Mohon tunggu...
Andhika Zulkarnaen
Andhika Zulkarnaen Mohon Tunggu... Wiraswasta - Founder of Cultura Magazine

A creativepreneur with more than 10 years of professional experience in communication, media, and creative industry.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Media Sosial, Arena Pertemuan Berbagai Kepentingan

5 April 2020   17:43 Diperbarui: 13 April 2023   10:42 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bermain media sosial. (Photo via Pexels)

Laporan Digital Around The World yang dirilis oleh Hootsuite awal tahun 2019, menunjukkan bahwa dari total 268,2 juta jiwa penduduk Indonesia terdapat sekitar 150 juta jiwa yang merupakan pengguna Internet. Jumlah ini meningkat sekitar 13% atau naik sekitar 17 juta jiwa dibandingkan tahun 2018. 

Begitu juga dengan data pengguna media sosial aktif di Indonesia yang tercatat sekitar 150 juta jiwa. Angka ini meningkat 15% atau sekitar 20 juta jiwa dari tahun 2018. 

Artinya, kurang lebih ada setengah dari total jumlah keseluruhan masyarakat Indonesia yang memiliki akses internet dan sekaligus menggunakan media sosial secara aktif.

Namun, glorifikasi statistik tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas. Toh, ruang besar bernama media sosial memberi kesempatan pada algoritma untuk bekerja.

Statistik Pengguna Digital Dan Internet Indonesia 2019 | via Hootsuite
Statistik Pengguna Digital Dan Internet Indonesia 2019 | via Hootsuite

Bagaimana Algoritma bekerja?

Algoritma mengkomputasikan jejak-jejak digital dan menggiring kita untuk tahu apapun dari manapun dalam waktu yang sangat singkat. Mulai dari informasi yang kita inginkan, sampai pada informasi yang justru hanya merugikan kita. 

Algoritma adalah semacam "perintah" yang dirancang untuk menghasilkan "keputusan" tertentu. Keputusan-keputusan yang dihasilkan berasal dari pembacaan riwayat aktivitas kita selama berselancar di dunia maya. 

Riwayat aktivitas yang dimaksud seperti informasi apa yang dicari, musik apa yang didengar, video apa yang dinonton, hal-hal apa yang dibagikan, dengan apa dan siapa kita berjejaring, dll. 

Keseluruhan aktivitas daring ini disebut digital path. Digital path-lah yang dikomputasi oleh algoritma. Hasilnya adalah gelembung penapis (filter bubbles) dan atau ruang gema (echo chamber).

"Polarisasi pun tidak terhindarkan. Sekarang, pemilihan umum telah usai. Namun apakah "ribut-ribut" juga selesai? Jawabannya, tentu tidak."

Jadi singkatnya, dalam konsep dunia virtual, digital path diolah algoritma menjadi gelembung penapis atau ruang gema. Melalui gelembung penapis inilah, prediksi algoritma atas apa yang kita ingin dan butuhkan bekerja. Ruang pandang atas gagasan dan informasi dipersempit. 

Bagaimana tidak, keinginan dan kebutuhan dikalkulasi berdasarkan "angka" yang diperkirakan oleh algoritma. Maka tidak heran jika baru berselancar tentang satu perkakas rumah tangga saja, beberapa jam berikutnya kita telah disuguhi dengan iklan-iklan serupa di akun media sosial kita.

Pada musim pemilihan presiden di Indonesia yang lalu, misalnya. Berbagai bentuk misinformasi dan disinformasi berseliweran di sana. Demi "satu" adalah "satu", dan "dua" adalah "dua". Meskipun prosesnya tidak sesingkat yang dibayangkan, namun saluran informasi dan jenis bacaan yang dikonsumsi masyarakat juga memiliki andil besar dalam kondisi sosial semacam itu. 

Tidak banyak orang yang bisa membangun ruang toleransi. Polarisasi pun tidak terhindarkan. Sekarang, pemilihan umum telah usai. Namun apakah "ribut-ribut" juga selesai? Jawabannya, tentu tidak. Gambaran jelas tentang bagaimana algoritma ini bekkerja bisa kita lihat pada film dokumenter The Great Hack (2019).

Di media sosial, kita bisa bersepakat dan tidak setuju dalam waktu yang bersamaan. Juga, berdebat tentang banyak hal yang sehat sampai yang paling "sakit" dengan orang yang kita kenal bahkan tidak kita kenal sekalipun. 

The Great Hack | via Netflix
The Great Hack | via Netflix

Media sosial menjadi arena pertemuan berbagai kepentingan

Dalam banyak hal, keputusan-keputusan penting seperti membisukan dan menghapus orang dari daftar pertemanan justru merupakan pilihan yang sehat. Bagaimana tidak, alasan-alasan di balik keputusan itu memang lebih banyak berakar masalah. 

Mulai dari merasa terganggu dengan postingan yang terlalu sering muncul, foto-foto liburan dan prestasi teman-teman, konten yang dianggap menghakimi hingga menjatuhkan, pembahasan tentang topik yang secara personal dianggap tidak menarik, atau pada sebagian orang yang menganggap bahwa berbeda pilihan politik juga adalah masalah, hingga pada postingan yang melanggengkan ingatan akan pengalaman-pengalaman menyakitkan di masa lalu.

Saya sendiri sudah menggunakan komputer sejak masih SMP (saat itu komputer masih menggunakan disket drive A & drive B), dan koneksi internet di Indonesia saat itu masih Telkomnet Instan (0809-8-9999). Saya juga sudah menjajal berbagai macam situs sampai platform media sosial, mulai dari mIRC, Friendster, Facebook, Instagram, dsb.

Tiap platform media sosial itu mempunyai fungsi dan karakter yang berbeda-beda, dan juga ikut membentuk karakter kita sebagai pengguna. Instagram misalnya, platform ini bisa dibilang 'arena pamer'. Di Instagram saya merasa harus menjadi "ada apanya", sedangkan Twitter membentuk saya menjadi "apa adanya". 

Instagram secara tidak langsung (dan tidak disadari) membuat saya kadang merasa iri melihat postingan seseorang, dan saya pun kadang terpancing untuk memamerkan sesuatu. 

Di Twitter saya merasa lebih baik, walaupun di sana banyak sekali netizen yang suka ngegas (panas). Walaupun kita tahu sifat itu jelek, tapi secara tidak langsung terkadang sifat itu terpancing keluar dengan sendirinya.

Dalam mengurusi project dari klien saya pun punya dan bisa mengakses banyak data. Cotoh kecil misalnya, dalam memasarkan sebuah produk/jasa melalui Facebook/Instagram, saya bisa memilih target yang akan melihat iklan tersebut. Mulai dari demografi, gender, usia, gadget apa yang digunakan, interest dan sebagainya. 

Apabila kita pernah membuka Facebook dan tiba-tiba iklan produk tertentu muncul di feed kita adalah sebuah produk yang baru saja kita cari di situs eCommerce, itu dinamakan "Remarketing". Jangankan apa yang baru saja kita cari di situs eCommerce, bahkan apa yang baru kita bicarakan di WhatsApp pun akan bisa menjadi target. 

Misalnya: Kita menyebutkan kata 'sepeda' atau 'sneakers' dalam percakapan di WA, maka tunggu saja iklan sepatu atau sepeda itu akan muncul dalam feed/timeline media sosial kita.

Maka dari itu "data" adalah sesuatu yang sangat mahal di era digital/internet saat ini. Dengan data-data yang dapat diolah sedemikian rupa, kita bisa tahu keinginan (interest) seseorang, bahkan kebiasaan sehari-hari (behaviour). 

Satu lagi film keluaran Netflix yang cukup menggambarkan bagaimana data itu bisa dimanfaatkan orang lain untuk hal negatif. Dalam film Cam (2018) kita akan merasakan sisi menyeramkan di dunia internet yang masih belum banyak diekspos sebelumnya; yaitu bagaimana identitas kita bisa dimanipulasi untuk menjatuhkan citra kita di dunia maya.

Cam | via Netflix
Cam | via Netflix

Bijaklah dalam menggunakan media sosial

Menelusuri informasi di dunia virtual memang memiliki tantangan tersendiri jika dibandingkan dengan penggunaan media konvensional pada umumnya. 

Olehnya, persoalan kredibilitas menjadi sangat penting. Selain itu, keinginan untuk senantiasa melakukan verifikasi pada setiap informasi yang dibaca juga bisa sangat membantu agar polarisasi informasi tidak merugikan kehidupan sosial kultural kita.

Apapun alasannya, untuk kita yang "membawa" media sosial kemanapun kita pergi, satu hal yang perlu kita resapi adalah kita memiliki otoritas untuk bertanggung jawab pada hidup seperti apa yang ingin dilihat, juga pada kebahagiaan yang seperti apa ingin kita raih. Meskipun konsep tentang kebahagiaan adalah subjektif. 

"How different would people act if they couldn't show off on social media? Would they still do it?" Donna Lynn Hope

Bukan hanya itu, pada media sosial yang terus memindai momen demi momen dalam kehidupan, kita juga punya hak untuk melupakan serta memutuskan ingatan mana yang ingin terus kita rawat. 

Olehnya, tidak apa melakukan kurasi pada citra yang tidak kita inginkan di media sosial. Tidak apa melakukan "pemangkasan" pada ruang yang menjadikan batas antara pujian dan kritik menjadi sumir. 

Bijaklah dalam menggunakan teknologi, khususnya media sosial. Beristirahatlah sejenak menggunakan media sosial, saya pun pernah merasakan manfaat dari istirahat itu (social media detox). 

Saya merasa sedikit lebih tenang dan damai dengan detox itu. Jangan sampai smartphone yang kita genggam lebih 'smart' dari kita dan bisa mengontrol pikiran kita sebagai manusia dengan logika dan hati nurani, apalagi sampai mengganggu mental. Kita punya kuasa untuk menentukan pilihan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun