin menjadi hobi baruku.

Aku sedikit menguap. Senyum candu itu seolah tak mampu membendung kantuk ini. Semalam, aku terlambat tidur. Menyelesaikan satu buku cerita membuatku lupa waktu. Inilah resikonya. Mengantuk dalam kelas. Ku lihat jam yang melingkar ditangan kiri ku. Masih setengah tujuh. Namun kantuk ini seolah sudah jam satu malam.

Aku sedikit menundukkan kepala dengan tangan yang memijat pelipis ku pelan. Berharap kantuk itu sedikit memud ar. Sampai ku rasakan decitan bangku di samping ku menyusup pendengaran. Sudah ku jelaskan sejak awal. Ingat aku Arini. Manusia yang tidak mengenal apa itu teman. Sudah jelas aku duduk seorang diri di bangku paling pojok, belakang dekat jendela.

Ku lirik sejenak siapa yang mengisi bangku di samping ku. Dia tersenyum manis kearah ku. Ah, senyum itu. Jiwa ku sedikit terbang dengan senyuman itu. Namun, sadar membuat ku kembali terkejut. Haidar? Dia duduk di sampingku?

Ku buang pandanganku ke depan. Dengan jari yang bermain ujung buku cerita. Ku lihat pula suasana kelas ku. Ada yang masih sibuk dengan kegiatannya. Ada juga yang memusatkan pandangannya pada ku. Atau pada Haidar     mungkin. Tidak terkecuali Dara dan para dayangnya. Mereka menatap ku tajam. Dara fans Haidar garis keras. Aku tau resikonya jika Haidar di dekat ku.

"Saya boleh duduk di sini, kan?"

Suara itu. Suara yang selalu kudengar dari jauh kini dapat ku dengar dengan jelas. Begitu hangat dan mungkin akan menjadi candu baruku setelah senyuman itu.

"Ari terlalu berisik. Saya tidak suka. Jadi, boleh, kan?" Sambungnya lagi.

Suara itu seolah menghipnotis ku. Hanya dengan suara dia membuat ku mengangguk. Lemahnya aku.

"Saya Haidar Darmawan. Dua hari saya disini, saya belum tau namamu." Tangan itu terjulur.

Aku mencoba membiasakan diri. Aku tau resikonya nanti. Tapi, ini fenomena langkah. Untuk pertama kalinya ada yang mengajakku berkomunikasi di ruangan ini.

"Arini Rahma." Ku balas uluran tangan itu. Tangan yang tak pernah sedikitpun terbesit untuk ku sentuh, secara tiba-tiba datang dan menyerahkan dirinya secara percuma.

Aku tidak tau ini hanya sebuah imajinasi atau nyata. Jika ini hanya imajinasi, tak apa. Biar ku nikmati.

***

Ini dua hari setelah kejadian di mana secara tiba-tiba Haidar duduk di sebelah ku. Hari itu aku menghadapi resiko yang ada. Pulang sekolah, aku selalu mampir ke perpustakaan. Entah meminjam atau hanya sekedar membaca buku cerita. Itu selalu ku lakukan setiap pulang sekolah.

Sore itu sekolah sudah sepi. Hanya ada aku yang berjalan di koridor sekolah. Juga comulonimbus yang mengatapi hari sore ini. Namun, tepat saat aku melangkah berbelok mengikuti alur koridor, sebuah tangan mendorongku dengan kasar. Membuatku terjerembab ke lantai. Sakit. Buku cerita yang sedari tadi ku dekap pun entah kemana. Terlempar tak tau kemana.

Ku lihat Dara berdiri dengan wajah tak sabaran. Tangan kirinya juga ikut berdecak pinggang menambah ekspresinya kali ini. Belum lagi dua dayangnya yang berdiri di samping kanan dan kirinya. Aku sudah menyadari resiko itu sejak pagi. Dan sorenya aku akan di eksekusi.

"Sepertinya, gue gak perlu jelasin lagi kesalahan lo apa."

Tangan kanan yang Dara sembunyikan di balik tubuhnya mulai nampak. Ada bulatan bercangkang di sana. Siap untuk mendarat di tubuh ku. Bisa ku tebak pulang nanti aku berbau amis.

Ku pejamkan mata. Tidak ada gunanya aku melawan. Bisa saja bullyan itu semakin kejam nantinya. Jadi, biarkan saja aku berbau amis pulang nanti. Daripada aku melawan hari ini dan besok ku dapatkan yang lebih dari sekedar telur.

"Tiga lawan satu rasanya tidak adil."

"Haidar?"

Tunggu. Siapa yang mereka sebut namanya? Ku beranikan diri untuk buka mata ku memastikan. Benar saja. Sudah ada Haidar berdiri dengan tangan yang mencekal tangan Dara. Persis seperti cerita dongeng yang ku baca. Aku sedang mimpi atau apa?

"Pergi atau saya laporkan pada guru?"

Ku lihat mata hangat Haidar berubah menjadi tajam. Mata itu seolah menguliti Dara dan teman-temannya. Membuat tiga wanita di hadapan ku diam tanpa kata. Membuat Dara mengibaskan tangan Haidar. Pergi meninggalkan Haidar dan aku.

"Tidak apa-apa? Mari berdiri." Aku mengangguk seraya bangkit dari jatuh ku.

Dan pagi ini, aku kembali berjalan di koridor itu. Dengan wajah ceria serta Haidar yang ikut berjalan di samping ku. Kejadian hari itu membuat ku dekat dengan Haidar. Haidar sering menemani ku. Berbelanja di kantin, menjadi teman sebangku, bahkan, ketika pergi dan pulang sekolah aku selalu bersama Haidar. Berkat kejadian itu pula aku mengerti apa itu teman. Aku beruntung. Ketika aku mengerti apa itu teman, orang yang ku suka yang memperkenalkannya.

Sesekali aku menoleh padanya. Masih tidak percaya bahwa ini nyata. Pada saat pandangan kami bertemu, Haidar memberikan senyuman terbaiknya. Membuatku ikut menarik sudut bibirku. Astaga... wajah itu, senyum itu, seolah itu milikku. Candu itu kian membesar. Membuatku ingin dipuaskan.

"Kenapa liatin nya gitu banget, sih?"

Aku kembali tersenyum saat pertanyaan itu dilontarkan olehnya. Menunduk malu menyembunyikan muka. Mana mungkin aku mengatakan bahwa dia candu ku.

***

"Arini!"

"Iya, Haidar?"

Teriakan itu mengejutkanku. Membuatku reflek mengangkat kepala dan menyebutkan namanya. Hening untuk beberapa saat. Mataku menyesuaikan cahaya yang menerobos masuk.

"Haidar?"

Laki-laki yang memanggilku mengernyit heran. Begitu pula aku yang baru menyadari bahwa aku melakukan kesalahan fatal. Menyebutkan nama itu. Aku melirik keseluruh ruangan. Posisiku sama seperti cerita indah yang belum dimulai. Dua meja dan kursi masih menjadi pemisah antara aku dan Haidar. Hanya saja, kursi itu sudah diisi oleh pemiliknya.

"Nggak, pak. Bukan."

Sanggahku cepat. Tidak mungkin jika aku meng-iya-kan bahwa aku menyebutkan namanya.

"Cuci mukamu. Masih pagi juga sudah tidur."

Laki-laki dengan setelan baju rapih itu pergi menuju singgasananya. Meninggalkan aku yang masih terkejut dan mengutuk diri.

Aku melangkah menuruti perintah Pak Darwin - Guru yang memiliki jadwal mengajar dikelas ku pagi ini. Aku melewati barisan lelaki yang baru saja ku sebut namanya dengan jelas dan keras. Dia juga menatapku. Membuatku harus menenggelamkan wajahku dalam-dalam. Sialan. Candu itu meliar. Membuatku lepas kendali.

Aku mengusap kasar wajahku dengan air. Masih dengan mulut yang belum selesai mengutuk. Bagaimana bisa aku terbuai dengan imajinasi ku? Dia begitu nyata. Bahagia itu masih ku rasa. Walau mimpi membatasinya. Namun, imajinasi tetaplah imajinasi. Haidar fana dihidup ku. Bukan nyata.

"Kenapa tadi menyebut namaku?"

Suara itu?

*** SELESAI***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun