"Aku merindukanmu," ujarnya kemudian.
"Oh shit..." gumanku dalam hati.
Aku tersenyum dengan debaran jantung yang menggebu. Cinta telah merubah si pemberani menjadi  seorang penakut. Aku hanya bisa tersenyum. Padahal hatiku luar biasa bahagia. Bahagia yang diliputi ketakutan, karena yang ada didepanku adalah pria yang hatinya rapuh.
"Terima kasih," kataku cepat.
Aku menyilakan Riksa duduk, setelah aku menyeret salah satu bangku dari meja sebelah yang sudah kosong.
"Owh, tak perlu Suzan, biar aku saja," diambil alihnya bangku itu.
Oh, semakin kentara betapa gugupmya aku. Riksa bekas karyawan di sini, tentu saja dia tak asing dengan situasi di kantor ini. Kenapa aku begitu kerepotan dan ingin memperlakukannya seperti orang asing. Perasaan kacau dalam jiwaku menjadikan aku salah tingkah.
"Yuk, minum kopi," ujarnya.
"Tapi aku tak punya banyak waktu," jawabku.
"Tak apa, butuh sedikit saja untuk menghabiskan setengahnya."
Kami keluar dari kantor dengan tenang. Tiada kata-kata yang keluar dari mulut kami, semua hilang begitu saja. Berjalan dalam diam. Hentakan sepatu yang biasanya mengganggu menjadi musik indah yang mampu mendinginkan gerakan jantung. Bahkan terasa begitu merdu di telinga.