Mohon tunggu...
Amang
Amang Mohon Tunggu... Lainnya - Hamba lokal

Mungkin menulis adalah jalan kedua setelah hidup.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Antara Memeluk dan Dipeluk

2 Juli 2021   07:25 Diperbarui: 2 Juli 2021   07:42 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by ZML's PW-erotic love

Wajahnya sedikit lusuh termakan waktu hanya ditemani rokok dan secangkir kopi disebuah warung kopi ujung gang yang dekat dengan kosnya, dengan tas dan pakaian yang sudah rapi ia menunggu kekasihnya lebih dari satu jam untuk menjemput dan mengantarkannya ke toko buku yang ada diseberang kota.

Matanya besam dan sedikit memerah melihat tajam jalanan yang semakin panas dan bertambah macet, debu-debu jalanan berterbangan saling menabrak dan menyentuh rerumputan, kaki-kakinya yang meloncat satu persatu meninggalkan tanah kini menyentuh ruas-ruas celana dan pakaian wono serta mengelus lembut bersama lamunan. 

Setelah semalam diguyur fikiran khawatir dan was-was tentang kehidupannya yang membuatnya tidak bisa tidur dengan tenang. Kini keadaan di siang harinya membuat lemas dan diserbu oleh kantuk yang tak tertahankan padahal sudah diberi kopi dan beberapa batang rokok yang sudah dihisapnya. Ia mulai tak tahan mencermati jalanan dan seisi warung, matanya terasa berat untuk memandang dan pusing mulai bertengger dikepalanya, ia coba beranjak dari duduknya untuk sedikit keluar dari pintu masuk warung agar lebih dekat mencermati lalu lalang kendaraan.

"Ko dia belum juga datang" gerutunya dalam hati sambil menyenderkan badan ditiang listrik depan warung.

Lalu kembali ke tempat dimana ia duduk dan menikmati kopi merayakan penantian, ia kembali duduk dengan tenang lalu menyalakan rokok dan mencermati kembali beberapa orang yang lewat didepan warung. Satu hisap dua hisap sudah terlewati dan secangkir kopi pun sudah mulai menyurut. 

Jika kekasihnya datang ia tak ingin marah dan tidak menampakkan wajah sebal serta kecewa karena ada beberapa hal penting yang harus ia utarakan semalam agar keadaan panas disiang hari tidak menyentuhkan suasana diantara keduanya. Rasa penat dan emosi sudah benar-benar bertengger dikepalanya dan ingin sekali merontokkannya agar ketika kekasihnya sudah datang ia tak membagi emosinya dimeja pertemuan.

Dalam diam ia coba memahami perjalanan kekasihnya untuk menjemput dirinya yang jaraknya lumayan jauh, jalanan penuh lubang dan kemacetan ia lewati, dipeluk oleh panas dan dirangkul oleh debu-debu jalanan, wono harap ia tak kecewa untuk hari ini. Tentang segala kepanasan dan keriuhan ada hal yang harus diperjuangkan, wono tak tahu pasti apa yang harus dilakukan selama menunggu selain berfikir dan merasakan, ia menghukum kesendiriannya yang seharusnya menjemput bukan dijemput tapi mau gimana lagi motor tua nya udah dua hari ini mogok dan belum dibawa ke bengkel, sialan.

Beberapa menit kemudian jalanan sudah terasa sepi tak semacet tadi, mungkin beberapa orang yang berkendara sudah sibuk dengan istirahat, menepi diwarung-warung atau masjid untuk sekedar makan atau pun menunaikan ibadah. Satu jam setengah wono menunggu dan rasanya sudah tidak enak sekali dengan pemilik warung kopi karena berlama-lama ditempatnya padahal yang dipesan cuma secangkir kopi saja.

Ia beranjak dari duduknya untuk pulang ke kosan namun setelah berdiri dan hendak mengambil tas dikursinya untuk membayar kopi, handphone disaku celananya bergetar tanda ada telefon yang masuk, ia menjawab telefonya sambil berdiri didepan meja.

*Kamu dimana?*Tanya Inan ketus dan nada sedikit kesal yang meninggi

*Aku diwarung kopi ujung gang kosan* 

*Aku depan kosanmu, ya udah aku kesitu*

*Maaf, okeh*

Wono kembali menaruh tasnya yang sudah digendong ke kursi yang disampingnya dan berjalan keluar dari warung menuju jalanan, sinar matahari kembali menyentuh wajahnya rasanya panas siang hari ini sudah sempurna ia pun kembali menepi dan menyenderkan tubuhnya ditiang lalu kembali menyalakan sebatang rokok.

Inan datang dengan wajah sedikit merah dan lusuh serta berkeringat lalu memarkirkan motornya dan melepas helm lalu menaruhnya di kaca spion, kakinya cepat-cepat beranjak dari panas. Si tukang parkir pun segera menaruh kardus diatas motornya dan memang laju rezekinya dari kardus dan panas. Kini ia berhadapan dengan wono sambil merapikan kerudung yang blingsatan.

"Hmmm, ayok masuk dulu barang kali mau es atau makan terlebih dahulu" kata wono sembari berjalan masuk ke warung.

Duduknya sudah saling berhadapan antara wajah bekas kepanasan dan bekas penantian, dalam waktu keduanya sudah saling berusaha untuk bertemu dengan harapan membahas sesuatu dan menyelesaikan sesuatu. Inan merilekskan badan dan melepas tas kecil dipunggungnya, rasa panas diwajahnya masih membekas dan diusap lembut dengan tisu yang diambil dari saku jaketnya, wono hanya memandangi dengan mata lembap dan rasa kantuk yang menggunung.

"Mau pesan apa?" Tanya wono. "Makan dulu yah. Hari masih panas, istirahat dulu disini" 

"Hmm, es teh sama ketoprak saja" jawabnya sambil senyum. 

Wono memesan lalu kembali dihadapan kekasihnya

"Dari tadi toh?" Tanya Inan. "Maaf kalo kelamaan, soalnya tadi lewat kota terus macet"

"Baru ko, Iyah santai"

"Baru apaan, tuh liat" sambil menunjuk ke asbak, "asbak udah penuh dengan bekas rokok, terus juga tuh kenapa mata merah banget"

"Iya baru mau pulang lagi ke kosan, semalam gak bisa tidur"

"Hmm.."

*Ini mba mas pesanannya* sambil menaruh dimeja pertemuan dan disela-sela percakapan keduanya.

"Hooh, Iyah buk makasih" jawab keduanya

"Makan dulu" kata wono sembari menyalakan kembali sebatang rokok

"Ko kamu gak pesen makanan"

"Nanti saja"

Wono harus kembali menunggu untuk beranjak dari warung yang sudah membuatnya berlama-lama duduk sembari menunggu panas yang sedikit mereda.

"Kamu kenapa?" Tanya Inan setelah makan dan mengusapkan tisu dibibirnya. "Ko lusuh begitu, katamu meski panas ada dingin yang tersembunyi bukannya dalam kehidupan seperti itu"

"Haha" sembari mengeluarkan asap rokok, "kamu macam filsuf-filsuf Yunani saja yang memaknai hidup"

Inan meminum es teh nya dan menyingkirkan piring lalu duduk anggun dihadapan wono "lah kamu, semangat lah kembali untuk hidup. Ngantuk dan lusuhnya disimpan buat malam hari"

"Hmmm, huluhhh huluhhhh.jadi ke toko buku?" Tanya wono sambil menyeruput kopi "emang buku apa sih yang mau dibeli?"

"Jadilah, toh saya sudah sampai sini. Perempuan di titik nol"

"Hah" sedikit kaget, "ingin menguak budaya patriarki teh"

"Bukan hanya menguak tapi merelesasikan dengan sederhana dikehidupan nyata bahwa perempuan juga bisa mendapatkan hak yang sama seperti laki-laki bukan hanya sebagai bawahan laki-laki apalagi setelah menikah, dan memang mungkin agama sudah menjawab tentang bab antara hak laki-laki kepada perempuan dan hak perempuan kepada laki-laki tapi sedikit dari mereka yang memahami betul dari zaman ke zaman"

 "Lalu apa yang sudah kamu lakukan untuk melawan budaya patriarki?" 

"Hmm, itulah yang sedang saya fikirkan. Mungkin berawal dari dalam diri sendiri dulu, seharusnya setiap manusia itu harus memerdekakan isi kepala terlebih dahulu sebelum ia berinteraksi dengan orang lain sehingga tahu apa hak dirinya dan apa hak orang lain, terlebih soal nikah"

"Memerdekakan isi kepala menurut mu bagaimana?"

"Ketika tahu kadar untuk diri sendiri dan untuk orang lain"

"Bukankah setiap manusia mempunyai hasrat dan nafsu melebihi ego, bagaimana caranya bisa kita kendalikan"

"Itulah yang dipelajari terus menerus dalam hidup. Bagaimana caranya agar kehidupan kita tidak menabrak kehidupan orang lain"

"Iyah lalu?"

"Kita harus memahami setiap kejadian. Apa yang pantas untuk orang lain dan apa yang pantas untuk diri sendiri. Terkadang kita tidak sadar kehidupan kita sering menabrak kehidupan orang lain. Jadi, dalam setiap kejadian kita harus sadar dan berfikir mana yang benar-benar baik untuk diri sendiri dan untuk orang lain. Mungkin hak dalam kehidupan akan didapatkan setara"

Wono hanya bengong melihat kekasihnya lancar berkata-kata dalam memaknai kehidupan. Perlahan ia mencermati wajahnya dengan khusyuk, merekam semua kata-katanya yang keluar lalu menyenderkan punggungnya ditembok.

"Kamu kenapa ko matanya sembap gitu" tanya Inan

"Semalam gak bisa tidur tenang"

"Emang kenapa toh?"

Satu persatu orang-orang telah meninggalkan warung dan mungkin sibuk dengan aktivitas kerjanya kembali.

"Dua hari lalu tetangga ada yang meninggal masih muda, saya teringat kata-kata Soe Hoek Gie bahwa nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, kedua mati muda, yang tersial adalah umur tua"

"Terus?"

"Saya selalu mikirin tentang banyaknya kehidupan dari waktu ke waktu dan saya selalu berfikir memang benar yang terbaik adalah yang tidak dilahirkan"

"Sekarang kamu hidup, mau gimana lagi?"

"Ya tetap menjalani hidup lah sesuai berjalannya waktu. Tapi"

"Tapi apa?"

Warung sudah terasa sepi dan hanya berdua yang masih saja bersua 

"Tapi, aku kaya mikirin sesuatu yang gak ada ujungnya. Overthinking mungkin kebanyakan orang menyebut"

"Ya wajarlah manusia"

"Gak wajar bagi pemeluk agama, bukankah dalam setiap agama mengajarkan ketenangan"

"Emang kamu memeluk?" Tanya Inan yang sudah terbawa arus obrolan " emang apa toh yang kamu fikirkan"

"Emang agama bisa dipeluk?" Tanyanya kembali

"Bukan soal memeluk dan dipeluk atuh" kembali menyeruput minumannya, "tapi bagaimana peran kita dalam beragama. Berarti yang dipermasalahkan ada dalam diri kamu sendiri, ya sudahlah"

"Jangan buat saya senyum-senyum sendiri atas pernyataan mu tadi. Antara memeluk dan dipeluk kmu lebih andil dimana"

"Maunya sih memeluk dan dipeluk"

"Apa yang harus dilakukan?"

"Kita harus hidup".

Wono tak melanjutkan obrolan dan kembali menyenderkan punggungnya ditembok, sejenak ia menatap jalanan dan diam, apakah panas sudah mereda. 

"Jadi tidak?" Tanya Inan yang merobohkan diamnya 

"Jadi" ia beranjak dari duduknya lalu membayar apa yang sudah dipesannya

"Kamu bayar semuanya"

"Iyah" sembari mengambil ransel disamping kursi ia duduk

"Hmm" Inan hanya menghela nafas lalu beranjak dari tempat duduknya

Sembari berjalan keluar warung, wono selalu memikirkan kata-kata kekasihnya bahwa kita harus hidup, mungkin itu adalah jawaban yang harus ditelusuri dari waktu ke waktu tentang fikiran yang membuatnya susah tidur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun