Mohon tunggu...
Analisa Djajasasmita
Analisa Djajasasmita Mohon Tunggu... Mahasiswa - A Storyteller

"Hatiku tenang karena mengetahui apa yang melewatkanku tidak akan pernah menjadi takdirku, dan apa yang ditakdirkan untukku tidak akan pernah melewatkanku".

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Seberapa Penting Aspek Hukum dalam Pengembangan EBT?

30 Januari 2023   00:09 Diperbarui: 30 Januari 2023   00:24 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Energi panas bumi merupakan salah satu tulang punggung penyediaan energi nasional di masa mendatang dengan potensi lebih dari 23 Gigawatt (GW). Kebijakan Energi Nasional (KEN) menargetkan pengembangan Energi panas bumi sekitar 7.241,5 Megawatt (MW). Namun, kapasitas terpasang panas bumi saat ini hanya 8% dari total potensi yakni 2,13 GW. Menurut Menteri ESDM (2021), Indonesia menetapkan target 23% EBT pada bauran energi primer di tahun 2025, mengurangi emisi sebesar 29-41% berdasarkan target Nationally Determined Contribution (NDC) di tahun 2030 dan Net Zero Emission (NZE) di 2060 atau lebih cepat. Kebijakan Energi Nasional (KEN) menargetkan pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) setidaknya mencapai 23% dari bauran energi primer nasional pada tahun 2025 dan mencapai 31% pada tahun 2050. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 juga mengamanatkan penyusunan Rencana Umum energi Nasional (RUEN) dan Rencana Umum Energi Daerah (RUED) sampai dengan 2050 demi mendukung implementasi KEN.

Basis konstitusi pengembangan EBT dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 33 ayat (2), (3), dan (4) UUD NRI 1945 yang mengatakan bahwa “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”, Pasal 33 Ayat (2). Di ayat selanjutnya dikatakan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”, Pasal 33 Ayat (3). Lalu ayat berikutnya menjelaskan “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”, Pasal 33 Ayat (4). Selain dalam Pasal 33 UUD NRI 1945, pengaturan tersebut juga dapat dijumpai dalam Pasal 28H UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir & batin, bertempat tinggal & mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat…”

Melansir laman Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan bahwa substansi pengaturan yang perlu dikedepankan ialah akomodasi prinsip hukum energi yang ditawarkan oleh Raphael J Heffron, Anita Ronne, Joseph P Tomain, Adrian Bradbrook dan Kim Talus dalam jurnal yang berjudul A tratise for energy law.

Berbicara mengenai dasar konstitusional yang sebenarnya telah memberi legitimasi bagi payung hukum kebijakan EBT di Indonesia seperti yang diatur dalam UU No.7 Tahun 2007 tentang Energi, UU No.21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi, UU No.10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, UU No.41 Tahun 1999 jo UU No. 9 Tahun 2004 tentang Kehutanan, UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya, UU No.32 Tahun 2014 tentang Kelautan, UU 27 Tahun 2007 jo UU 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir & Pulau-Pulau Kecil, UU No.30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No.18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, UU No.16 Tahun 2016 tentang Ratifikasi Paris Agreement.

Sementara itu, terdapat empat landasan hukum yang menjadi dasar dalam penyusunan RUED. Pertama, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, Pasal 18 Ayat (1) yang berbunyi, “Pemerintah Daerah menyusun RUED dengan mengacu pada RUEN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Ayat (1)”. Kedua, Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Penyusunan RUEN, Pasal 16 Ayat (1) yang berbunyi “Pemerintah Provinsi menyusun rancangan RUED Provinsi dengan mengacu pada RUEN”. Lebih lanjut dalam Pasal 17 Ayat (1) yang berbunyi “RUED Provinsi ditetapkan paling lambat satu tahun setelah RUEN ditetapkan”. Ketiga, Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Keempat, Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang RUEN, Pasal 3 Ayat (2) RUEN sebagaimana pedoman bagi pemerintah provinsi menyusun RUED Provinsi.

Mulai tahun 2025 akan ada pengembangan Super Grid sebagai bagian dari penyediaan akses energi bagi masyarakat lokal di seluruh wilayah Indonesia. Pengembangan ini didukung dengan adanya penyesuaian regulasi mengenai penggunaan jaringan bersama (power wheeling) guna mengakomodasi transfer langsung daya listrik dari sumber EBT ke fasilitas operasional perusahaan dengan menggunakan jaringan PLN yang ada. Upaya pemerintah lainnya adalah mengizinkan industri dan konsumen untuk mengambil bagian dalam pengembangan EBT dengan memperoleh Sertifikat Energi Terbarukan atau Renewable Energy Certificate (REC) yang diberikan oleh PT PLN (Persero). Layanan ini hadir bagi yang menginginkan pengakuan atas penggunaan listrik dari sumber EBT seperti pemasangan panel surya atap.

Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) menilai kebijakan dan pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) di Indonesia membutuhkan kemauan, keinginan baik (serius) atau goodwill dari pemerintah dalam upaya mengoptimalkan energi berkelanjutan (sustainable energy).

Di ranah internasional, pemerintah Indonesia menyatakan telah bergabung dengan Clean Energy Demand Initiative (CEDI) yaitu sebuah inisiatif dari Pemerintah Amerika Serikat yang bersedia melakukan investasi di sektor energi bersih. Hal ini menjadi dukungan Indonesia terhadap dunia internasional dalam menjalankan mitigasi perubahan iklim dan peningkatan ekonomi hijau (green economy). Lalu, Global Green Growth Institute (GGGI) mendukung Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Terbarukan Indonesia (METI) dalam mengeksplorasi potensi untuk meningkatkan investasi bagi Energi Baru Terbarukan (EBT). Dan Sesuai Perjanjian Paris, Indonesia telah menetapkan target penurunan emisi yang ambisius hingga 29% pada 2030 secara mandiri, dan hingga 41% dengan dukungan internasional, sebagaimana dijelaskan dalam dokumen Kontribusi Indonesia yang Ditentukan Secara Nasional atau Indonesia’s Nationally Determined Contributions (INDC). Proporsi target pengurangan emisi dari sektor energi adalah 11% yakni proporsi tertinggi kedua setelah target dari sektor kehutanan sebesar 17,2%. Di sektor energi, Indonesia telah menetapkan target produksi energi sebesar 23% yang berasal dari EBT pada tahun 2025.

Kebijakan energi perlu didukung oleh payung regulasi yang terintegrasi. Regulasi energi terbarukan yang terintegrasi dan komprehensif terbukti mampu mengoptimalkan proses pengembangan energi terbarukan di beberapa negara lain. Sebagai contoh negara-negara di kawasan Asia Pasifik, diantaranya adalah Australia sejak (2000), Jepang (2003), Tiongkok (2006), Sri Lanka (2007), Mongolia (2007), Filipina (2008), Korea Selatan (2010), Pakistan (2010), dan Malaysia (2011).

Merujuk pada laman Kominfo, berdasarkan Data Terpadu Penanganan Program Fakir Miskin yang ditetapkan oleh Kementerian Sosial dan dikelola oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), pola subsidi yang ada belum tepat sasaran. Dari total 23 juta pelanggan rumah tangga daya 900 VA, hanya 4.058.186 rumah tangga yang layak diberikan subsidi. Sedangkan sesuai Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan mengamanatkan penyediaan dana subsidi hanya untuk kelompok masyarakat tidak mampu. Selain belum tepat sasaran, pola subsidi listrik bagi pelanggan mampu juga tidak memenuhi prinsip keadilan karena masih banyak saudara-saudara kita yang belum sepenuhnya menikmati listrik, bahkan belum terlistriki sama sekali. Untuk itu perlu dilakukan pengalihan subsidi listrik untuk melaksanakan program pembangunan di bidang ekonomi, kesehatan dan infrastruktur.

Seperti yang terjadi pada masyarakat di Pulau Bontosua yang terletak di gugusan Pulau Spermonde yang dapat ditempuh melalui perjalanan laut dari Pelabuhan Paotere yang merupakan salah satu Pelabuhan tertua di Indonesia. Pelabuhan ini merupakan warisan dari Kerajaan Gowa-Tallo dan sudah ada sejak abad ke-14 yang berjarak 5 km dari pusat Kota Makassar. Sementara itu untuk menempuh Pulau Bontosua dengan waktu tempuh sekitar 1 jam 30 menit perjalanan dari Kota Makassar atau berjarak 25 km. Untuk tinggal disini harus menggunakan air sebijak mungkin dikarenakan fasilitas air bersih belum memadai dan pasokan air bersih diambil dari Kota Makassar dengan membelinya per jerigen. Sementara untuk penerangan disini mengandalkan listrik dari mesin pembangkit tenaga diesel dengan waktu beroperasi hingga sekitar pukul 22.00 WITA. Begitupun dengan akses internet yang terkadang susah didapatkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun