*Presiden Jokowi Tak Bisa Didikte: Politik Otentik vs Politik Identitas*
Oleh: *Andre Vincent Wenas*
Presiden Jokowi memang tidak bisa didikte. Beliau menunjuk calon tunggal Kapolri yang rupanya MUI (juga beberapa tokoh individual lain) tidak begitu berkenan.
So what? Yang mesti belajar berbangsa dan bernegara jadinya siapa? Siapa yang belum dewasa dalam tata kehidupan berbhinneka? Siapa yang belum Pancasilais? Terbaca dengan jelas sudah. Terang benderang malah.
Alasan berbeda agama lalu tidak diperkenan untuk jadi pejabat publik adalah indikator jelas anti-Pancasila di Republik Indonesia ini. Tak ada perdebatan lagi soal ini. Semua -- yang waras -- juga mahfum.
Pelajaran yang jadi pil-pahit sudah kita telan bersama saat pilkada ayat-mayat di DKI Jakarta tahun 2017 yang baru lalu. Meritokrasi macet, logika jadi bengkok. Definisi kesantunan yang ngawur dibungkus konsep "yang penting seiman" telah terbukti memporakporandakan perpolitikan yang otentik, bukan hanya untuk Jakarta, tapi amplitudonya sampai ke seluruh penjuru negeri.
Politik identitas memperkosa akal sehat dan memenjarakan politik yang otentik. Politik identitas itu sudah jelas, identitasnya "yang penting seiman" dan jargonnya "ayat-mayat".
Ayat sebagai justifikasi (pembenaran) walau dengan kutipan serampangan, dan mayat (yang bakal tidak disholati) sebagai ultimatum, ancaman, konsekuensi yang mesti ditanggung kalau pilihan politiknya tidak selaras. Gampangannya, politisasi agama.
Tapi apa itu Politik Otentik?
Politik otentik, yang asli, politik yang sejati -- seperti yang dipahami Hannah Arendt -- adalah partisipasi deliberatif rakyat yang tercerahkan. Yang bebas dan cerdas dalam diskursus (wacana) sehat di ruang publik.
Sejatinya politik yang otentik itu terjadi di sebuah ruang publik dimana partisipan yang bhinneka (beragam latar belakang) saling bertukar ide dalam tatanan komunikasi politik yang mencerahkan.