“Tidak baginda, kain-kain ini bukanlah yang terbaik!” jawabnya penuh keyakinan. Diam-diam ia melirik sang saudagar yang masih juga menyembah. Ia tersenyum. Ada keburukan dalam senyumnya itu.
Mendengar jawaban laki-laki itu, sang Kaisar menjadi murka.
“Beraninya ia berbohong di hadapanku!! Takkan kuampuni ia dan keluarganya!!”
“Ampun baginda... ampunilah hamba dan keluarga hamba...!”
“lalu di mana sutra terbaik itu kau simpan?!”
“Ampun baginda... hamba tidak tahu, inilah sutra terbaik yang hamba punya.”
“Itu tidak benar, Baginda!” laki-laki itu kembali bicara. Sebelum Kaisar kembali bertanya ia telah lebih dulu melanjutkan. “Sutra terbaik ada pada istrinya.”
“Tangkap istrinya dan bawa sutra terbaik itu ke hadapanku!”
***
Saat itu hari menjelang sore. Matahari hampir tenggelam di balik ranting sakura yang tengah bermekaran. Bunga-bunga teratai merekah dengan indahnya. Sepasukan tentara istana terlihat mendekati paviliun utama. Di sana seorang wanita cantik bergaun putih sedang duduk memintal benang sutra. Gerak tangannya begitu gemulai, lebih lembut dari hembusan angin yang bermain-main dengan ujung rambutnya yang panjang.
Sesampainya tentara itu di halaman, ia tetap bergeming. Seolah tak ada siapa pun yang datang. Sepasukan tentara istana itu masuk dan mengepungnya di atas kursi yang terbuat dari kayu pinus.