Kiranya kita sepakat bahwa masih sangat sedikit ruang dan kesempatan untuk membicarakan status dan kondisi guru swasta di republik ini. Status mereka bahkan dianggap sama dengan guru honorer, padahal keduanya berbeda.
Guru honorer adalah guru yang tidak berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), dan biasanya diangkat oleh kepala sekolah/komite; sedangkan guru swasta adalah guru yang bekerja di sekolah swasta dan memiliki kontrak kerja dengan yayasan. Atau secara sederhana guru swasta adalah guru yayasan karena diangkat dan bekerja di lembaga pendidikan yang dikelola oleh pihak yayasan.
Guru yayasan diangkat oleh pihak yayasan untuk mengajar di sekolah swasta berdasarkan kriteria tertentu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mereka merupakan tenaga pendidik yang bertugas untuk mengabdi di sekolah swasta dan diberi kewenangan tertentu oleh yayasan yang telah diakreditasi oleh pihak berwenang dalam pemerintahan Indonesia.
UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU No.14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyebut beberapa hak guru swasta antara lain 1) mendapatkan penghasilan yang layak dan sesuai dengan beban kerja, tanggung jawab, dan kinerja, 2) mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas profesional, 3) mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan kompetensi profesional secara berkelanjutan melalui pendidikan dan pelatihan, serta 4) mendapatkan penghargaan dan penghormatan dari masyarakat, pemerintah, dan yayasan atas jasa dan prestasi dalam bidang pendidikan.
Perlu diingat bahwa status dan kondisi guru swasta bisa berbeda-beda tergantung dari lokasi dan kebijakan masing-masing yayasan. Yayasan yang mandiri dan kuat secara finansial biasanya memiliki pendidik yang sejahtera, sebaliknya yayasan yang tidak/kurang mandiri biasanya memiliki pendidik yang kesejahteraannya memprihatinkan.
Bahkan kesejahteraan mereka layaknya "hidup segan, mati tak mau". Dan untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka kerap bekerja ekstra. Selain sebagai pendidik di sekolah, mereka juga bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Ini terutama dialami oleh guru-guru swasta di daerah-daerah.
Harus diakui bahwa guru swasta sering kali diabaikan oleh negara, padahal mereka memiliki peran penting dalam sistem pendidikan Indonesia. Beberapa permasalahan yang dihadapi antara lain gaji yang rendah, ketidakpastian masa depan, kurangnya kesempatan pengembangan profesionalitas, beban kerja yang tinggi, dan fasilitas sekolah yang kurang memadai.
Mengatasi kondisi yang ada, pemerintah nyatanya tidak tinggal diam. Beberapa terobosan telah dibuat seperti pemberian Bantuan Operasional Sekolah (BOS) guna meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah-sekolah terutama di daerah yang membutuhkan. Yang terbaru adalah menaikkan Tunjangan Profesi Guru (honorer) sebesar Rp.2.000.000 per bulan, setelah menjalani masa Pendidikan Profesi Guru (PPG). Kedua hal ini perlu diapresiasi.
Namun demikian, kebijakan ini rasanya masih diskriminatif karena kurangnya prinsip keadilan antara guru ASN dan guru swasta. Sertifikasi guru PNS dan P3K sebesar satu kali gaji pokok, sedangkan guru swasta sebesar Rp.2.000.000 per bulan. Pemerintah boleh saja bangga mengumumkan kenaikan besaran sertifikasi guru swasta (honorer) sebesar Rp.500.000 per bulan, tetapi perlu disadari bahwa prinsip keadilan tidak dialami dan dirasakan oleh para guru swasta. Mereka tetap saja mengalami diskriminasi karena diperlukan kurang atau bahkan tidak adil.
Hal yang sama bila berbicara tentang peluang untuk memperbaiki kesejahteraan hidup melalui jalur perekrutan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K). Nyatanya peluang ini terbatas bagi guru-guru yang bekerja di sekolah-sekolah negeri; sedangkan peluang guru-guru swasta "terkunci" oleh regulasi yang tidak berkeadilan. Guru-guru swasta harus dibenturkan dengan regulasi dari pihak yayasan, dalam mana yayasan tidak memberikan kesempatan mengikuti tes P3K, walaupun kesejahteraan mereka masih memprihatinkan.
Â