"Atas nama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, saya menyatakan keberatan dan protes keras..."
"Karena sudah berulang, karena sudah keterlaluan, karena bernada sinis. Bahkan cenderung menghina nilai-nilai pesantren."
(Rilis pers PBNU pasca tayangan Trans7)
Sebagai santri, kita mungkin berhak marah dan kecewa paska kejadian Trans7. Namun mendengar pimpinan lembaga sebesar PBNU berpidato reaksioner lima menit tanpa bobot intelektual jauh lebih menyakitkan. Tidak ada intensi kebangsaan di dalamnya, hanya reaksi spontan yang gagal membaca konteks yang lebih luas. Pernyataan seperti ini meneguhkan bahwa sebagian elite kita telah kehilangan arah, menganggap kaum santri hanya sebatas komoditas besar tapi tidak berhak berwacana di luar diri. Kita kembali diseret ke belakang, dipaksa mencurigai sesama anak bangsa, dan lupa pada musuh utama: ketimpangan, kemiskinan, kerusakan lingkungan, dan komersialisasi pendidikan.
Reaksi itu muncul setelah Trans7 menayangkan video yang menyorot citra pesantren secara kritis namun tendensius: praktik feodalistik, ketimpangan ekonomi antara kiai dan santri, serta kerja santri yang dianggap memperbudak. Santri-netizen pun melakukan protes dan boikot terhadap media tersebut, reaksi yang sah, bahkan sehat, sebagai bentuk perlawanan terhadap stigmatisasi. Namun, ketika Ketua Umum PBNU menanggapinya dengan nada reaksioner dan minim refleksi kelembagaan, di situlah kita kehilangan momentum intelektual. PBNU, yang seharusnya menjadi benteng kebangsaan dan penjaga nalar publik kaum santri, justru tampil reaksioner tanpa arah.
Padahal Gus Dur pernah mengingatkan bahwa pesantren adalah subkultur, bukan sekadar lembaga pendidikan formal era modern seperti banyak dipahami sebagian masyarakat hari ini. Ia tumbuh otonom, hidup dengan nilai-nilai khas yang berpijak pada praksis sosial: belajar, mengajar, dan melayani masyarakat dalam konteks yang lebih luas dari lingkupnya sendiri. Gus Dur meminjam konsep "subkultur" dari antropologi untuk menunjukkan bahwa pesantren memiliki autonomy of meaning, sebagai daya kemandirian dalam membangun dunianya sendiri di luar logika kapitalisme, feodalisme aristokrat, dan kolonialisme.
Resiliensi Santri yang Tanpa Syarat
Sejarah mencatat, subkultur pesantren pernah menjadi basis transformasi sosial yang konkret dalam dinamika kebangsaan. Pada masa Perang Jawa, jaringan pesantren pinggiran menjadi simpul perlawanan organik di bawah pengaruh Pangeran Diponegoro. Di masa perumusan dasar negara, banyak kiai turut menjaga keutuhan bangsa dengan menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta demi persatuan nasional. Dan di Surabaya, pesantren menjadi kantong perlawanan terhadap agresi Inggris saat kemerdekaan baru seumur jagung diproklamirkan. Pesantren, pada titik itu, tak sekadar ruang pendidikan sempit-formalistik, tetapi juga sebuah entitas ideologis dan identitas yang mampu mentransformasi kesadaran kebangsaan.
Namun sejarah juga mencatat luka yang dalam. Pada 1965, pesantren ikut terseret dalam arus kekerasan politik. Santri dan kiai terlibat dalam penumpasan terhadap mereka yang dianggap "komunis". Padahal, secara kultural, pesantren bukan institusi kekerasan. Ia dijebak dalam politisasi identitas oleh negara dan elite agama korup kala itu. Gus Dur sendiri, beberapa dekade kemudian, meminta maaf kepada keluarga korban, termasuk kepada Pramoedya Ananta Toer. Ia menolak mewarisi dosa sejarah. Di situlah Gus Dur menunjukkan bahwa pesantren secara kebudayaan maupun kelembagaan mampu melakukan autokritik terhadap dirinya sendiri.
Dalam perspektif Antonio Gramsci, pesantren dapat dibaca sebagai subkultur yang mengarus pada fungsi sentral sebagai agen kontra-hegemoni. Di tengah dominasi suprastruktur negara dan kapital yang menundukkan kesadaran rakyat melalui media, pendidikan, dan agama, pesantren memiliki "daya isolasi" yang unik. Pesantren, baik disadari maupun tidak, mampu membentengi diri dari penetrasi hegemoni elite sembari memelihara cara berpikir dan cara hidup alternatif. Dalam konteks inilah, pesantren seharusnya menjadi kekuatan moral yang memproduksi "intelektual organik". Kiai dan santri, karena memang warisan sejarah, menjadi agen yang sadar akan tanggung jawab sosialnya dan mampu berbicara dalam bahasa keseharian rakyat. Bukan justru menjadi juru bicara retorika kepentingan elite negara.
Sayangnya, otonomi ini kini mulai rapuh, untuk tidak dikatakan runyam. Ketika sebagian elite pesantren lebih sibuk memburu kedekatan dengan kekuasaan dan menjadikan lembaga sebagai kendaraan politik, subkultur pesantren kehilangan peran transformasinya. Ia menjadi gagap dalam membaca tantangan baru keumatan seperti krisis iklim yang menghancurkan tatanan ekologis desa, ketimpangan sosial yang memiskinkan santri, dan pendidikan nasional yang semakin terkomersil. Pesantren yang dulunya menjadi "sekolah rakyat miskin" dan benteng moralitas rakyat pinggiran kini terancam terjebak dalam penetrasi logika neoliberal yang memang sudah mengebiri lembaga pendidikan lain.