Lihat ke Halaman Asli

David Abdullah

TERVERIFIKASI

"Kiamat" di Tangan Vladimir Putin

Diperbarui: 8 Februari 2022   15:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presiden Rusia Vladimir Putin (AFP/Getty Images)

Rusia, Ukraina, dan potensi Perang Dunia Ketiga merupakan kata kunci yang paling banyak dicari masyarakat akhir-akhir ini. Fakta itu tak terlalu mengejutkan karena konflik antar kedua kubu bisa mengubah jalannya sejarah peradaban manusia.

Kedua negara yang pernah menjadi bagian dari imperium Uni Soviet itu sedang diselimuti ketegangan dalam sedekade terakhir. Krisis itu pun berujung pada aneksasi Krimea dan memicu lahirnya gerakan separatis di Donbas, Ukraina.

Kini, ketegangan Rusia-Ukraina sudah mendekati situasi perang. Kremlin pun telah mengerahkan 127.000 pasukan di perbatasan, yang sewaktu-waktu bisa menginvasi negara tetangganya itu.

Sejarah panjang hubungan Rusia-Ukraina sendiri kerap kali diwarnai pasang-surut. Kedua bangsa sebelumnya pernah menjalin romantisme dalam satu institusi negara, Rus Kiev dan Uni Soviet. Di sisi lain, mereka juga pernah saling bersitegang, bahkan berperang.

Tensi Rusia-Ukraina mulai memanas pada 2000-an, khususnya sejak Presiden Viktor Yushchenko mulai menjabat dalam periode 2005. Keinginan Presiden ketiga Ukraina untuk menjalin kedekatan dengan Uni Eropa dan NATO, membuat Rusia geram.

Kedua pihak juga berselisih perihal pasokan gas. Moskow menuding Kiev ingin bersekutu dengan Barat sekaligus mengeksploitasi gas milik Rusia.

Akan tetapi, relasi keduanya berbalik 90 derajat. Mereka tiba-tiba menjadi mesra selama tahun 2010. Yanukovych bahkan sempat dinilai sebagai presiden Ukraina yang paling pro-Rusia.

Rezim Yanukovych menyetujui berbagai kerja sama strategis dengan Rusia, salah satunya menyewakan pangkalan militer kepada Rusia di Sevatospol, kota terbesar di Krimea sekaligus salah satu pelabuhan terpenting di teritorial Laut Hitam.

Situasi lagi-lagi berbalik. Setelah rezim Yanukovych lengser pada tahun 2014, suksesornya ternyata lebih memilih untuk merapat ke Uni Eropa dan "membersihkan" sisa-sisa rezim pendahulunya dari pemerintahan.

Sejak saat itu, Ukraina lebih memihak ke Barat yang akhirnya membuat relasi dengan Rusia makin memanas. Etnis Rusia di dalam negeri pun tak terima aats pemakzulan Yanukovych. Konflik dalam negeri itu akhirnya membelah warga Ukraina menjadi dua kubu yang saling berselisih, pro-Uni Eropa dan pro-Rusia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline