Festival Film Indonesia (FFI) 2025 menandai perayaan 70 tahun sejak kelahirannya, sebuah momentum penting untuk merefleksikan kembali semangat dasar yang diwariskan para pendirinya: inklusivisme, keberagaman, dan perlawanan terhadap dominasi budaya asing.
Dalam sejarahnya, FFI adalah buah inisiatif Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik pada tahun 1955, yang kala itu menghadapi tantangan besar berupa dominasi film Malaysia, India, dan Amerika di bioskop-bioskop Indonesia.
Kini, di bawah kepemimpinan Ario Bayu dan dukungan Menteri Kebudayaan Fadli Zon, FFI 2025 mengusung tema Puspawarna Sinema Indonesia sebagai simbol perayaan keragaman dan inklusivisme dalam perfilman nasional.
"FFI ini hadir dengan upaya mempromosikan film-film Indonesia, mempromosikan narasi Indonesia, dan harapannya untuk tetap menjaga kolektif imajinasi kita dalam berkarya khususnya di film," -- Ario Bayu, Ketua Komite FFI 2025.
FFI 1955: Lahir dari Krisis, Bergerak untuk Inklusi
Nama Festival Film Indonesia (FFI) mulai digunakan pada tahun 1973. Sebelumnya, dimulai pada 1955 masih menggunakan nama Pekan Apresiasi Film Indonesia.
Pada 1955, perfilman nasional berada dalam kondisi kritis. Film Malaya (sekarang Malaysia) dan India menguasai pasar kelas menengah ke bawah. Sementara film Amerika mendominasi bioskop kelas satu.
Dus, produksi film nasional masih dipandang sebelah mata, baik oleh penonton maupun pelaku industri.
Selain itu, banyak produksi film nasional masih dikuasai oleh perusahaan milik Cina dan Belanda, termasuk tenaga teknis dan pemain, sehingga identitas film Indonesia belum sepenuhnya kuat.
Situasi ini membenarkan teori kultivasi bahwa paparan media asing secara terus-menerus dapat membentuk persepsi dan preferensi penonton lokal sehingga film lokal terpinggirkan.