Mohon tunggu...
Andika Indra Purwantoro
Andika Indra Purwantoro Mohon Tunggu... Dokter Umum

Dokter Umum, Chief Nasional Program Internsip Dokter Indonesia Angkatan 1 Tahun 2025 Penulis Buku "Membentuk Karakter Muslim Zaman Now:" Ketua Lokus Kesehatan Pusat KAMMI 2017-2019 Ketua PD KAMMI Kota Pontianak 2017-2019 Tutor UKMPPD, SCT Instruktur Pelatihan Kesehatan Editor di Medical Research Team, Medresearch dan Solusi Belajar Kedokteran Pimpinan Redaksi Majalah IQRO Khatulistiwa 2013-2015 Pimpinan Redaksi Koran Aksi 2015 Instagram : dokter.andikaip

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dilema Format Baru Kurikulum Pendidikan Dokter Umum di Indonesia

2 April 2025   08:00 Diperbarui: 1 April 2025   13:59 2286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dalam beberapa tahun terakhir, kurikulum pendidikan dokter umum di Indonesia mengalami perubahan signifikan untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan perkembangan ilmu kedokteran dan kebutuhan masyarakat. Meskipun tujuan dari format baru ini adalah untuk menghasilkan dokter yang lebih kompeten dan siap menghadapi tantangan di lapangan, implementasinya tidak lepas dari berbagai dilema. Dibubarkannya Kolegium Dokter Indonesia, berubahnya skema kelulusan, Kurikulum berganti, liberalisasi pendidikan ditambah pelayanan berbasis BPJS, bukan berdasar evidence based practice menambah dilema panjang pelaksanaan Dikdok di Indonesia. Mari kita bahas satu persatu.

Pelaksana

Kita mengetahui bahwa pelaksanaan pendidikan kedokteran untuk jenjang dokter umum dan dokter gigi adalah university-based,  dimana penyelenggaranya adalah universitas.  

Kurikulum yang digunakan adalah Outcome Based Education (OBE) / Competency-Based Medical Education (CBME). OBE adalah pendekatan pembelajaran yang berfokus pada hasil akhir yang diharapkan dari peserta didik, bukan hanya pada materi yang diajarkan, dengan tujuan agar lulusan memiliki kemampuan yang siap diaplikasikan dalam dunia kerja.

Pendidikan Kedokteran Berbasis Kompetensi (CBME)

Pendidikan kedokteran sedang berubah untuk memenuhi tuntutan sistem perawatan kesehatan kita yang terus berkembang. Salah satu perubahan ini adalah pengembangan dan penerapan pendidikan kedokteran berbasis kompetensi (CBME).

Pendidikan kedokteran berbasis kompetensi (CBME) adalah pendekatan berbasis hasil yang telah mengakar dalam pelatihan dokter secara nasional dan internasional. CBME secara eksplisit menempatkan pasien, keluarga, dan masyarakat di pusat pelatihan dengan tujuan utama untuk meningkatkan hasil pendidikan dan klinis secara bersamaan.

CBME adalah pendekatan berbasis hasil untuk desain, implementasi, dan evaluasi program pendidikan serta penilaian pembelajar di seluruh kontinuitas yang menggunakan kompetensi atau kemampuan yang dapat diamati. Tujuan dari CBME adalah untuk memastikan bahwa semua pembelajar mencapai hasil yang diinginkan yang berfokus pada pasien selama pendidikan mereka.

Penerapan CBME di Indonesia

Penyusunan CBME di Indonesia dilakukan dengan Standar Nasional Pendidikan Kedokteran oleh Kementerian Pendidikan Tinggi dan Sains Teknologi (Kemendikti Saintek) dan Standar Kompetensi oleh Kolegium Dokter Indonesia. Output keluaran Fakultas Kedokteran diarahkan untuk menghasilkan lulusan yang berkontribusi pada layanan primer dan akselerasi  pendidikan spesialisasi.

  • dimana proses pendidikan dibagi menjadi tahap pendidikan sarjana kedokteran atau pre-klinik selama 7 semester (3,5 tahun) dengan maksimal masa studi selama 2 kali masa kurikulum (7 tahun), dan tahap pendidikan profesi / klinik (koas) hingga lulus ujian kompetensi selama 3 tahun (Permendikbud no 3 Tahun 2020)
  • Setiap calon dokter wajib mengikuti ujian kompetensi secara nasional (Ps. 213\UU. 17/23)
  • Mahasiswa yang menyelesaikan pendidikan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang lulus uji kompetensi pada akhir masa pendidikan memperoleh sertifikat kompetensi dan sertifikat profesi (Ps. 213\UU. 17/23)
  • Setiap lulusan siap menjalankan evidence-based practice, adaptif terhadap sistem pelayanan kesehatan dan lebih humanistik = mengapresiasi kebutuhan psikis pasien, tidak hanya biofisik nya saja


Dilema Penerapan CBME di Indonesia

1) Dilema soal Kurikulum
Proses prioritas pemenuhan kebutuhan nasional dokter itu tidak hanya tergantung dari kuantitasnya saja jumlahnya saja tapi kualitasnya,  hanya saja sayangnya dari Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) sampai sekarang ini masih mengaju di skdi 2012 berarti bahwa acuan kurikulum kita sudah out of date.

Hal ini dikarenakan negara dan BPJS masih menggunakan skema klaimnya sejak tahun 2014, bahkan semakin dikurangi daftar penyakit dan tatalaksana nya dengan alasan efisiensi. Hal ini mengakibatkan pelayanan kesehatan di Indonesia, terutama di layanan primer sudah out of date ataupun kadaluarsa. Seharusnya pelaksanaan pelayanan kesehatan berdasarkan  evidence-based practice. 

Ilmu Kedokteran itu :

  • harus rasional, relevan, sesuai fakta. Bukan khayalan.
  • harus benar. Evidence based medicine. Datanya terukur.
  • Otonom dan Independen. Hanya  ikut kaidah ilmiah. Tidak ikut perintah penguasa. No authority in science.
  • No conflict of interest. Tidak boleh ada kepentingan orang yang masuk dalam kebenaran ilmu.  

Saat ini sudah tahun 2025. 13 tahun itu sudah jauh terlambat. 

Akibatnya, lulusan dokter Indonesia kita tidak diakui oleh dunia internasional. Jika kita ingin menempuh jalur spesialisasi di negara lain, harus ikut ujian kompetensi ulang dan proses penyetaraan yang itu butuh waktu dan biaya yang tidak sedikit. 

Kualitas pelayanan kita juga terkesan kuno, karena sudah ketinggalan zaman. Belum lagi diperparah dengan tuduhan fraud oleh BPJS, padahal yang salah adalah ketidakmampuan BPJS untuk memberikan klaim, dengan alasan tidak ilmiah lainnya misal "Ikan lele dan daging sebabkan gagal ginjal" padahal 4 penyebab utama masalah gagal ginjal adalah 1) diabetes sebanyak 50% kasus 2) hipertensi sebanyak 28% kasus 3) glomerulonefritis sebanyak 9% kasus 4) penyebab lainnya, bisa karena genetik, penyakit kistik, intoksisitas, masalah di tubular dan vaskular, dan lain sebagainya.

Dan lagi universitas sebagai pelaksana juga bingung, mau mengikuti evidence based practice atau dari pemerintah. Diperparah dengan Kolegium Dokter Indonesia dibubarkan oleh pemerintah sebagai penjaga standar kompetensi Akibat huru - hara pembubaran perangkat kelengkapan organisasi profesi terutama IDI (Ikatan Dokter Indonesia) yaitu Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan Kolegium Dokter Indonesia (KDI) oleh Presiden dan Kementerian Kesehatan melalui KEPRES Kepres Nomor 69/M Tahun 2024 tertanggal 11 Oktober 2024 tentang pemberhentian keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia dan anggota Konsil Masing-Masing Tenaga Kesehatan, serta pengangkatan pimpinan KKI sebagai amanat dari UU No 17/2023.

Pembubaran ini mengakibatkan pembentukan Konsil dan Kolegium baru dibawah kemenkes, bukan organisasi profesi lagi yaitu Konsil Kesehatan Indonesia dan Kolegium Kesehatan Indonesia, yang semuanya dibawah Kemenkes.

Ketidakindependenan ini mengakibatkan kebijakan kesehatan bukan evidence-based practice, tapi semaunya penguasa. 

Untuk masa studi pendidikan profesi pun berantakan, dari yang sebelumnya sesuai Permenristek dikti no 18 Tahun 2018 yaiut “Program profesi dokter dan dokter gigi dilaksanakan  paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun”  dan Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) Nomor 193/KKI/KEP/VIII/2024 Tentang Standar Pendidikan Profesi Dokter Indonesia bagian C poin e ayat 1 poin d yang berbunyi “Masa studi paling lama 5 (lima) tahun untuk tahap profesi dengan beban belajar mahasiswa paling sedikit 48 (empat puluh delapan sks)” menjadi 3 tahun sesuai Permendikbud No 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi Pasal 17 Ayat 1 poin d yang berbunyi “paling lama 3 (tiga) tahun akademik untuk program profesi setelah menyelesaikan program sarjana, atau program diploma empat/sarjana terapan, dengan beban belajar mahasiswa paling sedikit 24 (dua puluh empat) Satuan Kredit Semester;”

Hal ini justru merugikan mahasiswa, apalagi ada 1000 lebih mahasiswa yang menggantung dan sudah lewat masa studi 3 tahun, sedang menunggu mengulang ujian kompetensi. 


2) Dilema soal Distribusi Lulusan tidak Merata

 Distribusi lulusan tidak merata ini selaras dengan menumpuknya Fakultas Kedokteran di kota - kota besar. Apalagi Presiden baru kita mencanangkan program Pendirian FK baru. Yang subur menjamur adalah bertambahnya FK swasta di kota-kita besar, bukan di provinsi yang tidak memiliki FK di luar pulau jawa dan bali.  

Misal Surabaya itu sudah overcrowded 14 fakultas kedokteran sebuah jumlah yang mungkin di kota di Indonesia yang paling banyak untuk saat ini. 

Kami menyarankan pembukaan fakultas kedokteran di luar Jawa dan Bali sekaligus untuk distribusinya. kami menyakini bahwa pembukaan FK di luar Jawa dan Bali ini akan menghidupkan bukan saja dari sisi keilmuan, para dosen akan lebih tersebar, ekonomi pun juga akan lebih  merata, jumlah kos-kosan mahasiswa yang akan ada di ibukota-ibukota provinsi luar Jawa dan Bali dan  tentunya para ilmuwan-ilmuwan pun akan berkembang di daerah luar Jawa dan Bali.

Hal ini diperparah dengan kebijakan agar kampus lebih mandiri, sehingga subsidi untuk universitas berkurang dan mengakibatkan uang kuliah setiap tahunnya naik. Universitas didorong membentuk badan usaha mandiri yang beroperasi secara independen untuk memenuhi kebutuhan universitasnya. Langkah instan nya universitas ada yang diberi izin kontroversial untuk pengelolaan tambang misalnya, atau cara instan lainnya yang terbukti ampuh, adalah membuka Fakultas Kedokteran dengan uang kuliah 3 digit, atau menambah kuota jalur mandiri jika sudah memiliki FK. Tentunya hal ini akan mempengaruhi kualitas lulusan dokternya.

Hal ini diperparah dengan tidak terjaminnya kesejahteraan dokter di daerah. Di Indonesia, produksi dokter umum per tahun sangat besar, sekitar 10000 per tahun untuk dokter umum. Tapi sampai saat ini, masih ada 500-an puskesmas tidak ada dokternya.
ada Dokter Spesialis Obgyn di kabupaten, tapi dokter Spesialis anestesinya tidak ada, bagaimana mau dilakukan SC.

Kita selalu melihat kabupaten A, buka CPNS dan P3K, tapi ga ada dokter yang daftar, apalagi dokter spesialis. Apalagi Pemerintah Daerah tersebut punya rekam jejak tidak baik, misal punya catatan tidak memberikan insentif daerah nakesnya, THP tidak diberikan atau telat berbulan-bulan, pemotongan gaji dengan alasan efisiensi. Belum lagi ditambah persaingan tidak sehat dan monopoli pasien yang dilakukan oknum sejawat dokter. Belum lagi dokter harus memenuhi satuan kredit profesi (SKP) berjumlah 250 untuk memperpanjang izin praktiknya, dan umumnya seminar seharga 50-100 ribu hanya memberikan 1-2 Skp. Belum ditambah pelatihan-pelatihan wajib misal ACLS dan ATLS yang harganya diatas 5 jutaan per pelatihan dan wajib diperbaharui dalam rentang waktu tertentu.

Padahal dokter itu manusia, bukan makhluk yang bisa fotosintesis, cuma butuh cahaya matahari, air, Co2 dari udara dan nutrisi dari tanah.

3) Dilema soal Pelaksanaan Ujian Kompetensi

Ujian Kompetensi adalah alat bukti pencapaian standar kompetensi bagi mahasiswa [ps.213]. Pengelolaan UKOM berdasar pada SOP yang ditetapkan bersama Kemendikitsaintek dan Kemenkes. Kajian pengembangan ujian kompetensi dilakukan oleh tim ad hoc dari kemendikitsaintek dan kemenkes. Tim kemendikitsaintek meliputi perwakilan institusi pendidikan dokter, dokter gigi, dokter spesialis, tenaga kesehatan.

Sampai saat ini Ujian Kompetensi Mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter (UKMPPD) menyisakan lebih dari 1000 mahasiswa yang belum lulus menjadi seorang dokter.

Mengutip perkataan ketua Asosiasi Profesi Mengutip perkataan Ketua Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI), Prof. dr. Budi Santoso Sp.OG(K) pada  Pertemuan Ilmiah dan Mukernas XIV PDUI di Jakarta, Sabtu, 12 Oktober 2024 "Retaker (mahasiswa yang mengulang ujian) yang terbanyak sekarang ada yang sampai 34 kali. Kalau satu tahun itu ada empat kali UKMPPD, maka dia ujian tidak lulus itu 8,5 tahun. Sebuah kenyataan bahwa ini adalah kondisi sebagian adik-adik kita, sebagian mahasiswa kedokteran kita yang tidak lulus UKMPPD sampai 34 kali"

Pada  Forum Komunikasi Ikatan Dokter Indonesia pada tanggal 9 Februari 2025 , Ketua AIPKI juga mengatakan :
Banyak yang salah kaprah bahwa UKMPPD banyak menyisahkan retaker saat ini menjadi sebuah Ironi. Kalau banyak retakernya disalahkan sistem ujiannya ini yang kami keberatan padahal ukmppd ini adalah kesepakatan dari 92 fakultas kedokteran nanti kalau sekarang sudah berkembang menjadi 123 kedokteran

Tentunya mereka  (semua FK) akan dilibatkan mulai saat pembuatan soal, pengujinya dan lain-lain. Jadi ukmppd ini merupakan sebuah produk dari seluruh fakultas kedokteran bukan fakultas-fakultas kedokteran tertua saja.

Semuanya dilibatkan, ada panitia nasional ukmppd yang dibentuk dan di sk kan oleh Kemendiktisaintek. Tapi sekarang yang masih berlaku itu adalah yang ketetapan dari kemendikbud yang dulu ini.

Kepanitiaannya pun adalah kepanitiaan berdasarkan PNUKMPPD yang dibentuk oleh pak menteri sebelumnya jadi ada dewan pengawasnya, ada dewan pengarahnya dan ada panitianya yang semuanya terwakili. Pembuatan soal pun dibentuk oleh tim khusus yang independen tidak ada Conflict of Interest & tertutup 

Tingkat kesulitan soal-soal itu selalu diuji. Kalaupun toh nanti soal itu terlalu sulit maka dia dianggap bonus,  jadi  kita fair untuk pelaksanaan.

 Jadi kalau ada retaker itu banyak jangan ditanyakan tentang sistemnya ini 

Tapi apakah retaker-retaker ini sudah memenuhi standar akademik seorang calon dokter dan apakah pada prosesnya institusi fakultas kedokteran tersebut yang betul-betul sudah serius mendidik sehingga pada saat ujian kompetensi nantinya mereka mempunyai standar kompetensi minimal yang di gariskan untuk menjadi seorang dokter 

Karena yang dilayani oleh seorang dokter ini manusia beda tentunya kalau mohon maaf profesi yang harus  menangani mesin. 

Tapi ini seorang manusia jadi saya (AIPKI) harus ketat sekali dan kita (AIPKI) harus komitmen bahwa mereka lulusan-lulusan fakultas kedokteran mereka memiliki standar kompetensi yang digariskan nanti.

Bukan berarti ukmppd sekarang sempurna. Kita  (AIPKI) nanti akan mencoba untuk mengusulkan pada masa transisi ini nanti sehingga pada bulan Agustus nanti sudah terbentuk sistem yang baru.

Best Practice dari UKMPPD

Praktik baik dalam Uji Kompetensi Mahasiswa Program Pendidikan Dokter (UKMPPD) memberikan dampak konstruktif yang signifikan terhadap pembelajaran dan perilaku belajar mahasiswa kedokteran. Salah satu dampak utama adalah peningkatan kesiapan dan kepercayaan diri mahasiswa dalam menjalani program internship mereka. Selain itu, praktik ini juga berkontribusi pada peningkatan kapasitas institusi, kolaborasi antar lembaga, dan kualitas pendidikan secara keseluruhan. Peningkatan sarana dan prasarana penyelenggaraan asesmen dan pembelajaran, seperti pusat Computer-Based Testing (CBT) dan Objective Structured Clinical Examination (OSCE), juga menjadi bagian penting dari proses ini. Lebih jauh lagi, praktik baik ini mendorong kolaborasi dalam pelaksanaan asesmen formatif, termasuk dalam program Uji Progress Bersama dan pengembangan staf pengajar melalui item development-review. Dengan demikian, UKMPPD tidak hanya berfokus pada evaluasi kompetensi, tetapi juga berperan dalam menciptakan lingkungan belajar yang lebih baik dan lebih kolaboratif bagi mahasiswa kedokteran sekaligus evaluasi dan peningkatan kualitas universitas.

Pada  Forum Komunikasi Ikatan Dokter Indonesia pada tanggal 9 Februari 2025 , Ketua AIPKI juga mengatakan :


"best practice dari ukmppd yang pertama adalah dampak pembelajaran dan perubahan perilaku belajar mahasiswa kedokteran. Ini adalah satu contoh salah satu fakultas kedokteran swasta di Jawa Tengah itu asalnya jelek lulusan-lulusannya itu rendah sekali tetapi kami salut kami apresiasi bahwa pimpinannya melakukan sebuah koreksi proses pembelajaran proses bimbingan yang luar biasa sehingga hampir 100% setiap tahunnya mereka sekarang ini lulus lulusan ukmpdnya hampir atau boleh dikatakan sudah 100%. ini yang yang harus kita yakini bahwa kalau institusi pendidikan kedokteran tersebut betul-betul melaksanakan prosespembimingannya dengan baik, pengajarannya dengan baik Insyaallah outcome-nya pun akan baik peningkatan kapasitas isi kolaborasi dan kualitas . Kenapa sih dilakukan ukmppd karena kualitas standar dari masing-masing fakultas kedokteran saat ini masih jomplang."

Tantangan UKMPPD

Tantangan yang dihadapi oleh Uji Kompetensi Mahasiswa Program Pendidikan Dokter (UKMPPD) mencakup kemampuan institusi dalam meningkatkan kapasitas diri dan kualitas pendidikan. Salah satu aspek penting adalah sistem seleksi yang efektif, yang dapat mengidentifikasi potensi optimal calon dokter. Selain itu, implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan pengelolaan dosen serta sarana-prasarana pendidikan juga menjadi kunci dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Namun, tantangan muncul dengan adanya fenomena retaker berulang, yang menunjukkan perlunya peningkatan layanan student service. Layanan ini harus mampu menyediakan fasilitas yang mendukung, seperti Outcome-Based Education (OBE) dan KBK, untuk membantu mahasiswa yang mengalami kesulitan dalam menyelesaikan studi mereka.

Di sisi lain, UKMPPD juga harus mengejar kompetensi yang relevan dengan kebutuhan layanan kesehatan dan perkembangan ilmu serta teknologi terkini. Saat ini, UKMPPD belum sepenuhnya memberikan informasi mengenai kolaborasi interprofesional dan penggunaan teknologi komunikasi dan informasi yang dapat mengubah pengambilan keputusan. Mekanisme komunikasi dan kolaborasi yang ada juga belum berjalan dengan baik, sehingga transfer informasi dan pengetahuan tidak optimal. Umpan balik dari program internship maupun residensi terhadap hasil uji kompetensi juga perlu ditingkatkan untuk memastikan bahwa lulusan dapat memenuhi tuntutan layanan kesehatan yang terus berkembang.

Pada  Forum Komunikasi Ikatan Dokter Indonesia pada tanggal 9 Februari 2025 , Ketua AIPKI juga mengatakan :

Kita harus jujur bahwa calon mahasiswa ini harus punyai standar kemampuan akademik yang cukup untuk menjadi seorang dokter ya kita terima.

Kalau seseorang hanya keinginan orang tua dan dia tidak memiliki kemampuan standar akademik yang cukup untuk sebagai seorang calon Mahasiswa kedokteran ya kita mengatakan bahwa mungkin dia akan lebih baik lebih berprestasi, lebih berhasil di  bidang lain selain ini.

retaker berulang ini yang juga menjadi sistem yang harus introspeksi kita mau kita apakan ya ?

Kita mungkin harus secara jujur mengatakan “ apakah yang bersangkutan memang layak untuk menjadi seorang dokter?”

 Dari pengalaman kalau mereka sudah retaker di atas 10 kali biasanya mereka itu sudah susah.

Yang terbanyak sekarang itu adalah 34 kali artinya kira-kira sudah 8 tahun setengah kalau setiap tahun dia mengikuti empat kalidia mengikuti dan belum lulus. 

Ini yang mungkin harus kita pikirkan. 

Kita harus mempunyai keberanian untuk bisa lebih tegas mengatakan bahwa mereka-mereka Apakah memang layak untuk menjadi seorang dokter." ujar beliau.

1000 lebih retaker terancam DO, sementara di lapangan karena klaim BPJS yang suka telat & lagi sedikit, mengakibatkan layanan primer berupa klinik - klinik swasta justru mengambil banyak orang yang belum menjadi dokter untuk memberikan pelayanan di klinik mereka dengan alasan lebih murah dan jika ada masalah tinggal ditendang dari klinik daripada mengambil yang sudah jelas lulus jadi dokter. Mereka pun tidak berani menuntut balik klinik, karena yang mereka lakukan juga illegal dan melanggar hukum. Hal inilah yang menyebabkan upah dokter menjadi sangat murah, bahkan per pasien BPJS itu dihargai 1000/pasien, jauh lebih murah daripada tukang parkir yang dihargai 2000/motor. Kenapa dibayar murah tapi tetap ada yang ngisi? Inilah alasannya.

4) Dilema pemisahan lulusan jalur klinisi dan non klinisi

Pada agustus 2025, UKMPPD akan berganti format, dan pola pengeluaran ijazah juga berubah.  Lalu bagaimana dengan Skema kelulusan baru dokter umum berdasarkan usulan dari Kolegium yang baru dibentuk Kemenkes?

Alternatif Kelulusan Uji Kompetensi
Alternatif 1 : Penyelesaian semua persyaratan Lulus Ujian Pasien oleh FK+ Lulus SCT oleh Kolegium.
Hasil Gelar Dokter, Sertifikat Profesi, Sertifikat Kompetensi
Alternatif 2 : Penyelesaian semua persyaratan FK, Lulus Ujian Pasca SCT oleh Kolegium
Hasil : Gelar Dokter, Sertifikat Profesi
Alternatif 3: Penyelesaian semua persyaratan FK, Lulus Ujian Pasien, Belum Lulus SCT oleh Kolegium
Hasil : Gelar Dokter, Sertifikat Profesi dan mengulang SCT sesuai batas waktu. Selama mengulang SCT bisa bekerja untuk pekerjaan non klinik atau bisa melanjutkan 52.
Alternatif 4 : Penyelesaian semua persyaratan di FK, Lulus Ujian Pasien oleh FK,  Tidak lulus SCT sampai batas waktu 5 kali
Hasil : Gelar Dokter, Sertifikat Profesi melanjutkan karir di berbagai bidang Non Klink
Alternatif 5 : Penyelesaian semua persyaratan, Lulus ujian Pasien oleh FK, Tidak Lulus SCT sampai batas waktu (6 kali pembimbingan modul oleh Kolegium sesuai topik terkait ketidaklulusan, Ujian Kasus oleh 3 Penguji (maksimal 3 kali)
Hasil : Gelar Dokter, Sertifikat Profesi,  Sertifikat Kompetensi setelah dinyatakan lulus) atau bila tetap tidak lulus Ujian Kasus oleh 3 Penguji 3 kali, hasilnya Gelar Dokter, Sertifikat Dokter dan bisa melanjutkan karir di berbagai bidang Non Klinik

Pola pengeluaran pemisahan ijazah menjadi 2 seperti yang disampaikan salah satu pihak (sertifikat Profesi dan Kompetensi)  merupakan praktik berbahaya. Masyarakat tidak paham sertifikat profesi dan sertifikat kompetensi. Jadi Simpel nya :Udah selesai urusan di FK, lulus ujian lokal (pasien/ OSCE) di kampus, sudah dapat gelar dokter, dapat sertifikat profesi, sementara jika ingin menempuh jalur klinisi harus lulus ujian kompetensi dari Kolegium.

Mereka tidak paham lah kalau mereka membawa dengan sertifikat profesi saja praktik sebagai seorang dokter di daerah-daerah kan bisa membahayakan padahal yang bersangkutan belum lulus sertifikat kompetensi. 

Sampai saat ini banyak sekali praktek klinik yang masih menerima mahasiswa yang ga lulus - lulus ujian kompetensi untuk menjalankan praktek di kliniknya (dalam bahasa anak kedokteran ini disebut : ngamen ). Banyak sekali malpraktik yang terjadi, dan masyarakat tidak terbiasa mengecek STR (Surat Tanda Registrasi) untuk menilai apakah yang jaga klinik itu dokter atau dokter gadungan.

Mungkin masih banyak lagi dilema dan permasalahan yang ada berkaitan dengan format baru pendidikan kedokteran di Indonesia.
Mari kita menantikan perubahan yang mungkin akan terjadi kedepan, sejalan dengan perjuangan organisasi profesi memperjuangkan kembalinya Kolegium dan Konsil agar independen dan mampu menjaga kualitas lulusan.

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun