Maka, reaksi PBNU terhadap pemberitaan Trans7 sesungguhnya lebih dari sekadar salah langkah komunikasi. Ia mencerminkan krisis sensitivitas intelektual di tubuh elite PBNU sendiri. Krisis yang menandakan terputusnya tradisi reflektif-emik yang dulu dijaga para kiai tradisional. Pesantren pernah menjadi benteng kebangsaan karena ia tahu kapan harus mengkritik dirinya sendiri. Tanpa penyegaran kembali atas teladan keberanian itu, pesantren akan terjebak menjadi alat kekuasaan, kehilangan watak subkulturalnya, dan berhenti sebagai sumber terakhir transformasi sosial.
Yang paling dibutuhkan dari tindak kelembagaan sebagai payung besar kepentingan kaum santri dalam bingkai kebangsaan, dalam hal ini Gus Yahya, sebenarnya bukan sikap reaksioner melainkan reflektif. Pemimpin yang mampu mewacanakan pesantren kembali kepada jati dirinya sebagai subkultur pembebasan, yang otonom, kritis, dan berakar pada kepentingan sipil.
Mungkin dengan cara itu, kaum santri bisa kembali meneguhkan diri sebagai bagian dari gerakan kebangsaan yang senantiasa terus berdinamika secara konstruktif, bukan menyeretnya kembali ke belakang dengan mengangkangi komitmen kebangsaan yang telah diteladankan para kiai sepuh di zaman pergerakan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI