Beberapa menit, ia memutar badannya menuju ke arah pintu yang sudah terbuka, kaki kanannya berjalan, diiringi hentakan kaki kiri, hingga keduanya seirama berjalan menyusuri jalan keluar lorong.Â
Seberkas cahaya menyilaukan pandangan. ia percaya jika itu ruang masa depan.Â
Lelaki itu keluar tanpa sepatah kata. Apakah ia merasa lega setelahnya? Mungkin iya, mungkin tidak. Yang ia rasakan hanya kebebasan. Belenggu yang mengurungnya selama ini sedikit demi sedikit sudah terkikis.Â
Seperti cerutu yang dibakar, meskipun butuh waktu lama untuk habis, namun perlahan api tetap membakar setiap bagiannya hingga tak tersisa.Â
Cahaya itu menghantarkan Lelaki itu ke gerbang baru sebuah harapan. Ia yang dulu gelap, kini memapah seberkas terang.Â
Banyak kisah yang ia tinggalkan di lorong itu. Ia biarkan saja tersapu angin lalu, tanpa ia ketahui.Â
Dia sudah bodo amat dengan segala kesengsaraan hidupnya. Hanya perkara satu wanita, hidupnya hancur berantakan.
Puzzle yang tak berbentuk itu coba ia tata ulang kembali. Harapnya, kali ini hanya satu, menjemput harap baru.Â
Jalan hidupnya kini mulai ia jadwal kembali. Lelaki yang semula berantakan, mencoba rapi untuk bertemu suasana.Â
Ia sendiri pun tak tahu suasana apa yang akan ia temui esok. Dia hanya terlihat bebas, melepas rantai yang mengikat tubuhnya selama ini.Â
Wanita berkerudung merah maroon yang selalu menghantui pikirannya itu telah berpisah, meskipun bayangan kenangannya masih bertemu di sudut kepalanya.
Fakta itu tak bisa ia bantah. Yang disadari ketika terlalu lama berada di lorong itu, adalah lamunan hikayat bujang lapuk merana.Â
Seorang laki-laki yang tak tau bagaimana cara Move On dari mantan kekasih.Â
Hingga pada akhirnya sadarnya kembali, dan mampu menerima semua hitam masa lalu, untuk menyambut putihnya masa depan..Â
Untuk sementara ia bisa sedikit lega, kebebasan menantinya. Jadwalnya sudah ditentukan. Namun, langkahnya belum tahu harus kemana.Â
Lelaki itu harus sedikit bersusah payah dahulu, setelah patah yang tak kunjung bersambung.Â
Cahaya itu semakin terang, sinarnya semakin tinggi, seperti harap Lelaki itu. Ia jelas tak mau kalah dengan cahaya itu.
 Meskipun belum bergerak kemanapun. Ia masih berdiri di tempat yang sama sesaat setelah ia keluar dari lorong.Â
Matanya tak berkedip menatap cahaya itu. Bibirnya sedikit tersenyum simpul, menunjukkan ia sudah berdamai dengan masa lalunya.Â
Terpikir di benaknya untuk membuat poster dan menempelkannya di setiap sudut tembok, yang narasinya menunjukkan bahwa ia sedang bebas dan merasa bahagia.Â
Tapi ia urungkan, karena tak sepatutnya bahagianya itu jadi konsumsi orang lain.
Cukup dia, dan hanya dia saja yang tahu bahagianya, tanpa ada campur tangan orang lain.Â