Pagi itu, semangat terasa mengalir sejak kami membuka mata. Di rumah penginapan, nenek---tuan rumah kami yang telah seperti ibu sendiri---sudah menyiapkan sarapan dengan penuh kasih. Kopi khas Kemiren kembali tersaji hangat di atas meja, aromanya begitu khas, berbeda dari kopi manapun yang pernah kami rasakan. Ditemani ubi kayu hasil kebun dari lereng Gunung Ijen, kami menikmati pagi dengan penuh rasa syukur. Tak lama kemudian, sajian utama hadir: sambal ulek dengan rasa manis pedas, tempe, tahu, ikan, dan ayam---makanan sederhana tapi luar biasa nikmatnya.
Setelah makan, kami bersiap mengikuti acara yang paling ditunggu: Pawai Budaya Sekolah Adat Se-Nusantara. Kami semua mengenakan pakaian adat masing-masing. Aku, Bang Khairul, dan Bang Hidayat mengenakan Baju Teluk Belanggo, pakaian adat khas Melayu Jambi. Kami mengenakan itu sebagai bentuk representasi Provinsi Jambi, karena tak ada peserta lain dari daerah tersebut. Untuk adat Kerinci sendiri, kami bergabung dengan tiga sekolah adat lainnya yang mengenakan pakaian khas Kerinci.
Sebelum berangkat, kami mengabadikan momen bersama. Kami mengajak nenek tuan rumah berfoto bersama---momen yang begitu mengharukan, serasa foto kenangan antara anak dan ibu. Anaknya yang tinggal di rumah depan membantu memotret kami. Kami bertiga, yang sudah seperti saudara, berdiri berdampingan dalam busana adat lengkap. Usia kami terpaut, tapi kedekatan kami membuat semuanya terasa seperti keluarga kandung.
Kami lalu menaiki mobil pick up yang akan membawa kami ke lapangan Kecamatan Glagah---lokasi awal pawai. Di atas kendaraan itu, kami bersama peserta lain: perempuan, laki-laki, tua-muda, bahkan anak-anak. Semuanya mengenakan pakaian adat, dengan wajah penuh antusias. Sesampainya di lapangan, kami disambut oleh teman-teman dari Sekolah Adat Kerinci dan Ketua AMAN Kerinci, Buya Hazmin.
Barisan pawai diatur berdasarkan region. Kami, peserta dari Sumatera, berdiri bersama perwakilan dari Batak, Palembang, Bengkulu, Jambi, Kerinci, Sumatera Barat, hingga Riau. Barisan dipimpin oleh kelompok dari Jambi, khususnya suku Kerinci---kami berada di barisan paling depan. Sebelum berangkat, Sekjen AMAN, Rukka Sombolinggi, perempuan tangguh asal Toraja, memberikan arahan dengan suara yang penuh semangat dan wibawa.
Pawai pun dimulai, mengelilingi kecamatan Glagah hingga menuju Saung Sekolah Adat Pesinauan. Kami berjalan dengan arak-arakan budaya: setiap kelompok menampilkan ciri khasnya---mulai dari busana, alat musik seperti gong, hingga tarian dan pertunjukan tradisional. Di sepanjang jalan, masyarakat menyambut dengan ramah: anak-anak sekolah menyapa kami, para guru dan PNS keluar dari kantor untuk melihat pawai, dan banyak yang terpesona melihat keunikan busana dan keramahan peserta dari Sumatera.
Saat barisan mendekati persawahan dan memasuki jalan raya Osing, aku bertemu kembali dengan Cak Sul Syamsul, pendiri Sekolah Adat Osing. Kami berjalan bersama sambil berbincang. Ia bertanya, "Nyaman di sini?" dan aku menjawab tanpa ragu, "Sangat nyaman, Cak. Indah negeri Cak Sul ini." Kami sepakat bahwa meski kami berasal dari pegunungan yang juga sejuk, seperti di Kerinci, desa adat Kemiren memiliki kelebihan lain---ia bersih, asri, dan jauh dari sampah. Sebuah kampung yang terawat secara lahir dan batin.
Pawai budaya hari itu bukan hanya menjadi perayaan identitas, tapi juga pertemuan antara saudara-saudara adat dari seluruh penjuru Nusantara, yang berjalan berdampingan, melintasi sawah, kampung, dan sejarah.
(Bersambung ke Bagian 5...)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI