Mohon tunggu...
Andang Masnur
Andang Masnur Mohon Tunggu... Relawan - Komisioner

Komisioner KPUD Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara | Sedang Belajar Menulis

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Menebak Bentuk Pemilu Berikutnya

11 Februari 2020   09:19 Diperbarui: 11 Februari 2020   09:25 712
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Andang Masnur. Dokpri.

Sebagaimana ketentuan dalam UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu pada Pasal 167 ayat (1) dikatakan bahwa Pemilu digelar 5 tahun sekali. Maka sesuai dengan ketentuan tersebut Pemilu akan digelar tahun 2024 lagi. 

Pesta demokrasi yang digadang-gadang sebagai Pemilu serentak untuk semua jenjang pemilihan dari pemilihan legislatif, presiden dan wakil presiden dan juga direncanakan pemilihan kepala daerah atau pilkada Bupati/Wali kota dan Gubernur digelar serentak. Tapi apakah sistem dan penyelenggara kita telah siap apabila semua pemilihan ini digabung di tahun yang sama?

Tentu kita masih mengingat dengan jelas bagaimana Pemilu serentak untuk pertama kalinya digelar dengan menggabungkan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara bersamaan. Meskipun secara keseluruhan penyelenggaraan sukses terlaksana, tetapi tidak dapat kita napikkan bahwa ada beberapa catatan yang menjadi bahan evaluasi untuk perbaikan kedepannya. 

Pada tulisan kali ini saya ingin mengomentari tiga hal penting terhadap arah dan bentuk pemilihan kedepannya, yakni; 1). Urgensi revisi UU Pilkada tahun 2016, 2). Issue pengembalian pilkada kepada DPRD, dan 3). Rencana Pemilihan Umum serentak 2024.

Pertama, tentang urgensi revisi UU Pilkada No. 10 tahun 2016. Bahwa sesuai dengan rencana awal yang tertuang dalam UU Pilkada ini bahwa Pilkada setelah tahun 2020 ini akan digelar serentak lagi di tahun 2024 sangat tidak tepat. Bahkan rencana penggabungan Pemilu dan Pilkada serentak di tahun 2024 ini berpotensi menyebabkan kekacauan. 

Begitu kata yang diberikan oleh pemerhati demokrasi di Indonesia Titi Anggaraini dalam sebuah wawancara dengan kumparan.com. Hal ini juga sekaligus menanggapi rencana Pilkada serentak tahun 2022 oleh Komisi Independen Pemilu (KIP) Aceh di 23 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Aceh. Hal ini didasari karena akhir masa jabatan (AMJ) kepala daerah mulai dari gubernur, bupati dan wali kota se-Aceh akan berakhir pada tahun 2022.

Jika kita melihat sebagian besar AMJ kepala daerah khususnya Gubernur dan Wakil Gubernur di Indonesia akan ada yang berakhir sebelum tahun 2024 yaitu sebanyak 7 Provinsi di tahun 2022 dan 16 Provinsi 2023. Hal ini kemudian yang mendasari Perludem mengajukan uji materil ke Mahkamah Konstitusi untuk melihat kembali gand design Pilkada Serentak 2020 dan 2024. 

Karena jika kita melihat berakhirnya masa jabatan para kepala daerah baik gubernur, bupati dan wali kota sebelum tahun 2024, maka tentu di sejumlah daerah kepemimpinannya akan dilaksanakan oleh Pelaksana Tugas atau Plt Kepala Daerah. 

Tentu hal ini mencederai nilai demokrasi seperti yang tertuang dalam UU Nomor 10 tahun 2016 perubahan atas UU Nomor 1 tahun 2015 Pasal 3 ayat (1) yang menyebutkan bahwa Pemilihan Kepala Daerah dilaksanakan 5 tahun sekali secara serentak. Belum lagi jika kita berbicara dengan kemungkinan kepincangan pemerintahan dibanyak daerah yang tidak memiliki kepala daerah definitif.

Melihat hal-hal tersebut diatas maka sangatlah pantas jika semua elemen baik pemerhati demokrasi, lembaga negara eksekutif dan legislatif untuk meninjau kembali dan merevisi UU Pilkada sehingga Pilkada di tahun 2022 dapat terlaksana demi nilai demokrasi dan tetap menjaga amanah rakyat.

Kedua, tentang issue mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD. Hal yang pertama mendengar berita ini adalah tentu kesedihan yang luar biasa. Sebab hal tersebut adalah bentuk dari kemunduran demokrasi. Bagaimana tidak, kita telah menjalani fase dimana kualitas kepemiluan kita yang digelar secara langsung semakin hari semakin baik. 

Meski dengan tahapan yang cukup panjang dan melelahkan tetapi rakyat dapat mengenali langsung siapa calon pemimpinnya dan rakyat pulalah yang menentukan sendiri siapa yang akan memimpin negara atau daerahnya. Sangat jauh berbeda dengan sistem pemilihan jika dikembalikan ke DPRD. Tentu kepentingan politiknya sangat kuat. 

Kong-kalikong atau deal-deal politik yang hanya mengindikasikan mengamankan kepentingan para elit politik pasti sangat kental. Jika beralasan bahwa dalam pelaksanaan pilkada langsung membuka peluang terjadinya money politic lantas siapa yang bisa menjamin jika pemilihan kepala daerah diserahkan kepada DPRD hal tersebut tidak akan terjadi.

Kepercayaan masyarakat terhadap hasil pemilihan secara langsung juga menunjukkan tren yang sangat baik. Mulai dari perekrutan badan penyelenggara adhock sebagai ujung tombak penyelenggara dilapangan. Begitu juga dalam menerima pendaftaran calon kepala daerah yang diusulkan oleh partai atau gabungan partai politik. 

Semua dilakukan secara transparan dan seterbuka mungkin sehingga masyarakat dapat mengakses lebih awal informasi-informasi terkait hal tersebut. Tentang cost politik yang disampaikan sebagai pertimbangan pemborosan atau pilkada secara langsung berbiaya tinggi sebenarnya sudah terbantahkan dengan sendirinya. 

Sebab jika melihat mulai dari penyelenggaraan Pemilu 2019 kemarin, dana kampanye oleh masing-masing paslon telah dibatasi jumlahnya. Begitu juga dengan alat peraga dalam hal melakukan kampanye atau pengenalan kepada konstituen, biaya tersebut telah ditanggung oleh negara.

Sehingga tidak ada narasi lain menurut saya, bahwa dalam hal mempertahankan sistem pemilihan secara langsung ini adalah sama halnya mempertahankan kedaulatan rakyat dalam berdemokrasi. Sebagai mana tertuang dalam UU Pilkada Nomor 10 tahun 2016 pasal 1 ayat (1) bahwa "Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk memilih Gubernur, Bupati, dan Walikota secara langsung dan demokratis". 

Selain itu juga para penyelenggara pemilihan juga telah banyak membuktikan bekerja dengan penuh transparansi dan akuntabel sehingga hasil pemilihannya dapat dipertanggungjawabkan. Meskipun ada wacana bahwa biaya pilkada langsung cukup tinggi tetapi inilah konsekuensi dari negara besar seperti Indonesia dengan jumlah daerah yang begitu luas.

Ketiga, rencana Pemilu serentak 2024. Jika melihat dari pengalaman kepemiluan kemarin, tentu kita berharap agar ada pemisahan antara pemilu legislatif dengan pemilu presiden. Melihat banyaknya korban baik yang sakit maupun yang meninggal dunia maka harus disiapkan bentuk pemilihan umum lainnya yang dapat mengurangi beban kerja dari para penyelenggara. 

Tidak dapat dipungkiri bahwa faktor kelelahan dalam menghadapi banyaknya dokumen kepemiluan berupa formulir-formulir di tiap TPS menimbulkan banyaknya korban. Ada beberapa alternatif pemilihan umum yang sekarang menjadi diskusi untuk dijadikan alternatif pilhan pada pemilu selanjutnya. 

Yang pertama pemisahan antara pemilu nasional dan daerah. Pemilu nasional yang dimaksud adalah seluruh tahapan pemilihan umum yang mencakup pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan anggota DPR dan Pemilihan anggota DPD. Sedangkan pemilu daerah yang dimaksud adalah pemilihan anggota DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota serta pemilihan gubernur, Bupati/walikota. 

Hal ini dimungkinkan apabila pilkada serentak tetap digelar 2024 dalam hal ini tidak ada revisi untuk dilakukan pilkada di tahun 2022. Pilihan kedua adalah memisahkan antara pemilihan legislatif terlebih dahulu digelar kemudian menggelar pemilihan presiden dan wakil presiden. Hal ini tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan pemilu di tahun 2014 yang lalu.

Jika pun ternyata harus dilaksanakan serentak, maka beban pelaksanaan tahapan mesti dikurangi. Terutama penyederhanaan terhadap formulir rekap yang banyak membuat KPPS "tumbang". Berbagai aplikasi berbasis teknologi dapat dijadikan sebagai komponen yang membantu mengurangi beban kerja para penyelenggara. 

Sebab tidak dapat dipungkiri bahwa kedepannya Indonesia tidak menutup kemungkinan dapat menyelenggarakan pemilihan umum dengan cara elektronik voting atau e-voting. Hal ini telah tergambar pada Pasal 98 ayat (3) UU Nomor 10 tahun 2016 yang berbunyi "dalam hal pemberian suara dilakukan dengan cara elektronik, penghitungan suara dilakukan dengan cara manual dan/atau elektronik". 

Apa lagi beberapa desa di Indonesia seperti di Pemalang, Bogor dan Semarang sukses melaksanakan pemilihan kepala desa dengan cara e-voting. Apakah kita siap menyongsong hal tersebut? Saya pikir pada saatnya nanti kita semua harus siap..!!!

Catatan : *Penulis adalah Komisioner KPU Kab. Konawe-Sultra yang membidangi Divisi Sosdiklih, Parmas dan SDM

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun