Mohon tunggu...
Andre Rivaldy
Andre Rivaldy Mohon Tunggu... Mahasiswa

Simple its the best

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Stevia: Si Manis yang Sering Dicurigai

24 Juni 2025   13:06 Diperbarui: 24 Juni 2025   13:06 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Andre Rivaldy Syahrama

Beberapa waktu terakhir, kita makin sering menemukan label "tanpa gula" atau "mengandung stevia" pada kemasan makanan dan minuman. Dari teh botolan hingga permen rendah kalori, stevia hadir sebagai solusi pemanis di tengah tren hidup sehat. Namun, meskipun berasal dari tumbuhan, pemanis ini masih menyisakan tanda tanya di benak banyak orang. Ada yang menyebutnya sebagai pemanis buatan berkedok alami, bahkan tak sedikit yang menuduhnya merusak ginjal atau memicu kanker. Tapi, seberapa benarkah tuduhan tersebut?

Stevia berasal dari tanaman Stevia rebaudiana, tumbuhan asli Amerika Selatan yang sejak lama digunakan masyarakat lokal sebagai pemanis alami dalam minuman dan ramuan herbal. Daya tarik stevia terletak pada kandungan senyawa glikosida steviol-nya, yang mampu menghasilkan rasa manis hingga 300 kali lebih kuat dari gula, tetapi hampir tidak mengandung kalori. Inilah mengapa stevia sering dijadikan pilihan bagi penderita diabetes dan mereka yang ingin membatasi asupan gula.

Namun, muncul kekhawatiran karena stevia yang dijual saat ini tidak lagi hadir dalam bentuk daun utuh, melainkan sebagai hasil ekstraksi industri. Di sinilah muncul prasangka bahwa jika sudah melalui proses pabrik, maka otomatis "tidak alami" dan berbahaya. Padahal, Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) telah menyatakan bahwa ekstrak stevia aman dikonsumsi sejak 2008. Di Indonesia sendiri, Badan POM sudah mengizinkan penggunaan stevia sebagai bahan tambahan pangan yang sah.

Meski begitu, bukan berarti stevia bebas dari kritik. Rasa manisnya dianggap tidak senetral gula biasa. Sebagian orang merasa ada jejak rasa pahit atau licorice setelah menelannya. Karena itu, banyak produsen mencampurkan stevia dengan bahan lain seperti eritritol atau dekstrosa untuk menyesuaikan selera. Sayangnya, konsumen sering tidak sadar bahwa campuran ini dapat menimbulkan efek samping seperti perut kembung jika dikonsumsi berlebihan.

Akibatnya, banyak orang yang buru-buru menyalahkan stevia saat mengalami gangguan pencernaan, tanpa mengetahui bahwa penyebab sebenarnya bisa jadi justru ada pada bahan campurannya. Inilah pentingnya edukasi label --- agar kita tahu apa yang sebenarnya masuk ke dalam tubuh kita.

Di sisi lain, kita tahu bahwa konsumsi gula berlebih terbukti berdampak buruk bagi kesehatan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyarankan agar asupan gula tambahan dibatasi maksimal 10% dari total kebutuhan energi harian. Namun kenyataannya, banyak orang melampaui batas ini, bahkan dari sumber-sumber yang tak terduga seperti saus, roti, atau minuman kemasan. Maka dalam konteks ini, stevia muncul sebagai alternatif yang patut dipertimbangkan.

Namun solusi tak cukup hanya mengganti gula dengan stevia. Kita tetap perlu membangun kesadaran tentang pola makan sehat, belajar membaca label bahan dengan cermat, dan tidak mudah terpengaruh oleh slogan "tanpa gula" tanpa mengecek bahan penyusunnya. Pun demikian, saat berhadapan dengan berbagai klaim negatif soal stevia --- misalnya menyebutnya sebagai penyebab kanker --- kita perlu berhati-hati. Tak sedikit informasi yang tersebar hanyalah hoaks dari grup WhatsApp, bukan hasil penelitian yang sahih.

Sebagai contoh, Jepang telah menggunakan stevia secara luas sejak tahun 1970-an. Hingga kini, belum ada laporan serius terkait dampak negatifnya. Bahkan, sejumlah studi menunjukkan bahwa konsumsi stevia dalam takaran wajar dapat membantu menurunkan tekanan darah dan mengontrol kadar gula darah pada penderita diabetes. Artinya, ketika digunakan dengan benar, stevia bisa memberikan manfaat nyata.

Pada akhirnya, stevia bukanlah produk ajaib yang menyelesaikan semua masalah, tapi juga bukan sosok jahat yang harus dijauhi. Ia hanya sebuah alat bantu yang, jika digunakan dengan bijak, dapat membantu kita mengurangi risiko kesehatan akibat konsumsi gula berlebih. Seperti pisau dapur, ia bisa sangat bermanfaat --- atau justru berbahaya --- tergantung siapa yang menggunakannya dan untuk apa.

Sebelum kita terburu-buru menyalahkan stevia, ada baiknya kita mengevaluasi dulu pola konsumsi kita secara keseluruhan. Apakah kita makan secara seimbang? Apakah kita membaca label dengan benar? Dan yang paling penting: apakah kita benar-benar memahami apa yang kita konsumsi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun