Lihat ke Halaman Asli

Fery. W

Berharap memberi manfaat

OTT yang Tak Pernah Padam, Tantangan bagi "The Next" Pimpinan KPK

Diperbarui: 12 Juli 2019   13:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: merahputih.com

Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali terjadi. Kabarnya kembali memenuhi laman berita di berbagai media baik cetak maupun elektronik. Kali ini giliran Gubernur Kepulauan Riau Nurdin Basirun yang diduga terlibat transaksi haram berkaitan dengan ijin rencana reklamasi di wilayahnya.

Bersamanya ditangkap pula Abu Bakar (ABK) , Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan, Edy Sofyan (EDS). Dengan barang bukti  duit dalam mata uang sejumlah negara. Di antaranya yakni SGD 43.942, USD 5.303, EURO 5, RM 407, Riyal 500, dan uang Rp 132.610.000. Uang itu disita setelah tim menggeledah kediaman Nurdin. 

OTT yang dilakukan oleh komisi anti rasuah ini bukan yang pertama, kedua, atau ketiga. Sering sekali kita dengar dan saksikan beritanya terkait kasus-kasus korupsi yang tertangkap basah seperti ini. Sebelum OTT Nurdin, 10 hari yang lalu pun KPK melakukan hal yang sama, saat itu penegak hukum yang seharusnya menegakan hukum malah ikut membengkokan hukum. KPK saat itu menangkap Lima orang yang terdiri dari  Pengacara Sukiman Sugita, Pengacara Alvin Suherman, Pihak Swasta Ruskian Suherman, Kasubsi Penuntutan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Yadi Herdianto, dan Kasi Kamnegtibum TPUL Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Yuniar Sinar Pamungkas. Mereka mentransaksikan jumlah tuntutan hukuman yang akan dijatuhkan kepada Sandy Perico seorang pengusaha yang kasus penipuannya sedang disidangkan.

Selain kedua OTT terbaru tersebut, sepanjang tahun 2019 saja antara bulan Januari sampai dengan awal Juli ini KPK telah melakukan Operasi Tangkap Tangan terhadap tiga kepala daerah, selain Nurdin Basirun Gubernur Kepri ada Bupati Mesuji Khamami yang ditangkap 24 Januari 2019 lalu, kemudian Bupati Talaud Sri Wahyumi Maria Manalip yang kena di OTT 30 April 2019 lalu ketiganya tertangkap karena sedang memperjual belikan proyek yang berada di wilayahnya masing-masing. Modus operandi ketiganya sama saja meminta fee proyek.

Secara keseluruhan sepanjang 2019 KPK telah menangkap pencoleng  yang berpotensi merugikan negara  melalui  OTT sebanyak 9 kali yang terdiri dari 3 Kepala Daerah, 1 Pimpinan Partai Politik, 1 Hakim, 2 Jaksa, 1 anggota DPR, dan 1 pejabat negara yang berstatus PNS dan pihak swasta. Tahun 2018 Operasi Tangkap Tangan KPK lebih banyak lagi dan merupakan rekor terbanyak sepanjang KPK berdiri yaitu sebanyak 30 kali OTT dengan rincian 1 Gubernur,  19 orang bupati dan walikota, anggota DPR-RI, anggota DPRD, Jaksa, Hakim.

Melihat komposisi pihak yang terjaring OTT KPK yang begitu lengkap mulai di tiga pilar pemerintahan yaitu Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif pantaslah rasanya kita harus khawatir dan memang benar korupsi sudah dijadikan budaya oleh mereka para pencoleng berkedok jabatan. Anatomi korupsi di Indonesia sudah bisa dikategorikan sebagai terstruktur, sistematis dan masif. KPK sebagai lembaga superbody anti rasuah harus melakukan penindakan secara represif dan pencegahan yang dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif pula.

Tadinya mungkin dengan public expose setiap OTT dilakukan, KPK berharap akan ada efek jera dan gambaran  betapa malu dirinya dan seluruh keluarga melihat koruptor yang terjaring OTT tersebut disorot diberbagai media dengan tangan terborgol dan memakai rompi oranye tanda sebagai tahanan KPK. Namun siapa nyana ternyata itu tidak berefek apapun, dan sepertinya biasa saja malah beberapa orang koruptor itu malah cengengesan seolah tidak terjadi apa - apa. Mereka malah sibuk untuk terus mempelajari modus operandi terbaru agar laku lancung korupnya tidak terendus oleh KPK. 

Dari gambaran di atas jelaslah sudah bahwa pemberantasan korupsi tidak hanya tergantung kepada penegakan hukumnya saja. Strategi hukum represif yang selama ini dilakukan menjadi kurang kontributif bagi pemberantasan korupsi secara keseluruhan  jika tidak diimbangi dengan strategi pencegahan yang memadai disertai pelaksanaan yang konsisten.

OTT yang dilakukan terus KPK mungkin bagian dari sistem "terapi kejut" yang hanya akan berdampak sementara, tidak mencerminkan tujuan pemberantasan korupsi yang komprehensif dan berdampak jangka panjang. Iklim Birokrasi yang bermoral dan berintegritas  diharapkan menjadi sebuah tujuan pemberantasan korupsi tersebut.

Hal ini terbukti apabila kita berkaca kepada negara-negara maju yang memiliki Indeks Persepsi Korupsi tinggi, seperti Finlandia, Singapura, New Zealand mereka rata-rata telah melaksanakan pelayanan publik yang transparan, akuntabel dan dijalankan oleh para birokrat yang memiliki integritas tinggi, diperkuat dengan tingkat kesejahteraan aparat birokrasi yang memadai. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline