Strategi Integritas Melawan Gratifikasi; Disiplin atau Sekadar Formalitas?
Oleh: A. Rusdiana
Perkuliahan semester ganjil 2025/2026 dimulai 1 September--19 Desember 2025. Pada S1 penulis mengampu Metode Penelitian, sementara pada S2 mengajar Manajemen Sumberdaya Pendidikan dan Sistem Informasi Manajemen Pendidikan. Fenomena mutakhir menunjukkan adanya temuan Inspektorat Jenderal (Irjen) terkait praktik gratifikasi di ujian komprehensif dan bimbingan tesis. Praktik ini mencederai integritas akademik, padahal kualitas pendidikan bergantung pada kejujuran dosen dan mahasiswa.
Strategi integritas menolak gratifikasi sejalan dengan konsep Job Demand--Resources Model yang menekankan work engagement berbasis etika. Wenger (community of practice) dan Vygotsky (social learning) menegaskan pentingnya lingkungan sosial yang sehat sebagai penopang perilaku akademik bermartabat. Hadis Nabi mengingatkan: "Jika suatu pekerjaan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, tunggulah kehancurannya."
Kualifikasi akademik tinggi tidak akan bermakna jika tidak selaras dengan integritas. Banyak lulusan pintar, tetapi kalah dalam hal kejujuran dan disiplin. Inilah mind mismatch yang menjadi penghalang branding akademik.
Tulisan ini bertujuan menghadirkan strategi integritas melawan gratifikasi sebagai pilar perubahan diri, baik untuk dosen, mahasiswa, maupun institusi. Berikut  5 Pilar Pembelajaran dari Strategi Integritas Melawan Gratifikasi:
Pertama: Â Menolak Gratifikasi dengan Tegas; Integritas dimulai dengan keberanian menolak pemberian apa pun dari mahasiswa. Temuan Irjen menegaskan bahwa pemberian selesai ujian tergolong gratifikasi. Jika dibiarkan, budaya ini menciptakan "celah" penyimpangan. Dosen wajib sabar dan tawakal dalam mengemban tugas, tidak tergoda oleh imbalan apa pun. Pembimbingan tesis dilakukan dengan kelompok, bukan di ruang pribadi, untuk menghindari peluang terciptanya godaan. Formalisasi tempat---kelas, masjid, atau ruang resmi kampus---adalah cara strategis menjaga integritas.
Kedua: Membangun Budaya Akademik yang Objektif; Integritas berarti proporsional dalam menilai. Mahasiswa yang tidak memenuhi 70% kehadiran harus mengulang, tanpa kompromi. Objektivitas juga berlaku saat sidang: mahasiswa yang belum layak tidak boleh diluluskan hanya karena kedekatan personal. Dosen harus menjaga jarak profesional sambil tetap hangat dan mendidik.
Ketiga: Mendorong Penelitian dan Publikasi tanpa Membebani; Integritas akademik diuji saat publikasi menjadi syarat kelulusan. Praktik "jual-beli jurnal" yang dibebankan kepada mahasiswa dengan nama dosen tercantum adalah bentuk penyalahgunaan otoritas. Strateginya: dosen wajib membimbing mahasiswa hingga publikasi, tetapi tidak membebankan biaya berlebihan. Mahasiswa hanya diwajibkan publikasi minimal satu artikel di jurnal bereputasi (Sinta 2).
Keempat: Dokumentasi dan Transparansi Bimbingan; Minimal delapan kali bimbingan tesis dengan catatan terdokumentasi adalah standar. Dengan catatan tertulis, proses akademik lebih transparan dan bisa diaudit. Transparansi ini melindungi dosen dari tuduhan tidak profesional, sekaligus melatih mahasiswa disiplin dalam riset.