Krisis moral yang kini melanda bangsa Indonesia sejatinya bukan fenomena tiba-tiba. Penyimpangan etika publik, korupsi struktural, lunturnya kejujuran, serta merosotnya sikap hormat kepada guru, orang tua, dan otoritas sosial telah terakumulasi puluhan tahun. Banyak tokoh bangsa bereaksi setelah gejala ini tampak akut, tetapi sebagian kecil pemimpin spiritual telah memikirkannya jauh lebih awal. Salah satu di antaranya adalah Kyai Mustain Romly.
Sejak tahun 1970-1980an, Kyai Mustain telah membaca arah dekadensi moral bangsa secara tajam. Beliau tidak hanya mengkritik kondisi sosial, tetapi menyiapkan konsep etik-sosial yang berakar pada tradisi Islam Nusantara. Dari refleksi filosofis dan pengalaman thoriqoh serta kepesantrenan, Beliau melahirkan gagasan Trisula Darul Ulum: Pesantren, Thoriqoh, dan Perguruan Tinggi.
Trisula ini bukan sekadar tiga lembaga yang berdiri berdampingan. Ia adalah tata nilai, sistem kesadaran, dan rancangan peradaban. Di dalamnya, Kyai Mustain merumuskan bahwa pembangunan bangsa harus dimulai dari pembentukan manusia berakhlak, bukan dari pembangunan institusi kekuasaan semata.
Dalam konteks sejarahnya, Trisula muncul di tengah kegelisahan Kyai Mustain terhadap perilaku sebagian Civitas Akademika Universitas Darul 'Ulum yang mulai kehilangan arah moral. Mereka cerdas secara akademik, tetapi kering secara spiritual dan etika. Di titik inilah Beliau sadar bahwa pendidikan tinggi harus dipadukan kembali dengan spiritualitas pesantren dan disiplin thoriqoh agar lahir manusia yang utuh: intelek dan saleh.
Melalui Pesantren, Kyai Mustain melihat pendidikan moral harus dimulai dari basis tradisi. Pesantren bukan hanya tempat belajar kitab, tetapi pusat penanaman adab dan penghormatan kepada ilmu. Di sana tumbuh kesadaran bahwa guru bukan sekadar pengajar, melainkan penjaga ruhani dan karakter. Nilai ketaatan kepada guru menjadi simbol kesetiaan terhadap kebenaran.
Sementara Thoriqoh menjadi jalan pembentukan kesadaran batin. Thoriqoh melatih kejujuran terdalam manusia: jujur kepada Allah, jujur kepada diri sendiri, dan jujur kepada tugas kemanusiaan. Beliau membangun kesabaran, ketenangan, serta kontrol atas nafsu sosial dan politik. Dengan thoriqoh, manusia belajar menguasai diri sebelum menguasai dunia.
Perguruan Tinggi dalam Trisula bukan sekadar lembaga akademik modern, tetapi kanal untuk mentransformasikan nilai spiritual dan etik ke dalam ilmu pengetahuan. Inilah sintesis yang Penulis pahami dari gagasan Kyai Mustain, bahwa tradisi tidak boleh tercerabut dari rasionalitas, dan modernitas tidak boleh kehilangan ruh.
Untuk menjembatani dua dunia itu---spiritual dan intelektual---Kyai Mustain memperkenalkan tagline Universitas Darul 'Ulum yakni "Berotak London, Berhati Masjidil Haram." Ungkapan ini menjadi penegasan bahwa lulusan Universitas Darul 'Ulum harus berpikiran global, cerdas, dan rasional seperti intelektual Barat, namun berhati suci, rendah hati, dan berakhlak sebagaimana insan yang bertawakal di tanah suci.
Filosofi ini sesungguhnya adalah wujud dari rekonsiliasi antara akal dan hati, antara ilmu dan iman. Kyai Mustain tidak menolak kemajuan Barat, tetapi menegaskan bahwa kecerdasan tanpa moral adalah sumber kehancuran. Otak boleh modern, tetapi hati harus tunduk pada nilai-nilai Ilahi.
Dari harmonisasi ketiga unsur Trisula itu lahirlah nilai-nilai fundamental: Taat pada Guru, Tekun, Jujur, Sabar, dan Ikhlas. Bagi Kyai Mustain, kelima nilai itu bukan slogan, melainkan pilar etika yang menopang tatanan sosial. Tanpa itu, bangsa akan terdorong pada anarki moral meskipun sistem politiknya demokratis.
Nilai Taat pada Guru adalah fondasi pertama. Beliau menegaskan posisi otoritas moral dan keilmuan dalam membimbing umat. Ketika generasi berhenti menghormati guru, maka mereka kehilangan orientasi dan cenderung membangun ego kolektif yang destruktif. Ketaatan dalam hal ini bukan hanya ketaatan buta, tetapi penghormatan pada ilmu dan kejujuran intelektual.